Dulu Seteru, Sekarang Sekutu: Politik Indonesia Jelang Pemilu

Politik Indonesia Jelang Pemilu
Budiman Sudjatmiko dan prabowo berpelukan
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Akademisi dari Northwestern University, Yoes Kenawas menilai pragmatisme politik yang dipertontonkan berbagai pihak yang “menyeberang ke kubu yang tidak terpikirkan sebelumnya” tak terlepas dari sejarah politik Indonesia.

“Ini menurut saya terjadi karena, yang pertama, absennya gerakan sosial yang benar-benar memiliki ideologi yang kuat.”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Yoes menjelaskan berbeda dengan partai politik di sejumlah negara di Eropa yang terbentuk karena cleavage dalam masyarakat yang secara organik terkristalisasi menjadi ideologi-ideologi tertentu seperti liberal dan konservatif, hal ini tidak terjadi dalam konteks Indonesia.

“Kita lihat mulai tahun 65, ideologi komunisme dihabiskan, semua yang berhubungan dengan sosialisme dilebur jadi PDI, semua yang berhubungan dengan Islam digabung ke dalam PPP, terus yang dikemukakan adalah floating mass, masyarakat yang berkarya, masyarakat yang apolitis atau yang didepolitisasi, dan efeknya sampai sekarang.”

Menurutnya meski Indonesia mengenal ideologi Pancasila, masih belum jelas bagaimana refleksinya dalam kebijakan.

“Ideologi sosialis, misalnya, kan kalau di-translate kebijakan ekonominya sosialis, seperti pajak yang besar, punya program-program yang sifatnya universal coverage … sementara ideologi konservatif capitalism, mereka akan dorong kebijakan yang pro pasar.”

“Kalau ideologi Pancasila ini translation-nya apa sih ke [kebijakan] ekonomi dan lain-lain?”

Ketiadaan ideologi yang kuat beserta turunannya inilah yang menurut Yoes membuat partai politik di Indonesia tidak ekstrem berseberangan. Justru sebaliknya, semuanya “berkumpul di tengah.”

“Ada yang tengah ke kanan sedikit, ada yang tengah ke kiri sedikit, dan pada akhirnya semuanya bisa membuat jembatan untuk bertemu.”

Menurutnya, di satu sisi, ini adalah hal yang baik, karena berarti polarisasi ekstrem yang ditakutkan banyak orang bisa dihindari.

Namun, di sisi lain, ia menyebut kondisi ini juga sangat memudahkan untuk trading atau hal-hal yang sifatnya kartel di level pemerintahan.

“Makanya jangan heran kalau nanti siapa pun yang berkuasa, mereka akan berupaya meng-input sebanyak-banyaknya partai di parlemen untuk mengegolkan program-programnya, tanpa peduli ideologinya apa.”

“Yang tadinya kita pikir pro-HAM, ternyata bisa berkoalisi tuh sama orang yang selama kampanye didemonisasi sebagai pelanggar HAM.”

Basis ideologi yang lemah ini pula, menurut Yoes, yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik tertentu.

“Party ID-nya rendah banget dan lebih terpaku pada sosok atau figur, dan hari ini figur yang dilihat banget ya, Jokowi.”

Menurutnya faktor ini menjelaskan pentingnya dukungan Jokowi, baik untuk partai politik atau untuk capres itu sendiri.

“Karena kalau Jokowi bilang ‘oke, besok saya dukung calon A’, most likely pendukung solid Jokowi akan pindah mendukung calon tersebut,” jelasnya.

“Termasuk juga PSI yang punya kepentingan lolos ke parlemen tahun ini, mereka ingin dilihat sebagai partai loyalis pendukung Jokowi, mengambil ceruk orang-orang pendukung Jokowi tapi belum terafiliasi dengan partai politik,” pungkas Yoes.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *