Hajinews – Menurut Nurbani, ini bukan toleransi. Melainkan intimidasi teologis atas nama toleransi. Inilah intoleransi yang sesungguhya dan membahayakan stabilitas politik dan bergama.
Nurbani lantas membandingkan dengan Yahudi, Kristen, dan Katolik bahwa mereka menganggap Muhammad bukanlah seorang nabi dan Islam bukan agama terakhir.
“Kami pun tidak tersinggung dan tidak harus menuntut mereka untuk merevisi isi khotbah gereja dan buku pelajaran agama tentang Islam yang mereka pahami,” tegas Nurbani.
Bagi Nurbani, masih-masing agama punya daulat yang tidak boleh diintervensi agama lain dengan alasan apa pun. Ini soal iman yang tidak bisa dibatalkan oleh apa pun, termaasuk alasan toleransi atau ketersinggungan umat lainnya.
“Akan terjadi kekacauan bila agama saling merevisi atas nama toleransi. Kebebasan beragama memang harus ditata, tapi bukan saling merevisi ajaran iman,” tuturnya.
Maka, lanjut dia, surat PGI yang ditujukan kepada Kemenag dan perintah Kemenag untuk memperbaiki pelajaran agama Islam terhadap bibel atau Injil adalah praktik intoleran yang sesungguhnya. Mengembangkan sikap saling menghormati dan menghargai tidak harus mengorbankan iman. Apalagi mengubah ajaran. Dengan perintah revisi itu akan terjadi chaos iman. Sesama agama akan saling memangsa.
“Kadang ada yang kebablasan dalam menilai agama lain. Saatnya bijak dalam beragama, bukan sebaliknya. Ada batas etika di mana kita harus patuh bersama,” pungkasnya. (dbs).)