In Memoriam: Sarwono Kusumaatmadja dan Aktivis Koridor Tengah

Sarwono Kusumaatmadja Dan Aktivis Koridor Tengah
Sarwono Kusumaatmadja Dan Aktivis Koridor Tengah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Sarwono diminta menanggapi pandangan saya. Secara arif Sarwono merespon, sebagai anak muda, Denny memang harus menyuarakan gagasan zamannya.

Tapi tentu saya pribadi memilih peran yang berbeda. Saya berada di lingkar kekuasaan. Saya tidak bergerak berdasarkan apa yang ideal, tapi apa yang bisa dikerjakan menuju perbaikan setahap- setahap.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Selesai diskusi, Sarwono mengajak saya bicara di ruangan terpisah. Terasa sebagai senior, ia memberi semangat kepada saya untuk terus menyuarakan gagasan modern. “Anda kan anak kandung zaman ini.”

Sarwono bercerita aneka keterbatasan di dalam pemerintahan sekarang. “Tapi,” ujarnya, “kalangan kekuasan tahu kok. Saya termasuk yang paling progresif menganjurkan banyak perubahan, walau tak bisa terlalu frontal dengan pikiran Pak Harto.

-000-

Kemudian hari, Sarwono mengembangkan pilihan politiknya sebagai “Koridor Ruang Tengah.”

Ujar Sarwono, ia hidup di era dua ekstrem yang tak boleh disentuh. Ekstrem pertama: jangan pernah bicara mengubah Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Ekstrem kedua: jangan pernah bicara suksesi presiden untuk menggantikan pak Harto.

Di antara dua ekstrem itu tersedia koridor tengah. Di area itulah, Sarwono memilih bermain.

Koridor tengah juga dapat diartikan dengan cara lain. Di satu sisi: oposisi yang frontal terhadap Pak Harto. Di sisi lain, menjadi lingkaran Cendana, paling inti dari Pak Harto.

Sarwono pun memilih koridor di tengah. Ia tidak memilih beroposisi dengan pak Harto. Sisi lain, ia juga menghindar menjadi lingkaran dalam Cendana.

Kesempatan menjadi orang inti Cendana saat itu terbuka. Pernah datang satu era. Sarwono dipanggil ke Cendana hampir setiap minggu.

Empat mata saja mereka bicara. Pak Harto banyak bercerita. Sarwono banyak menjadi pendengar saja. Namun dari cerita yang dikisahkan pak Harto, tak terkait dengan tugas Sarwono sebagai menteri atau sekjen Golkar.

Sarwono sempat bingung juga. Mengapa ia dipanggil tapi hanya untuk menjadi pendengar kisah- kisah Pak Harto yang tak terkait langsung dengan kerja Sarwono.

Ia pun bertanya kepada seniornya yang lebih berpengalaman dengan Pak Harto, seperti Sudharmono dan Benny Moerdani. Keduanya menjawab sama. Sarwono sedang diuji untuk direkrut menjadi orang inti Cendana.

Sarwono juga mendengar. Menjadi orang inti Cendana ada suka dan dukanya. Suka karena ia banyak dapatkan kemudahan karena pak Harto sangat berkuasa saat itu.

Namun dukanya, orang inti Cendana sering mendapatkan tugas khusus. Kadang tugas itu bertentangan dengan suara hati. Toh, tugas itu harus dikerjakan. Dan ia harus tutup mulut pula.

Sarwono menolak untuk menjadi orang inti Cendana. Secara sadar, ia memilih koridor tengah saja. Itu bukan koridor kelompok oposisi. Namun bukan juga koridor lingkaran inti.

Di ruang koridor tengah itu, Sarwono lebih menemukan jati dirinya. Dirinya tetap bisa bermanuver dalam komunikasi publik, walau tak beroposisi frontal dengan Pak Harto.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *