CATATAN KRITIS IDe#25
Institute for Democracy Education
Jakarta, 2 Mei 2020
Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar
Mengerikan! Pada May Day, 1 Mei kemarin, serikat buruh di Kecamatan Weda, Halmahera Tengah, membakar fasilitas pabrik nikel PT IWIP asal China. Masalahnya, perusahaan tetap mewajibkan kerja 12 jam sehari di bulan puasa dan di tengah wabah covid-19. Perusahaan juga menolak membayar upah buruh 100 persen.
Tanpa menggunakan masker dan mengabaikan physical distancing, ratusan buruh menyerang pabrik. Beruntung aparat cepat turun tangan, kalau tidak pasti seluruh fasilitas pabrik telah menjadi puing. Bisa jadi juga memakan korban jiwa. Insiden ini merupakan warning terhadap rezim Jae yang dikendalikan Opung yang terlalu memberikan keleluasaan pada perusahaan-perusahaan China dengan mengabaikan hak-hak buruh lokal. Juga warning terhadap perusahaan asing untuk menghormati kearifan lokal. Silakan saja kalau tidak percaya Tuhan, tapi hormati mereka yang mempercayainya.
Kalau rezim Jae dan pemerintah daerah tidak sanggup mengatur perusahaan China untuk menghormati hak buruh lokal dan perusahaan tak peka dengan adat istiadat setempat, maka tak usah heran kalau kemudian insiden-insiden serupa akan juga meledak di tempat-tempat di mana terdapat perusahaan China. Sebut saja di Morowali, Kowane, dan Bintan, selain di Halmahera tentunya.
Harus diingat, China merupakan isu yang tidak populer di negeri ini. Terutama sejak Opung membentangkan karpet merah bagi ribuan pekerja China, bahkan di saat negeri ini sedang dihantam covid-19 asal Negeri Bambu itu. Kebijakan murah hati Opung inilah yang kemudian ditentang Gubernur dan DPRD Sulawesi Tenggara atas rencana kedatangan 500 buruh China.
Beberapa waktu lalu, buruh-buruh China terpaksa balik pulang setelah dihadang masyarakat Bintan. Ketidakpekaan Opung inilah yang mendorong Sekjen MUI Anwar Abbas menyerukan rezim Jae untuk tidak menyakiti hati rakyat yang bisa berakibat pada ketidakpercayaan publik terhadap rezim. Dengan kata lain, legitimasi yang sangat diperlukan rezim Jae di tengah krisis corona ini akan juga ambyar.
China tak populer di negeri ini berdasarkan fakta berikut. Pertama, pengaruh Cina yang terus membesar belakangan ini telah menimbulkan ketakutan di masyarakat. Mereka khawatir kedaulatan negara akan tergadaikan. Kedua, deal–deal kerja sama ekonomi China-Indonesia berat sebelah. China selalu yang diuntungkan. Ketiga, bermunculan berita negatif tentang perlakuan diskriminatif perusahaan China terhadap buruh lokal. Kendati punya skill sama pada pekerjaan yang sama, buruh China berupah berkali lipat dibanding buruh lokal.
Keempat, rezim China komunis menzalimi komunitas Muslim Uighur di Provinsi Xianjiang, China. Hak kebebasan beragama dilanggar dengan mencuci otak sekitar satu juta kaum Uighur untuk meninggalkan agama mereka. Kelima, secara umum orang Tionghoa di Indonesia dipandang hidup eksklusif. Kurang membaur, berkiblat ke negeri leluhur, dan hanya mengejar keuntungan ekonomi. Bukankah mayoritas kaum oligark Indonesia adalah Tionghoa? Bukankah juga kenyataan bahwa ekonomi negeri ini dikuasai mereka? Tulisan ini tidak diniatkan untuk memburuk-burukkan sauadara saudara kita etnis Tionghoa. Toh, banyak juga yang berjasa bagi negeri ini. Namun, saya berbicara tentang citra China di negeri ini.
Ajaibnya, semua hal di atas tidak menjadi pertimbangan Opung hanya demi investasi China. Padahal, menurut ekonom senior Rizal Ramli, tanpa bergantung pada ekonomi Cina pun Indonesia bisa menjadi superpower, menyodok ke peringkat keempat setelah India, Meksiko, dan Vietnam dalam sepuluh tahun ke depan. Ia mendasarkan pendapatnya pada analisis pengamat ekonomi internasional. Artinya, Indonesia bisa menjadi negara hebat di bidang ekonomi kalau mereorientasikan kebijakan ekonomi dan politiknya ke dalam, secara berdikari, sebagaimana tiga negara di atas.
Sekali lagi, insiden Halmahera harus menjadi kesempatan rezim Jae dan pemda meninjau ulang pasal-pasal kontrak kerja sama perusahaan China dengan pemerintah. Dalam hal ini, pemda harus diberi otoritas lebih dalam menentukan pasal-pasal kontrak kerja sama karena merekalah pihak yang paling tahu tentang tradisi dan budaya tempat perusahaan China beroperasi.
Tanpa perbaikan segera perjanjian kerja sama — juga bimbingan budaya lokal pada orang-orang asing — maka bukan hanya Halmahera yang akan terbakar, tapi juga Morowali, Kowane, Bintan, dan mungkin juga daerah lain (saya tidak tahu di mana saja). Malah, bisa merembet ke etnis Tionghoa juga. Saya tahu Weda, tempat PT IWIP berada — kota kabupaten yang pernah saya kunjungi pada 1974 — dihuni etnis Tionghoa sebagaimana kota dan kecamatan lain yang tersebar di seluruh Provinsi Maluku Utara.
Covid-19, yang juga telah melanda Maluku Utara, ikut menjungkirkan-balikan kehidupan masyarakat di sana. Hidup menjadi makin sulit. Dan di bulan puasa ini, ketika konsumsi meningkat saat daya beli masyarakat menurun — kepekaaan sosial dan budaya meningkat. Di saat seperti ini seharusnya perusahaan mengeluarkan kebijakan baru yang rendah hati, yang mengakomodasi lingkungan sosial keagamaan yang berubah. Bukan malah menzalimi buruh lokal yang gajinya tidak seberapa. (*)