Kultum 392: Fidyah bagi Wanita Hamil, Menyusui, dan Renta

Fidyah bagi Wanita Hamil
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.co.id – Telah dijelaskan sebelumnya tentang puasa bagi wanita yang menyusui dan wanita hamil, sehubungan dengan kekhawatiran terhadap diri atau janin atau kepada bayi yang disusui. Kekhawatiran itu juga berkisar pada keraguan apakan wanita demikian wajib mengqodho dan bayar fidyah, atau harus menqodho saja, atau harus bayar fidyah saja, atau bahkan tidak wajib apapun.

Karena jawabannya sudah jelas, maka dalam kultum ini kita akan membahas tentang cara membayar fidyah saja. Bagi wanita hamil dan menyusui, yang mengambil pendapat tidak puasa dengan mengganti membayar fidyah, maka tatacara pembayarannya adalah sebagai disebutkan oleh Imam Ibnu Utsaimin dalam Syaroh Mumti’ sebagai berikut.

Cara pertama, adalah dengan memberi makanan setiap hari untuk puasa yang ia tinggalkan, kepada satu orang miskin, dengan makanan standar yang dapat mengenyangkan mereka sekali makan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu ketika beliau telah berusia lanjut dan mengambil rukhshoh bayar fidyah atas puasa yang ditinggalkannya, beliau memberi makanan dengan lauknya kepada 30 orang miskin.

Cara yang kedua adalah dengan memberikan bahan makanan setiap hari satu mud atau dua mud (setengah sha’ atau sho’). Membayar satu mud berdasarkan riwayat yang mauquf Ibnu Umar dalam “Muwatho Imam Malik” sebagaimana pembahasan sebelumnya, sedangkan membayar setengah sho’ diqiyaskan kepada hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam, ketika bersabda kepada Ka’ab bin Ujroh Radhiyallahu anhu dalam hal fidyah karena adanya udzur dalam berhaji. Rasulullah bersabda,

فَصُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ

سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ

مِسْكِينٍ نِصْفَ صَاع

Artinya:

Berpuasalah 3 hari atau memberi makan 6 orang miskin setiap orangnya setengah sho’ (HR. Bukhari).

Adapun takaran 1 sho’ menurut Lajnah Daimah Suadi Arabia setara dengan 3 kg beras, jadi fidyah dengan setengah sho’ bahan makanan adalah setara 1.5 Kg beras. Namun demikian, menurut para ulama ada beberapa kondisi seseorang tidak wajib baginya puasa Ramadhan dan sebagai gantinya ia membayar fidyah. Diantara mereka adalah orang-orang yang sudah lanjut usia. Imamum Mufassiriin Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat berikut,

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ

مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ

خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ

اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya:

Dan bagi orang yang mengkuat-kuatkan menjalankannya, membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin, tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, ayat 184).

Dalam hal ini Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Hukumnya tidak mansuukh, yaitu masih berlaku untuk kakek dan nenek yang tidak mampu berpuasa, maka ia memberi makan tiap harinya satu orang miskin” (HR. Bukhori).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar