Tiga instrumen itu memunculkan hirarki politik yang dinamis. Orang Minangkabau tidak mengenal pola kepemimpinan otoriter. Beda dengan daerah lain, pemimpin di Minangkabau bukan pemimpin yang dikultuskan. Mereka, yang ditunjuk sebagai pemimpin, hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Artinya, Demokrasi begitu hidup. Saya mengira, demokrasi yang paling bersih itu ada di Minangkabau.
Bahkan, siapa saja di Minangkabau, tanpa menunjuk latar, asal, pangkat dan jabatan, punya hak untuk mengkritik. Rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah. Artinya, ketaatan orang Minangkabau pada pemimpinnya, berlaku ketika pemimpinnya adil dan amanah. Tapi, ketika pemimpinnya sudah zalim, keluar dari jalur, masyarakat Minangkabau akan lantang bersuara, mengkritik. Filosofi inilah yang pada akhirnya membuat saya paham, kenapa orang Minang tidak punya urat takut dalam membela kebenaran, tajam mengkritik, dan keras dalam melawan. Mereka memang sudah diajarkan sedari kecil untuk terus menjaga nilai-nilai luhur, termasuk nilai dalam berpolitik. Jika nilai itu dilanggar, reaksi keras akan dilakukan.
Minangkabau, bagi saya adalah harapan. Di lekuk-lekuk Bukit Barisan, wawasan kebangsaan mekar secara alami. Orang-orang Minangkabau, berwatak keras tentang kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah jalan buntu. Tak bisa dibelok-belitkan. Harga mati. Itu kenapa, pada akhirnya banyak orang-orang Minangkabau yang bersuara lantang, melawan sesuatu yang menurut mereka pantas dilawan.
Saya terkesima degan sikap keminangan demikian, dan selalu berharap bisa “menjadi” orang Minang seutuhnya! (*)