Faisal Basri Anggap Wajar Keberadaan OJK Mulai Banyak Dipersoalkan

Ekonom senior Faisal Basri. (Foto: Tribunnews)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA,hajinews.news.id – Kasus yang membelit PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) menjadi perhatian khusus ekonom senior Faisal Basri. Dia mengkritik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kasus yang terjadi di dua perusahaan pelat merah itu.

Faisal mencermati pemerintah abai dalam mengantisipasi sehingga sampai terjadi kasus besar di kedua perusahaan tersebut. Seandainya pemerintah tidak abai, menurut Faisal, para nasabah Jiwasraya pun sudah barang tentu masih menyisakan harapan tinggi bahwa preminya bakal dibayar dan investasinya akan kembali.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Kini mereka gundah gulana, tak ada kepastian bakal mendapatkan haknya,” ujar Faisal seperti dikutip pada laman pribadinya faisalbasri.com, Sabtu (25/1/ 2020).

Faisal menegaskan, sudah sepatutnya OJK bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Jiwasraya dan Asabri. “Bukan kali ini saja kejadian tragis menimpa perusahaan asuransi,” katanya.

Dia mengingatkan bahwa OJK telah diberikan kekuasaan penuh oleh undang-undang, seperti memberikan izin operasi perusahaan asuransi, mengeluarkan izin berbagai produk asuransi, lalu mengawasi perusahaan asuransi, hingga membuat aturannya.

Faisal menilai, persoalan likuiditas Asabri masih tertolong karena masih memperoleh dana iuran dari peserta. Adapun kasus Jiwasraya semakin membesar karena praktis premi jatuh tempo terus bertambah. Di saat yang sama, lanjutnya, dana dari premi baru praktis terhenti karena masyarakat jera berinvestasi di produk-produk investasi Jiwasraya.

Maka, lanjut Faisal, wajar jika banyak kalangan mulai mempertanyakan keberadaan OJK. “Bukan saja kewenangannya terhadap perusahaan asuransi, melainkan juga terhadap perbankan, lembaga keuangan bukan bank, pasar modal, dan fintek,” urai Faisal.

Dengan begitu, Faisal mempertanyakan siapa yang mengawasi OJK dan kepada siapa OJK harus melapor. Karenanya, Faisal menilai penguatan institusi darurat untuk dilakukan, karena menyangkut organ perekonomian yang vital. “Karena lembaga keuangan merupakan jantung perekonomian, jika terjadi serangan jantung, seluruh organ tubuh perekonomian bakal terdampak,” tegas dia.

Selanjutnya Faisal juga mempertanyakan, kenapa Kementerian Keuangan sampai sekarang belum kunjung merealisasikan amanat Undang-undang (UU) Nomor 40 tahun 2014 yang seharusnya sudah hadir pada Oktober 2017 tentang Perasuransian dalam hal penyelenggaraan program penjaminan polis. Karena pada Pasal 54 ayat 1 UU 40 tahun 2014, perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.

Lalu, Pasal 4 UU nomor 40 tahun 2014 juga mengatur mengenai undang-undang sebagai payung hukum program penjaminan polis dibentuk paling lama tiga tahun sejak beleid tersebut diundangkan atau pada 2017.

Faisal menjelaskan, berdasarkan undang-undang tersebut seharusnya program penjaminan polis sudah bisa dirasakan saat ini, namun belum berjalan karena aturan yang menjadi payung hukum belum terbit.

“Bukankah Kementerian Keuangan sudah diingatkan oleh berbagai pihak tentang amanat undang-undang itu? Tidak perlu menunggu kehadiran Omnibus Law untuk menyelesaikan masalah yang mendera Jiwasraya dan Asabri,” paparnya.

Sorotan miring terhadap OJK sebelumnya juga dilontarkan oleh kalangan DPR RI. Salah satunya anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Hidayatullah yang menilai OJK beserta komisionernya sudah tak punya kredibilitas lagi karena lalai dalam mengawasi PT Asuransi Jiwasraya. Sebagaimana diketahui Jiwasraya mengalami gagal bayar dan terindikasi merugikan negara sebesar Rp 13,7 triliun.

“Dengan terbukanya permasalahan industri keuangan, khususnya di bidang asuransi, sesungguhnya hal ini sudah menghilangkan kredibilitas OJK dan bapak-bapak sebagai komisoner,” ujar Hidayatullah saat Rapat Kerja OJK dengan DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (22/1/2020).

Menurut Hidayatullah, untuk bisa mengembalikan kredibilitas ini, OJK harus diuji dan diperiksa kinerjanya oleh lembaga lain, sehingga publik bisa melihat kerja mereka dengan benar. “Risikonya kalau kita bisa meminta memeriksa kinerja pengawasan mereka, bila ternyata tidak sesuai ya risikonya komisionernya harus mundur atau digabungkan kembali dengan Bank Indonesia (BI),” tutur dia.

Selanjutnya dia menekankan, kasus gagal bayar bukanlah masalah sepele dan sederhana. Pasalnya, kelalaian ini akan berdampak besar kepada kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan.

“Usulannya, kita periksa OJK melalui lembaga lain dengan segala konsekuensinya. Jadi, kalau mereka sudah benar, ya kita dukung, tapi kalau tidak ya mereka harus menerima konsekuensi terburuk,” kata Hidayatullah menambahkan.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pihaknya telah melakukan pekerjaan sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Ia menyebut, OJK tidak menyelidiki kasus Jiwasraya meskipun mengetahui permasalahan perseroan tersebut.

“(Kita) punya penyidik. Dalam hal penyidikan ada yang sudah kami masukkan dalam proses, bukan berarti enggak ada sama sekali,” ujar Wimboh. (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *