Peluang dan Tantangan Diskualifikasi Prabowo-Gibran di MK

Diskualifikasi Prabowo-Gibran di MK
MK
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Argumen tersebut bukan tanpa dasar. Metode penafsiran hukum ini bertolak dari pandangan bahwa konstitusi harus responsif terhadap perkembangan masyarakat, kebutuhan sosial yang terus berkembang perlahan-lahan (evolving) dan gagasan-gagasan mendasar tentang keadilan.

Dengan berdasar pada pemikiran itulah, maka Hakim Konstitusi tidak mengharuskan adanya pijakan hukum normatif untuk memutus pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Hakim Konstitusi dapat menafsirkan melalui bukti-bukti yang ada dengan menafsirkan secara luas berdasarkan hukum atau konstitusi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law) serta dengan didasarkan pada kebutuhan keadilan masyarakat.

Dengan demikian, pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres dapat dinilai sebagai terobosan hukum yang dapat memberikan jalan keluar atas kebutuhan rasa keadilan dengan berdasarkan azas penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Selain itu, Hakim Konstitusi dapat mendalilkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara rezim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan rezim Pilpres, sehingga dalil terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagaimana sering kali digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa hasil Pilkada seperti yang pernah terjadi pada perselisihan hasil pemilihan (PHP) di Yalimo, Boven Digoel dan Sabu Raijua dapat dijadikan sebagai dasar Yurisprudensi untuk memutus sengketa Pilpres.

Penafsiran tersebut dapat dikategorikan sebagai penafsiran doktrinal, yaitu penafsiran yang bertolak dari penerapan preseden atau mendasarkan pada putusan-putusan pengadilan sebelumnya.

Tidak hanya itu, Hakim Konstitusi dapat memperluas makna kejahatan kampanye, pelanggaran administratif pemilu atau tidak adanya transparansi dana kampanye sebagai bagian dari kategori pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang juga dapat dijadikan dasar sebagai pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres.

Hakim Konstitusi juga dapat menggunakan penafsiran etikal, yaitu penafsiran yang merujuk pada komitmen-komitmen moral atau ethos yang dituangkan dalam konstitusi.

Sehingga apabila ditemukan bukti-bukti berdasarkan argumentasi yang diajukan tidak sesuai dengan etika berkonstitusi dalam bernegara, maka juga dapat dijadikan dasar untuk mendiskualifikasi paslon dalam sengketa Pilpres.

Kedua optik itulah merupakan pilihan hukum terbuka bagi Hakim Konstitusi, apakah kecenderungannya menggunakan optik positivistik atau justru mengarah kepada penggunaan optik hukum responsif.

Tantangan

Kedua pilihan, baik optik hukum positivistik maupun optik hukum responsif bukan tanpa tantangan.

Apabila Hakim Konstitusi memilih optik hukum positivistik dalam memutus sengketa pilpres dengan menolak permohonan mendiskualifikasi paslon, maka Hakim Konstitusi akan dinilai oleh pihak Pemohon sebagai Hakim yang tidak mempertimbangkan keadilan karena hanya memperhatikan aspek formalitas dan prosedural semata.

Bahkan Hakim Konstitusi dapat dinilai kaca mata kuda dan tidak mempertimbangkan keadilan substantif dalam memutus.

Begitu juga apabila Hakim Konstitusi lebih mencondongkan pada optik hukum responsif dengan mengabulkan permohonan mendiskualifikasi paslon.

Hakim Konstitusi akan dinilai oleh Pihak Termohon dan Pihak Terkait tidak mencerminkan aspek keadilan karena dianggap telah keluar dari aturan yang telah digariskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pemilu. Selain itu akan dinilai pemborosan anggaran negara serta rentan terjadinya konflik sosial.

Kedua pilihan di atas sama-sama sulit yang harus dipilih oleh Hakim Konstitusi. Namun tentunya pilihan-pilihan sulit itulah harus diambil oleh Hakim Konstitusi, karena pada akhirnya tidak mungkin Hakim dapat memuaskan kedua belah pihak.

Kemerdekaan Hakim dalam memutus merupakan jaminan kebebasan sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum yang dipilihnya. Walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan kewenangan administrasi.

Namun yang lebih penting dari itu, semoga persatuan dan kesatuan bangsa tetap menjadi tujuan kita bersama, sehingga siapapun dapat menerima dengan lapang dada apapun putusan MK kelak.

Sumber: kompas

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *