Mega, Puan & Ideologi Politik Orang Minang

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Mega, Puan & Ideologi politik Orang Minang

Oleh : Saiful Ardi (Inyiak eSA)

Sumbar & PDIP

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pernyataan Megawati dan Puan Maharani tentang ideologi politik Orang Sumbar dalam acara penyerahan dukungan PDI Perjuangan untuk Pilkada Sumbar 2020 pada Rabu (2/9-2020) lalu memicu banyak reaksi. Sebab pernyataan keduanya ‘manggisia’ dua isu sensitif. Pertama soal Ideologi Pancasila dan kedua tentang provinsi Sumatera Barat yang identik dengan etnis Minangkabau.

Secara umum, Mega heran mengapa PDI Perjuangan tak berjaya di Sumbar. Wakil-wakil PDIP jadi pemenang dalam pileg dan pilpres di level nasional 2014 & 2019. Tapi mereka tak laku di Sumbar.
Di sisi lain, Puan berharap orang Sumbar mendukung negara Pancasila.
Sebagai orang Minang, banyak dunsanak urang awak diluar sana merasa dilecehkan. Seolah, kami orang Minang di Sumbar kurang Pancasilais.

Tapi, setelah di-inap menungkan, rasanya tak perlu kita tersinggung benar. Sebab, beliau-beliau ini masih Dunsanak kita.
Karena, Megawati dan Puan Maharani mewarisi darah Minangkabau dalam dirinya. Megawati adalah putri dari perempuan berdarah Minang, yaitu Fatmawati. Fatmawati anak dari seorang aktivis dakwah Muhammadiyah bernama Hasan Din dan istrinya Siti Chadijah yang merantau ke Bengkulu. Mereka berasal dari Indrapura Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Menurut adat Minang yang Matrilinear ( pewarisan suku dari garis ibu), Megawati adalah urang Minang. Bila Megawati urang Minang, berarti Puan juga bersuku Minang.

Untuk Puan, mungkin dia tidak lupa bahwa ayahnya almarhum Taufiq Kiemas juga berdarah Minang. Ini terbukti dengan di-lewa-kan nya Taufiq Kiemas sebagai kepala Adat bergelar Datuk Basa Batuah di Nagari Sabu Luhak Tanah Datar, Sumbar.
Karena itu, tak salah kiranya saya menyebut beliau dengan panggilan Bundo Megawati dan Uni Puan.

Andai saja Fatmawati bukan Minang, minimal Mega adalah ‘minantu’ di Minang karena suaminya Taufiq Kiemas adalah Datuak. Minimal, Puan adalah anak dan ‘babako’ ke Minangkabau.

Petuah Lamo
Sebagai orang Minang atau sebagai menantu dan anak orang Minang, tentu pernyataan dari Bundo dan Uni berdua ini patut disayangkan.
Sebagai sesama ‘urang awak’, saya ingin sekedar mengingatkan petuah bijak dalam khazanah sastra dan etik Minang kabau. Terkait kasus ini, ada beberapa pengajaran yang patutnya jadi renungan.
Orang tuo-tuo di Minang mengajarkan “Jan Dek Buruak Muko, camin dibalah “.
(jangan karena buruk muka, cermin dibelah)
Maksudnya, jangan menyalahkan orang lain (Sumbar) bila mereka belum memilih partai atau calon PDIP.

Menuduh orang Sumbar tidak nasionalis atau tidak Pancasilais karena PDIP tak dipilih terlalu menyederhanakan masalah.

Mari kita lihat aleg Sumbar untuk DPR RI hasil pemilu 2019.
Dari 14 anggota DPR RI asal Sumbar, ada 3 wakil Gerindra & PAN, 2 wakil dari Demokrat, PKS & Golkar, ditambah 1 wakil Nasdem & PPP.

Persebaran ini mencerminkan pandangan politik orang Sumbar yang moderat dan tidak terjebak dalam fanatisme sempit. Bandingkan dengan beberapa daerah lain yang didominasi satu dua partai saja.

Soal harapan agar ‘orang Minang mendukung negara Pancasila’ juga terdengar agak sumbang. Seperti “Manapuak aia di dulang”. Seperti menepuk air di dulang alias membuka kekurangan kita sendiri. Pernyataan itu seperti membuktikan Uni Puan tidak terlalu paham tentang leluhurnya orang Sumbar. Atau tidak terlalu paham tentang sejarah, sosiologi, demografi, sampai peta politik wilayah Sumbar yang disebutnya.

Kata orang tuo-tuo, ” Kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak di duga.” Artinya, kalau kita tak cukup banyak membaca, kurangilah berbicara. Karena, bisa jadi makin kita bicara, makin tahu orang lain keterbatasan kita. Kalau bukan kutu buku, tak perlu bicara hal-hal yang rumit dan ribet.
Saya membayangkan beliau mewarisi gaya bicara ‘padat bergizi’ seperti orasi Bung Karno yang penuh dengan kutipan ide dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Tidak sekedar angkat tangan mengepal, dengan pekik membahana, namun hambar kurang berasa.

Ideologi politik & keislaman Orang Minang

Seperti persebaran aleg pusat terpilih di pemilu 2019, warna ideologi politik orang Minang yang terbuka juga bisa dilacak sebelum Indonesia Merdeka.
Orang Minang itu manusia merdeka. Mereka berpikir dan bertindak secara rasional dan mandiri, tak bisa didikte atau dimanipulasi.

Secara sederhana, tokoh Minang mewakili top leader dalam ideologi politik yang pernah hidup di Indonesia. Kita bisa melihatnya dari ideologi paling kiri sampai paling kanan. Lihatlah sosok Tan Malaka, Yamin, Syahrir, Hatta, hingga Agus Salim dan Natsir.

Tan Malaka (asal Gunung Omeh, Kab 50 Kota) bernama Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Tan Malaka adalah ideolog dan ‘Bapak Republik’ yang sudah bergerilya keliling dunia mempersiapkan “Menuju Indonesia Merdeka”. Tan Malaka disebut seorang kiri, sosialis dan kerap juga dicap komunis. Tan Malaka adalah tokoh yang paling lengkap mempersiapkan kemerdekaan dengan gerakan, jaringan internasional, hingga pengkaderan berikut buku2 yang ditulisnya sendiri. Setelah Tan Malaka terbunuh, pengikutnya terpecah, membentuk PKI dan Murba.

Muh Yamin (asal Talawi, Sawahlunto) adalah nasionalis sekular. Yamin adalah salah seorang konseptor dan inisitor Sumpah Pemuda 1928. Diantara tokoh Minang di awal Indonesia Merdeka, Yamin adalah orang yang paling dekat dengan Bung Karno. Saat Hatta, Syahrir, dan Natsir menentang Soekarno yang menggandeng Partai Komunis Indonesia di bawah Aidit, Yamin gabung dengan Bung Karno.

Selanjutnya, Syahrir (asal Padang panjang) adalah nasionalis plus ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI). Syahrir adalah perdana Menteri pertama dan termuda dalam sejarah Republik Indonesia.
Hatta sebenarnya sama dengan Syahrir, karena mereka berdua mendirikan PNI (pendidikan nasional Indonesia) sejak di Belanda. Syahrir ditugasi mengurus PNI di tanah air sementara Hatta bertahan di Belanda. Syahrir lalu mengubah nya menjadi PSI. Sementara itu Hatta tak berpartai, tetapi tetap punya hubungan ideologis dan personal dengan orang-orang PSI Syahrir. Syahrir seorang sosialis yang meyakini penting nya kaderisasi. Syahrir tak suka dengan gaya orasi memukau di depan massa gaya Bung Karno. Syahrir menyebut itu tidak banyak merubah rakyat dan hanya agitasi kata-kata. Syahrir juga menolak gerakan revolusi massa gaya komunis.

Di tengah, ada Hatta (asal Bukittinggi) yang posisi paling netral. Di bagian kanan, ada 2 tokoh Minang yang mewakili ideologi Nasionalis Islam. Yang agak ke tengah adalah Haji Agus Salim ( asal Kotogadang, Agam) sebagai penerus Syarikat Islam yang didirikan Haji Oemar Said Tjokroaminoto ( guru dan mertua Soekarno).
Natsir ( asal Maninjau, Agam) mewakili ideologi politik nasionalis Islam paling kanan, sekaligus ketua Partai Masyumi ( Majelis Syura Muslimin Indonesia).

Khusus untuk Natsir, dia adalah bapak “NKRI”. NKRI atau negara kesatuan republik Indonesia adalah hasil dari mosi integral Natsir dari Masyumi yang diajukan dalam Sidang Konstituante setelah Indonesia terpecah dalam Republik Indonesia serikat (RIS) buatan Belanda.

Fakta di masa lalu dan hari ini menunjukkan bahwa ideologi politik orang Minang sangat terbuka.

Bahkan dalam soal keagamaan, orang Minang juga terbuka.
Orang Minang menerima paham tradisional dan modern.

Aliran tradisi diwakili oleh Pergerakan Tarbiyah Islamiyyah (Perti). Perti adalah organisasi dan gerakan Islam berpaham Ahlu Sunnah Waljamaah.Dalam pemilu tahun 1955, Perti jadi partai lokal Sumatera Barat. Perti ikut pemilu dan menempatkan wakilnya di konstituante. Dua tokohnya Sirajuddin Abbas dan Rusli A. Wahid juga jadi menteri Bung Karno. Perti masih ada hingga kini dan bergabung ke Nahdhatul ulama (NU).

Tapi, di samping itu, paham pembaruan Islam seperti Muhammadiyah juga besar di Sumbar dan menjadi salah satu basis utamanya.

Saat ada orang-orang hebat dari Jakarta ingin memaksakan paham ‘Islam Nusantara’, orang Minang tidak tertarik karena sudah punya ‘Islam Minangkabau’. Bagi orang Minang, ide ‘Islam Nusantara’ itu sudah basi dan terlambat.
Karena masalah itu sudah lama diselesaikan dalam Perjanjian Sumpah Sakti Bukik Marapalam. Hal itu sudah diselesaikan orang Minang lebih 1 abad sebelum Indonesia ada. Yaitu, tahun 1837. Titik temu Keislaman dan Keminangkabauan/ kenusantaraan sudah diramu dalam falsafah ABS- SBK ( adat basandi syara’-syara’ basandi kitabullah). Perjanjian ini dibuat antara Kaum Adat dan Kaum Agama.

Kembali ke soal di atas, Bundo Megawati dan Uni Puan mungkin penasaran
soal Jokowi kalah di Sumbar dalam pilpres 2014 & 2019.
Jawaban saya, itu soal selera saja. Hanya orang bodoh yang mendebat pilihan selera pihak lain. Selera Itu mirip rasa cinta yang tak bisa dipaksakan. Walau orang bilang si ‘dia’ ganteng atau cantik, kalau ilfill mau apa? Walau tajir atau kinclong, kalau “nggak tipe”, suka-suka yang milih dong. Sederhananya, calon PDIP di 2014 & 2019 ‘bukan tipe’ nya pemilih Minang..

Lagi pula sekarang Itu sudah jadi masa lalu. Tak usah lagi diperdebatkan, atau dikaitkan dengan ini itu. Kalau ada yang mengaitkan pilihan pilpres itu dengan intoleransi, Pancasilais, atau nasionalis, berarti perlu periksa kesehatan mental dan jiwanya. Toh, Jokowi Prabowo sudah bergabung. Apalagi masalahnya.?

Penutup, kepada Bundo Megawati dan Uni Puan, ‘Jan lupo Jo kampuang, jo Ranah Minang.”
Apalagi, kabarnya Uni Puan berniat maju di pilpres 2024.
Tapi, soal pilihan orang Minang nanti, ya tergantung selera. Apakah orang Minang akan memilih karena seseorang punya ‘darah Minang’, itu panjang pula kajian nya. Bilo hari lapang, kito buka pulo carito soal nan Iko..

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *