Problem Politik dan Konstitusional Koalisi Pilpres

Problem Politik dan Konstitusional Koalisi Pilpres
Koalisi Pilpres
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Sistem politik Indonesia belum memberikan nilai substansial bagi proses sirkulasi kekuasaan di tingkat elit. Semua seremonial, pragmatis dan penuh dengan muslihat. Ini menandakan peradaban politik kita belum sepenuhnya andal untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar.

Demokrasi elektoral, pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan DPR, DPRD dan DPD hanya sebuah uji coba sistem. Sistem yang bersifat uji coba ini diutak-Atik tiap lima tahun. Bagaimana mungkin sistem yang diganti setiap periode bisa memberikan manfaat bagi rakyat dan perbaikan bangsa dalam jangka panjang?

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Para politisi tidak mempedulikan sistem yang ideal dan berjangka panjang. Kepedulian politisi adalah melanggengkan kekuasaan apabila mereka memiliki kesempatan untuk berkuasa dan mempertahankan mati-matian meskipun melanggar norma etik, norma moral dan norma konstitusi.

Seharusnya para politisi belajar dari pemilu 2014 dan pemilu 2019 dimana telah menciptakan polarisasi politik dan perkelahian elit yang tidak bermanfaat. Eksperimen Pemilu 2019 pemilihan langsung serentak itu adalah eksperimen gagal.

Kegagalan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara serentak dengan pemilihan DPR, DPRD dan DPD itu disebabkan adanya ambang batas pencalonan Presiden dan wakil Presiden (presidential threshold) yang menjadi penyebab kerumitan sistem pemilihan Indonesia. Problem lain, yaitu: Minimnya integritas penyelenggara Pemilu, politik berbiaya mahal, pragmatisme dan politik sandera.

Mengenai ambang batas pencalonan presiden, memang telah berhasil membuat bangsa ini semakin krisis kepemimpinan. Karena hanya segelintir orang yang menentukan calon presiden dan wakil presiden. Kandidat Capres tidak bisa menghindar diri dari kuasa gerontokrat partai dan para oligark politik.

Penentuan Calon presiden dan wakil presiden dengan menggunakan ambang batas tidak pernah menghasilkan presiden yang benar-benar membawa agenda bangsa dan rakyat. Dibalik kekuasaan presiden ada kekuasaan oligarki dan gerontokrasi yang kian menguat disemua partai.

Namun realitas sosial dan politik ini tidak membuat Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu bertentang dengan konstitusi. pasal itu pasal paling banyak di uji, lebih dari dua puluh kali dimohonkan ke MK. Mahkamah hanya berdalil bahwa itu Open legal policy. Sikap MK sepenuhnya “nurut-mangut” dengan partai politik parlemen, meskipun bertentangan dengan konstitusi tapi harus dikembalikan ke DPR dan Presiden.

UU Pemilu itu sangat inkonsisten. Di pasal 222 mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dengan syarat wajib terpenuhi PT 20 persen kursi di DPR dan atau 25 persen perolehan suara secara nasional.

Namun dalam Pasal 235 Ayat 5 Undang-undang Pemilu itu juga mewajibkan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. “Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya,”.

Di pasal 222 diberikan syarat untuk mengusung, tapi di pasal 235 ayat (5) diberikan sanksi kalau tidak mengasung Capres dan Cawapres. Anomali ini begitu terlihat telanjang sebagai sistem pemilu yang tidak konsisten dan sangat pragmatis. Artinya partai harus kawin paksa meskipun tidak memiliki kesamaan ideologi dan kesamaan visi, untuk menghindari hukuman pada pemilu berikutnya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *