Ustadz Adi Hidayat, Kompleksitas Tipologi Salafi, dan Halal Haram Musik

Halal Haram Musik
musik


banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Dari sudut pandang lain, dapat dikatakan bahwa Salafisme juga bergantung pada tokoh-tokoh utamanya, seperti al Jamiyah (pengikut Muhammad Aman al Jami, wafat 1994) dan al-Madkhaliyah (pengikut Rabi’ al Madkhaly). Mneimneh menyebutnya sebagai “Salafisme loyalis.” Tipologi ini berbeda dengan Salafisme skolastik yang secara eksplisit apolitis dan menghindari isu-isu politik. Fokus kelompok Salafi ini adalah masalah teologi dan yurisprudensi Islam.

Tipologi-tipologi di atas menunjukkan bahwa Salafisme sebagai sebuah fenomena bersifat kompleks. Menurut Meijer (2009), kompleksitas inilah yang menjadikan Salafisme bersifat ambigu dan rawan fragmentasi. Meskipun Salafisme telah terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok, masih ada satu kesamaan yang ditemukan di dalamnya, yang menurut Haykel (2009), adalah semangat reformasi agama dan sosial yang bertujuan untuk memurnikan keyakinan dan praktik Islam.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Meskipun Salafisme memiliki kesamaan dengan gerakan reformasi lainnya di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Salafisme berbeda dalam hal kesatuan gerakan, pendirian politik, keterlibatan perempuan di ruang publik dan tingkat adaptasi terhadap budaya lokal. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa Salafisme sebenarnya adalah kelompok reformasi yang memiliki banyak segi, terpecah oleh berbagai faktor sosial-keagamaan dan politik.

Mode of Believing dan Relasi yang Problematik

Fenomena Salafi menarik untuk ditelusuri lebih lanjut karena adanya kecenderungan untuk mencerabut agama dari konteks. Agama, dalam kacamata para Salafis dipandang sebagai ‘model for’ bagi seluruh dimensi kehidupan. Sebagai model, agama sudah fiks, tidak berubah, berfungsi sebagai cetakan atau template bagi seluruh realita sosial. Jarak waktu yang begitu jauh dengan Nabi Muhammad bukanlah kendala dalam mempraktikkan agama, sebab para Salafi tidak mengenal apalagi dituntut untuk melakukan kontekstualisasi. Sebaliknya, yang mereka lakukan, dalam ungkapan Halbwach, adalah contemporizing the past. Dalam ungkapan lain, salah seorang Ustadz Salafi menyebutnya sebagai “mengkunokan ajaran Islam”.

Bayangan idealitas di masa lalu adalah mimpi yang selalu mendorong para Salafi untuk selalu memurnikan ajaran Islam. Kemurnian itu bisa diraih dengan cara menyesuaikan diri secara konsisten dengan “template” yang sudah fiks, tidak berubah. Template itu adalah manhaj Salafussaleh sesuai dengan pemahaman mereka. Beragama tak lebih dari proses recalling, atau anamnesis pengalaman para Salafussaleh.

Disinilah akar konflik Salafi dengan kelompok lain dalam Islam. Recalling dan contextualizing adalah dua proses yang berbeda. Recalling berorientasi ke masa lalu, sementara contextualizig ke masa depan. Recalling berbasis remembrance tentang idealitas yang tidak terikat ruang dan waktu, sementara contextualizing berbasis pada usaha untuk membangun relasi dengan lokalitas yang terbatas.

Dalam kacamata ini, maka tensi antara Salafi dan non-Salafi akan terus terjadi di negeri ini. Disinilah letak problem tersebut, ditambah lagi oleh adanya kecenderungan dari masing-masing kelompok untuk melintasi batas jamaahnya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *