LP3ES: Ada Cyber Pro Pemerintah Propaganda Pemilu dan Pelemahan KPK

Peluncuran buku 'Outlook Demokrasi LP3ES: Menyelamatkan Demokrasi Indonesia'. (Foto: Republika)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id –  Direktur Centre for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menyebut 2019 adalah tahun kemunduran demokrasi di Indonesia. Hal itu tampak dari polarisasi masyarakat saat pemilihan presiden hingga pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Jadi kita menyampaikan kondisi demokrasi di Indonesia tahun 2019. Kita harus sampaikan kabar yang kurang menyenangkan bahwa dalam teori disebut democaratic regretion atau kemunduran demokrasi,” ucap Wijayanto dalam peluncuran buku ‘Outlook Demokrasi LP3ES: Menyelamatkan Demokrasi Indonesia’ di Jakarta, Sabtu (21/12/2019).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Wijayanto mengatakan, tanda pertama kemunduran demokrasi adalah dengan bercokolnya sejumlah kekuatan antidemokrasi di lingkaran kekuasaan. Namun ia tak menyebut secara terbuka siapa dan seberapa kuat kekuatan itu. “Intinya ada aktor-aktor yang seharusnya menjaga demokrasi, tapi ternyata malah mengabaikan nilai-nilai yang mendukung demokrasi itu sendiri,” ujar Wijayanto.

Dia menyebut kemunduran demokrasi juga tampak saat gelaran Pilpres 2019. Masyarakat terpolarisasi secara tajam menjadi dua kubu. Terdapat juga penggunaan institusi negara dan kekuatan nondemokratis oleh salah satu calon. “Ada juga fake news dan hoaks di media sosial,” tegas Wijayanto.

Selain itu, tutur Wijayanto, kemunduran juga tampak ketika penguasa mengakomodasi kekuatan Islam populis. Bahkan, kekuatan oposisi juga dirangkul untuk bergabung ke dalam kekuasaan. Ia juga menilai pemerintahan Jokowi mengintervensi pemilihan ketua partai di dua partai lain sehingga yang terpilih orang yang loyal. Namun tudingan ini telah berulangkali dibantah oleh Jokowi.

Wijayanto menjelaskan kemunduran demokrasi di Indonesia tersebut dapat terlihat dengan adanya temuan yang dilakukan oleh seorang dosen dan mahasiswa dari Universitas Oxford yaitu Philip N Howard dan Samantha Bradshaw yang menyebutkan bawah ada 70 negara melakukan manipulasi media sosial dengan tujuan propaganda politik.

“Secara jelas di sana bagaimana mereka menemukan bahwa pada politik hari ini telah terjadi computational propaganda telah digunakan 70 negara di dunia. Di Indonesia hanya beroperasi pada waktu Pemilu,” ungkap Wijayanto.

Computational propaganda merupakan sebuah propaganda yang menggunakan teknologi komputer yang dijalankan oleh pasukan cyber yang berasal dari pemerintah atau aktor partai politik yang diberi tugas untuk memanipulasi oposisi publik secara online.

Di Indonesia sendiri, hasil studi tersebut menyebutkan bahwa kapasitas pasukan cyber masuk dalam kategori rendah, yakni hanya aktif pada momen Pemilu maupun momen tertentu.

Wijayanto mengatakan propaganda tersebut juga dilakukan oleh pasukan cyber di Indonesia yang pro terhadap pemerintah untuk menyerang oposisi maupun mengalihkan pembicaraan atau kritik yang penting.

Adapun titik paling krusial kemunduran demokrasi Indonesia, kata Wijayanto, adalah ketika KPK dilemahkan di mana banyak serangan terhadap KPK di media sosial secara bertubi-tubi. Padahal lembaga antirasuah itu adalah tumpuan utama untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Wijayanto menjelaskan, pelemahan KPK itu dilakukan dengan cara-cara yang antidemokrasi. Salah satunya dengan munculnya serangan pasukan siber di dunia maya yang menyebut bahwa KPK diisi orang-orang radikal atau kerap disebut Taliban.

“Satu minggu jelang pengesahan revisi UU KPK ada tsunami pembicaraan di Twitter, Instagram, dan Facebook, yang menyebut KPK adalah sarang radikalisme. Itu untuk membangun propaganda bawha KPK memang harus diawasi dan dilemahkan,” papar Wijayanto.

Serangan pasukan siber, lanjut Wijayanto, juga disertai dengan serangan hacker. Seperti ketika ribuan dosen berhimpun untuk menolak pelemahan KPK, ternyata beberapa akun WhatsApp mereka diretas. Setelah diretas, disebarkan pesan seolah-olah mereka mendukung revisi UU KPK.

“Ini tidak lazim dalam negara demokratis. Ada upaya sistematis penyempitan bagi masyarakat sipil berdiskusi dan menyampaikan aspirasi di ruang publik digita. Kita mengalami regresi demokrasi,” tegas Wijayanto.

Kemunduran demokrasi selama agenda pelemahan KPK juga tampak di dunia nyata. Yakni ketika diabaikan begitu saja tuntutan mahasiswa yang berdemonstrasi di depan Gedung MPR/DPR pada September lalu. “Ada ratusan mahasiwa luka-luka, tapi itu tidak jadi pertimbangan oleh kekuasaan dalam merevisi UU KPK,” kata pengajar Media dan Demokrasi di Universitas Diponegoro itu.

Dalam peluncuran buku Outlook Demokrasi LP3ES: “Menyelamatkan Demokrasi Indonesia” juga dihadiri oleh Ketua Dewan Pengawas LP3ES Prof Didik J. Rachbini dan penulis lainnya selain Wijayanto yaitu Malik Ruslan dan Fachru Nofrian Bakarudin. (rah/republika/rmol)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *