Politik Dinasti Bukan Praktek Normal Demokrasi

Politik Dinasti Bukan Praktek Demokrasi
Politik Dinasti
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif KAMI dan Dewan Penasehat Front Pergerakan Nasional

Hajinews.co.id – Denny JA menulis, “Jika Gibran Menjadi Cawapres Prabowo”. Di situ, ia membela politik dinasti. Menurutnya politik dinasti adalah hal yang biasa dalam demokrasi. Ia menyebut sejumlah contoh yang dikatakannya sebagai politik dinasti. Amerika, katanya, menerima George HW Bush dan George W. Bush Jr, ayah dan anak menjadi presiden AS. Demikian juga Dinasti Kennedy, dimana dalam waktu yang sama dua bersaudara John F. Kennedy menjadi presiden sementara adiknya Robert Kennedy menjadi Jaksa Agung. Denny pun menyebut Nehru, SBY, Soekarno dan Soeharto sebagai contoh politik dinasti.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menurut Denny, politik dinasti tidak bertentangan dengan demokrasi sebab sudah sesuai dengan prinsip HAM, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih.

Denny JA menyebut bahwa artikelnya itu merupakan “Ekspresi Data”. Menurut saya, data yang disampaikan Denny hanya data permukaan alias dangkal. Pemahamannya atas demokrasi juga sama dangkalnya.

Apa Itu Politik Dinasti ?

Denny berdalih bahwa politik dinasti tidak bertentangan dengan demokrasi karena demokrasi menjunjung tinggi kesetaraan. Semua orang memiliki hak memilih dan dipilih yang sama. Benarkah demikian?

Politik dinasti adalah “perpindahan kekuasaan secara turun-temurun dari (anggota) suatu keluarga ke anggota lain (Herna, 2017). Politik dinasti di era moderen memang ada, namun tidak diterima sebagai kewajaran atau kepatutan. Politik dinasti hadir di era demokrasi sebagai perkecualian.

Politik dinasti, seperti akan diuraikan di bawah, menyebabkan terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan satu keluarga. Keluarga dapat mempergunakan kekuasaan itu untuk memajukan kepentingan khusus, meninggalkan kepentingan publik. Dalam hal ini jelas, politik dinasti merugikan hak-hak orang lain untuk memperoleh pemerintahan yang bersih dan demokratis. Jadi bagaimana politik dinasti dapat dianggap sebagai hal yang normal dalam demokrasi?

Disamping itu perlu diperjelas tentang apa yang dimaksud dengan hak politik. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (1948) menyatakan bahwa “setiap orang berhak ikut serta dalam pemerintahan, baik langsung maupun melalui wakilnya.” Jadi hak dasar yang dijamin oleh deklarasi itu adalah “hak berpartisipasi”, bukan “hak berkuasa”.

Hak berkuasa hanya dikenal dalam sistem monarki. Karena anggapan memiliki “hak berkuasa” itu maka Kaisar terakhir Cina Pu Yi dilantik saat ia berusia 2 tahun. Pu Yi tidak membutuhkan apapun untuk menjadi kaisar, itu sudah menjadi hak dia.

Sementara itu, apa hak Gibran Rakabuming Raka, yang dibela oleh Denny JA, sehingga ia boleh menjadi cawapres. Gibran jelas bukan Pu Yi namun menjadi 1 dari 3 paslon yang mengikuti pilpres adalah sebuah privilege luar biasa. Apa kelebihan Gibran dari 17 juta kader dan konstituen Golkar sehingga ia bisa dipilih menjadi cawapres? Apakah semata karena ia anak seorang presiden?

Gibran hanya perlu satu langkah lagi (pemilu) untuk memimpin Indonesia 2024-2029. Bila Jokowi masih terus cawe-cawe kemudian mengerahkan birokrasi, polisi, dan TNI, kemenangan Prabowo-Gibran tidak akan terelakkan. Gibran tidak butuh apapun untuk menjadi presiden, seakan-akan itu sudah menjadi hak dia.

Dengan begitu, sistem demokrasi dengan politik dinasti dimana presiden cawe-cawe dan pemilu curang, sama sekali tidak berbeda dengan sistem monarki. Keduanya menghasilkan output suka-suka penguasa.

Membatasi Politik Dinasti

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *