Hukum Shaf Salat Social Distancing Di Era Pandemi Covid-19

shaf social distancing
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



HUKUM SHAF SALAT SOCIAL DISTANCING DI ERA PANDEMI COVID-19

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tanya : Ustadz, apa hukumnya mengatur shaf Salat jamaah secara social distancing di masjid, yaitu ada jarak sekitar 1 meter antara satu orang dengan orang lainnya, karena khawatir ada potensi penularan wabah virus Corona dalam pandemi Covid-19 saat ini? (Mahfudz, Kudus)

Jawab : Hukum mengatur shaf Salat dengan adanya jarak seperti yang ditanyakan di atas, berkaitan dengan hukum meluruskan dan merapatkan shaf. Karenanya, akan kami jelaskan lebih dulu pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hukum meluruskan dan merapatkan shaf ini, karena terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini. Setelah itu akan kami jelaskan hukum syara’ untuk pengaturan shaf secara berjarak dalam pandemik Covid-19 yang ada saat ini.

Perlu diketahui memang ada perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan ulama mengenai hukum meluruskan shaf (taswiyyat al shufûf), termasuk di dalamnya adalah merapatkan shaf (al tarâsh, suddul khalal) supaya tidak ada celah/kerenggangan (furjah) antara satu orang dengan orang lainnya.

Dalam masalah ini ada 2 (dua) pendapat.

Pertama, pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Inilah pendapat jumhur ulama, di antaranya pendapat empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi (Az Zaila’i, Tabyîn Al Haqâ`iq, 1/136), mazhab Maliki (An Nafrâwi, Al Fawâkih Ad Dâwanî, 1/527), mazhab Syafi’i (An Nawawî, Al Majmû’, 4/301), dan mazhab Hanbali (Al Mardâwî, Al Inshâf, 2/30).

Kedua, pendapat sebagian ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya wajib. Para ulama yang berpendapat seperti ini antara lain Imam Ibnu Hazm (Al Muhalla, 2/375), Imam Ibnu Taimiyyah (Al Fatâwâ Al Kubrâ, 5/331), Imam Ibnu Hajar Al Asqalânî (Fathul Bârî, 2/207), Imam Badruddin Al ‘Ainî (‘Umdatul Qârî Syarah Al Bukhârî, 5/255), dan Imam Ash Shan’ânî (Subulus Salâm, 2/29).

Pendapat kedua inilah yang kemudian difatwakan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin (Syarah Al Mumti’, 3/10) dan Lajnah Dâ`imah dari Arab Saudi (Fatâwâ Al Lajnah Al Dâ`imah, Al Majmû’ah Al Tsâniah, 6/324). (lihat : https://dorar.net/feqhia/1402/).

Ulama yang mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf tersebut antara lain berhujjah dengan hadis dari Anas bin Malik RA dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah SAW bersabda :

سووا صفوفكم، فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya lurusnya shaf itu termasuk ke dalam tegaknya Salat.” (HR Bukhari, no. 690).

Imam Ibnu Hazm mengomentari hadis tersebut dengan berkata :

تسوية الصف إذا كان من إقامة الصلاة فهو فرض، لأن إقامة الصلاة فرض، وما كان من الفرض فهو فرض

“Lurusnya shaf jika termasuk dalam tegaknya Salat, maka hukumnya fardhu (wajib). Karena tegaknya Salat itu fardhu, dan apa saja yang merupakan bagian dari suatu kefardhuan, maka hukumnya juga fardhu.” (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/375).

Namun demikian, jumhur ulama tidak sependapat bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib. Bagi jumhur ulama, hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Ini karena jumhur ulama berpegang dengan hadis Abu Hurairah RA, dalam Shahîh Bukhâri juga, yang meriwayatkan sabda Rasulullah SAW dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu sabda Rasulullah SAW :

أقيموا الصف في الصلاة، فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

“Luruskan shaf dalam Salat, karena lurusnya shaf itu termasuk dalam bagusnya Salat.” (HR Bukhari, no. 689).

Dalam hadis Abu Hurairah ini, lurusnya shaf disebut sebagai “termasuk bagusnya Salat” (min husni ash sholât). Bukan disebut “termasuk tegaknya Salat” (min iqâmat ash sholât) sebagaimana hadis Anas bin Malik sebelumnya.

Lafal “min husni ash sholât” menurut jumhur ulama menunjukkan makna tambahan (ziyâdah), setelah sempurnanya Salat. Jadi artinya, lurusnya shaf itu bukanlah kewajiban, melainkan sekedar afdholiyah (keutamaan) saja, alias sesuatu yang sunnah, bukan sesuatu yang wajib.

Imam Ibnu Baththal dalam kitabnya Syarah Shahîh Bukhâri menjelaskan hadis di atas dengan berkata:

هذا الحديث يدل أن إقامة الصفوف سنة مندوب إليها ، وليس بفرض ؛ لأنه لو كان فرضًا لم يقل ، عليه السلام ، فإن إقامة الصفوف من حسن الصلاة ؛ لأن حسن الشىء زيادة على تمامه ، وذلك زيادة على الوجوب

“Hadis ini menunjukkan bahwa lurusnya shaf adalah sunnah (mandub), bukan fardhu. Sebab kalau seandainya fardhu, niscaya Rasulullah SAW tidak akan mengatakan lurusnya shaf adalah “termasuk bagusnya Salat” (min husni ash Salat). Karena bagusnya sesuatu itu berarti tambahan atas kesempurnaan sesuatu, yaitu suatu tambahan atas suatu kewajiban…” (Ibnu Bathal, Syarah Shahîh Al Bukhârî, 2/347).

Berdasarkan penjelasan ini, kami lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menegaskan :

وقد أجمع العلماء على استحباب تعديل الصفوف والتراص فيها

“Para ulama sungguh telah sepakat (ijmâ’) bahwa sunnah hukumnya meluruskan dan merapatkan shaf.” (Imam Nawawi, Syarah Shahîh Muslim, 5/103).

Hanya saja, perlu dipahami bahwa penjelasan hukum meluruskan dan merapatkan shaf di atas, adalah jika kondisi kita normal-normal saja, yakni tidak ada pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Adapun ketika ada ancaman pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, maka hukum meluruskan dan merapatkan shaf secara syar’i adalah boleh, baik bagi jumhur ulama yang mensunnahkan maupun bagi sebagian ulama yang mewajibkan.

Bagi jumhur ulama yang mensunnahkan, masalahnya jelas, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu sendiri memang hukumnya tidak wajib. Hukum ini dapat diamalkan dalam kondisi normal ataupun dalam kondisi pandemik sekarang ini.

Adapun bagi ulama yang yang mewajibkan, adanya kondisi pandemik ini merupakan udzur syar’i yang membolehkan meninggalkan kewajiban, sehingga akhirnya merekapun membolehkan pengaturan shaf Salat secara berjarak (social/physical distancing) di masjid.

Sebagian ulama kontemporer yang mengikuti pendapat Imam Ibnu Taimiyah atau Syekh Ibnu Utsaimin yang mewajibkan untuk meluruskan atau merapatkan shaf, akhirnya membolehkan shalat secara berjarak dengan alsan adanya udzur, yaitu khawatir tertular virus Corona.

Dalam situs islamqa.info terdapat fatwa yang menjelaskan :

الذي يظهر جواز صلاة الجماعة في المساجد مع وجود مسافات بين المصلين في الصف خوفا من انتشار العدوى والوباء، وأنه أفضل من إغلاق المساجد، فترك التراص هنا لعذر…

“Pendapat yang jelas adalah bolehnya Salat berjamaah di masjid-masjid dengan adanya jarak-jarak di antara orang yang Salat dalam shaf (barisan) karena takut tertular penyakit atau wabah, dan ini lebih afdhol daripada penutupan masjid-masjid. Jadi meninggalkan merapatkan shaf di sini adalah karena adanya udzur…” (https://islamqa.info/ar/answers/333882/).

Kesimpulannya, pertama, pendapat yang rajih (lebih kuat), meluruskan dan merapatkan shaf dalam Salat berjamaah itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

Kedua, boleh hukumnya mengatur shaf Salat dengan adanya jarak (social distancing) dalam Salat jamaah di masjid-masjid, karena ada udzur, yaitu khawatir akan ancaman Covid-19 seperti sekarang ini. Wallâhu a’lam.

Yogyakarta, 31 Mei 2020

  1. Shiddiq Al Jawi
banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *