Krisis Konstitusi dan Konflik Politik Semakin Dekat

Krisis Konstitusi dan Konflik Politik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Hajinews.co.id – Hakim Konstitusi Arief Hidayat berkabung atas prahara “pengkhianatan konstitusi”. Pernyataannya disampaikan saat menghadiri acara di Kemenkumham beberapa waktu yang lalu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi persyaratan batas usia capres-cawapres. Dalam putusannya, MK menambah norma baru, sebagai alternatif syarat batas usia minimum 40 tahun. Yaitu, “berpengalaman sebagai Kepala Daerah”.

Putusan MK menuai polemik, bisa mengakibatkan krisis konstitusi dan memicu konflik politik. Di mana, konstitusi tidak mampu memberi jalan keluar atas perbedaan pendapat antar lembaga negara.

Pendukung Prahara putusan MK yang kontroversial mengatakan, putusan MK wajib ditindaklanjuti, karena bersifat final dan binding.

Golkar langsung deklarasi mendukung Gibran menjadi cawapres Prabowo, yang kemudian diikuti deklarasi Prabowo-Gibran sebagai pasangan capres-cawapres 2024 dari Koalisi Indonesia Maju.

Di lain pihak, sebagian masyarakat dan partai politik berpendapat, Gibran tidak bisa serta merta didaftarkan sebagai cawapres di KPU. Karena Peraturan KPU untuk capres dan cawapres 2024 masih menggunakan UU Pemilu yang berlaku, dengan persyaratan umur capres-cawapres paling rendah 40 tahun, titik. Tanpa embel-embel “berpengalaman sebagai kepala daerah”. Dalam hal ini, Gibran tidak memenuhi syarat.

https://m.metrotvnews.com/play/NrWC5xo0-pkpu-belum-revisi-pendaftaran-gibran-rawan-sengketa

Tentu saja, pendukung Prahara putusan MK berpendapat sebaliknya. KPU harus segera revisi Peraturan KPU sesuai putusan MK, dengan menambah norma baru “berpengalaman sebagai Kepala Daerah”.

Masalahnya, Peraturan KPU tidak bisa direvisi dengan menggunakan hasil putusan MK.

Perlu dipahami, putusan MK bukan merupakan UU atau bukan bagian dari UU, dan tidak berlaku sebagai UU. Apalagi putusan MK No 90 ini menambah norma baru yang mengubah pasal di dalam UU, sehingga pasal tersebut harus diubah.

Oleh karena itu, agar putusan MK dapat berlaku di dalam perundang-undangan, maka putusan MK harus ditindaklanjuti dan diatur di dalam UU Pemilu, dan dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi: “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang: tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.”

Pasal 10 ayat (2) berbunyi: Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Karena itu, sangat jelas, bahwa putusan MK terkait batas usia capres cawapres tidak berlaku kalau belum diatur di dalam UU Pemilu, Pasal 69 huruf q.

Selanjutnya, penetapan capres dan cawapres, sesuai UU Pemilu, harus mengacu pada Peraturan KPU, yang pada gilirannya harus mengacu pada UU Pemilu.

Dengan kata lain, materi muatan Peraturan KPU tidak bisa dan tidak boleh berdasarkan putusan MK.

Karena, Peraturan KPU pada hakekatnya merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pemilu.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *