Kapitalisme dan Kuasa Oligarki Berkedok Demokrasi

Kapitalisme dan Kuasa Oligarki
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Banyak sektor perlu mendapat perhatian serius, bukan hanya infrastruktur yang dielu-elukan pemerintah.

Antara lain soal pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial; soal pertanian, kedaulatan pangan dan energi; soal pembangunan industri dan daya saing; serta soal investasi dan infrastruktur.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saat ini disparitas dan ketimpangan memang masih menjadi paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia yang selama ini hanya mengedepankan kuantitas pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan.

Akibatnya, ketimpangan terjadi secara multidimensi: antar wilayah, antarsektor, serta antarkelompok pendapatan.

Oleh karena itu, nilai moral yang tak boleh ditawar adalah negara wajib mengemban peran etisnya untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan penduduk yang menjadi tanggung jawabnya, sekaligus soal hidup dan penghidupan masyarakat.

Program-program rasional pembangunan pada ujungnya tetap harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban etis negara, yakni apakah program tersebut mampu mengajak seluruh rakyat mengalami mobilitas bersama atau hanya mengajak segilintir kelompok dan pelaku ekonomi saja.

Karena itu pula, rona kebijakan publik yang diproduksi tidak boleh kehilangan saripati sosialnya. Ruang-ruang perdebatan publik yang terhampar di seluruh lini birokrasi negara tidak boleh habis hanya untuk memperbincangkan jatah kursi pemilu, anggaran negara untuk belanja fasilitas pegawai, anggaran hankam atau pun perdebatan dangkal soal pilkada maupun pilpres.

Ke depan, keberlangsungan kebijakan pembangunan tidak semestinya melahirkan bencana sosial ketimpangan yang justru menodai proses pembangunan.

Prinsip utama yang wajib menjadi rambu bahwa kebijakan yang diambil harus mulai diformulasikan bukan sekadar untuk bersanding dengan pasar, tetapi juga bertarung untuk menyelamatkan sendi-sendi sosial kehidupan rakyat, agar lobang-lobang ketimpangan tidak semakin menganga.

Nyatanya, ketimpangan justru semakin memburuk, karena sejak reformasi bergulir, kekuasaan cenderung memilih untuk berpihak kepada kepentingan elite-elite ekonomi politik negeri ini yang tanpa malu-malu sudah mulai menginvasi demokrasi elektoral kita.

Walhasil, kebijakan-kebijakan ekonomi nasional justru semakin mengenyangkan segelintir penguasa ekonomi yang tergabung ke dalam jejaring oligarki penopang kekuasaan istana tersebut

Sehingga perkembangannya secara statistik dan ekonomi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Pikkety, seorang guru besar bidang ekonomi berasal dari Perancis dalam buku “Capital in The Twenty-First Century” dan oleh Joseph E. Stiglitz, penerima penghargaan Nobel Laureate bidang ekonomi tahun 2001 di dalam buku “The Price of Inequality” atau oleh Robert Reich dalam buku “Inequality for All”, tingkat pertumbuhan kekayaan kelompok ekonomi teratas jauh melampaui tingkat pertumbuhan gaji para pekerja (wages) dan tingkat pertumbuhan standard hidup layak para pekerja (standard of living).

Menurut para ekonom itu, ada pergerakan tingkat pertumbuhan yang tidak sinkron antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat menengah ke bawah.

Di satu sisi kekayaan para konglomerat terus tumbuh setiap tahun dengan angka yang cukup bombastis, sementara itu di sisi lain gaji karyawan dan standar hidup layak para pekerja nyaris stagnan.

Sehingga menimbulkan jurang (cliff) yang sangat tajam antara masyarakat kaya (the have) dengan masyarakat menengah ke bawah.

Sementara itu secara politik, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial “The end of History and The Last Man” tepat setelah runtuhnya Uni Soviet , yang sebelumnya begitu percaya diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, akhirnya meralat sendiri pendiriannya.

Dalam karya-karya terbarunya, baik “ The Origin of Political Order – terbit tahun 2011” maupun “Political Order and Political Decay – terbit tahun 2014”, Frank, panggilan akrab Fukuyama, mulai pesimistis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *