Merekam Jeritan Luka di Era Pandemi Covid-19

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Denny JA

Tragedi sebuah zaman acapkali menjadi buku besar. Banyak yang dapat kita renungkan, pelajari dari aneka karakter dan drama di dalamnya. Puncak karaker manusia, mulai dari yang paling hitam hingga yang paling mulia justru subur tumbuh di tanah tragedi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Apa yang dapat kita petik dan menjadi hikmah dari tragedi pandemi Covid-19?

Sayapun teringat Oskar Schindler (1). Ia orang kaya hidup di Jerman, di era yang tak kalah kelam. Nazisme dan pemburuan serta pembunuhan massal atas warga Yahudi terjadi di seluruh dunia.

Schindler sendiri anggota partai Nazi. Awalnya ia seorang industrialis, pedagang dan hidup untuk mencari untung saja. Namun ada 1.200 pekerja Yahudi di aneka pabriknya.

Ia pun mengambil risiko. Ia melindungi lebih dari 1.200 Yahudi itu. Ia menyembunyikan mereka. Kadang ia harus menyuap petugas keamanan Jerman agar semua rahasia aman.

Begitu dramatik kisah Oskar Schindler. Sebuah novel ditulis untuk merekam Ia punya cerita. Judulnya Schindler’s Ark ditulis oleh novelis Australia Thomas Keneally. Novel ini memenangkan Booker Prize di tahun 1982. Ia juga memenangkan Los Angeles Time Book Prize untuk Fiction tahun 1983.

Tahun 1993, Steven Spielbergh memfilmkannya menjadi Schindler’s List. Film ini juga memenangkan Oscar selaku film terbaik di tahun yang sama.

Sejarah penghargaan Oscar sendiri mencatat 12 film yang pernah mendapatkan penghargaan film terbaik, yang merekam drama zamannya.

Kedua belas film itu berkisah drama tragedi di zaman perang. Antara lain film The Hurt Locker (2009), The English Patien (1996), Braveheart (1995), Platon (1986), The Deer Hunter (1976), dan sebagainya. (12)

-000-

Tragedi pandemi Covid-19 juga menjadi samudera aneka kisah. Reportase media hanya mampu melukiskan secara umum data, nama dan peristiwa.

Sisi batin sebuah tragedi lebih mampu direkam oleh medium fiksi. Luka dan harapan lebih bisa diungkap melalui sastra, film dan lagu; melalui puisi, cerpen dan novel.

Saya pun membaca aneka rekaman batin itu melalui karya sekitar 53 puisi esai mini. Penulisnya cukup beragam, dari Aceh hingga Papua. Diperkaya pula oleh penulis dari negara Asia Tenggara (3).

Di antara mereka, ada yang memang dikenal sebagai penyair. Ada pula aktivis, jurnalis, dosen, bahkan pengusaha.

Untuk berdoa, kita tak perlu harus menjadi ulama atau pendeta. Untuk menulis puisi, kita pun tak perlu menjadi penyair.

Ada yang berkisah tentang pengusaha kecil yang pulang kampung. Hidup di kota di era social distancing membuatnya bangkrut. Tak ia duga, ketika pulang kampung, ia menularkan virus corona kepada keluarga. Kematian demi kematian yang tersayang disaksikannya sendiri.

Ada yang berkisah soal kesetiaan. Ia berhutang budi kepada majikan. Ketika sang majikan terkena virus corona, semua pergi. Tapi ia setia menemani. Sang majikan sembuh, namun ia sendiri kini di ajang ajal.

Ada pula kisah pedagang yang nekat. Ia sepenuhnya sadar hidup di kota besar. Mudah sekali ia tertular. Namun ia tak bisa berdiam saja di rumah. Anak dan istri perlu hidangan. Ia pun nekat tetap menjadi pedagang keliling.

Yang ini cerita tentang relawan. Ia mengabdikan diri merawat pasien. Begitu banyak yang ia ikut sembuhkan. Namun ia sendiri terkena virus. Ia pun menemui ajalnya.

Ada pula puisi tafsir yang sangat filosofis. Covid-19 dianggap berperan sebagai guru spritual yang tak biasa. Melalui derita panjang, ia mengajarkan manusia hal yang esensial.

Ternyata oh ternyata, di hadapan Coronavirus perbedaan agama, etnis, warna kulit dan asal negara tak ada artinya. Semua sama. Sama riskan menjadi korban.

Masjid, Gereja, Kuil dan Sinagog, di hadapan Covid-19 sama saja. Semua sama kosong, sama tak dikunjungi, sama ditinggal.

Virus itu mengajarkan kita kesamaan manusia lebih esensial ketimbang atribut luarnya.

Ternyata oh ternyata. Ulama dan Imam besar, Paus, Pendeta, Biksu dihadapan Covid-19 sama juga. Mereka sama tak berdaya. Sama tak bisa merujuk kitab suci untuk memusnahkan virus.

Semua patuh menunggu ilmu pengetahuan. Semua menanti olah labolatorium untuk menemukan obat penawar dan Vaksin.

Virus corona membuka mata kita seterang-terangnya. Bahwa ilmu pengetahuan yang kini menjadi penyelamat.

Umumnya para penulis merekam kisah nyata. Namun kisah itu difiksikan, didramatisasi, agar lebih menyentuh, menghanyutkan.

Puisi esai mini sangat sesuai sebagai medium untuk fiksionalisasi kisah sebenarnya. Drama dan narasi diekspresikan dalam puisi. Tapi kisah yang sebenarnya dijadikan catatan kaki. Ini puisi dengan catatan kaki. (4)

Berbeda dengan puisi esai yang biasa, puisi esai mini ini karakternya tak lebih dari 5.000. Puisi esai yang konvensional itu panjangnya  di atas 10 ribu katakter. Ibarat puisi esai itu novel, puisi esai mini adalah cerpen.

-000-

Kumpulan puisi esai mini menjadi istimewa, bukan hanya karena ia merekam tema besar tragedi zaman. Namun ia juga bentuk respon kepedulian penyair dan penulis.

Hadiah bagi 50 puisi esai mini yang terpilih, yang akan dilakukan di akhir Mei 2020, sebulan lagi dari waktu tulisan ini dibuat, akan menjadi derma. Semua hadiah itu akan dibelikan APD (Alat Perlindungan Diri) bagi TIM medis.

Tercatat banyak sekali tim medis yang tertular virus itu. Sebagian tak dilengkapi oleh APD yang memadai dan cukup.

Terhidanglah lebih dari 50 puisi esai mini. Tema besar yang merangkum semua adalah Love and Life in the Era of Corona.

Kumpulan puisi esai mini sekaligus menjadi pembuka edisi perdana Jurnal Puisi Esai.

Semakin kita bersetuju. Jika ingin memahami sebuah babak dalam sejarah, kita dapat membaca buku sejarah dan dokumentasi media. Namun jika ingin merasakan batin sebuah babak dalam sejarah, kita lebih menemukannya dalam film dan sastra, dalam novel dan puisi. (*)

 (April 2020)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *