Kapitalisme dan Kuasa Oligarki Berkedok Demokrasi

Kapitalisme dan Kuasa Oligarki
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Kapitalisme dan demokrasi liberal telah memperlihatkan tanda-tanda kurang baik yang bisa merusak idealitas demokrasi itu sendiri.

Frank, sebagaimana Joseph Stiglitz, menyayangkan berkembangnya model “rent seeking economic” yang ternyata berimbas buruk pada dunia politik.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ekonomi rente yang secara terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk mengakumulasi kekayaannya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik (political patrimony) dalam sistem politik.

Menurut dia, model ekonomi rente mendorong terbentuknya relasi politik patron-klien (clientalism pattern) yang sayangnya malah menumpulkan responsivitas pemerintah terhadap rakyatnya.

Para pemilik modal dengan mudah menyetir arah kebijakan pemerintah, bahkan mereka mempunyai kemampuan memaksa di dalam proses pembuatan kebijakan karena piutang politik selama masa kontestasi pemilu yang harus dibayar oleh para politisi.

Melorotnya responsivitas pemerintah (the government) terhadap kepentingan masyarakat pemilih berimbas pada memburuknya kualitas akuntabilitas publik.

Pemerintah merasa jauh lebih bertanggung jawab kepada kemajuan usaha dan akumulasi modal segelintir orang (pemilik modal) ketimbang kepada rakyat.

Sehingga akhirnya demokrasi sebagai imperatif moral dan sebagai sistem instrumental yang mendorong aktualisasi kebebasan dan kemanusiaan malah terdegradasi sedemikian rupa.

Demokrasi kembali ke sistem Schumpeterian (merujuk pada pemikir ekonomi fenomenal Joseph Schumpeter) yang sangat teknis dan prosedural, di mana demokrasi tersegradasi ke level yang sangat teknis, yakni sekadar pemilihan umum semata, tanpa terkait dengan urusan keadilan ekonomi dan kesejahteraan mayoritas rakyat.

Nah, karena perkembangan tersebut, secara fundamental ideologis maupun secara historis, demokrasi Pancasila yang lahir dari perdebatan-perdebatan ciamik masa lampau itu, kini tersisa cuma sebatas nama yang hanya disebut-sebut secara simbolistis saja.

Dalam perjalanannya sampai saat ini, tarik ulur antara individualisme dan kolektifisme hanya eksis di dalam perdebatan intelektual.

Faktanya, yang eksis adalah praktik ekonomi rente sebagai bagian dari eksistensi ekonomi politik kolektif penguasa di satu sisi dan berlangsungnya aglomerasi kapital di tangan-tangan segelintir konglomerasi di sisi yang lain.

Dan semua praktik buruk tersebut diklaim oleh para elite kita atas nama rakyat, baik rakyat yang mendapat akses dan privilege untuk mengakumulasi modal sebanyak yang mereka bisa, maupun rakyat yang hanya sebatas punya hak mencoblos di bilik suara, kemudian terlupakan.

Terbukti sampai hari ini bahwa demokrasi prosedural yang berkembang di tanah ibu pertiwi ini adalah demokrasi yang tumbuh, hidup, serta berkembang biak masih sebatas untuk kepentingan elite ekonomi dan penguasa politik.

Bukan untuk para pihak mayoritas yang selalu kecewa atas apapun yang dicoblosnya di dalam bilik suara yang sekali memilih, namun harus kecewa selama kurun waktu lima tahun.

Lihat saja data distribusi kekayaan ekonomi nasional yang semakin sangat tidak adil. Menurut laporan Global Wealth Databook dari Credit Suisse, populasi orang super kaya atau crazy rich di Indonesia sangat kecil.

Pada 2021, hanya ada sekitar 191.000 orang (0,1 persen) penduduk dewasa Indonesia yang punya kekayaan di atas 1 juta dollar AS atau lebih dari Rp15 miliar (asumsi kurs Rp 15.000 per dollar AS).

Kemudian sekitar 3,7 juta orang (2 persen) kekayaannya berkisar antara 100.000 dollar AS sampai 1 juta dollar AS (Rp 1,5 miliar sampai Rp 15 miliar).

Sekitar 57 juta orang (31 persen) kekayaannya antara 10.000 dollar AS sampai 100.000 dollar AS (Rp150 juta sampai Rp 1,5 miliar).

Adapun kelompok mayoritas, yakni sekitar 122,8 juta orang (66,8 persen) penduduk dewasa Indonesia kekayaannya di bawah 10.000 dollar AS (kurang dari Rp 150 juta).

Bahkan dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan penduduk dewasa di Tanah Air. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen total kekayaan penduduk.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *