Partai Politik: Penjaga atau Penghancur Ideologi Bangsa?

Partai Politik: Penjaga atau Penghancur Ideologi Bangsa?
Partai Politik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Kerapkali ketika Partai Politik baru dideklarasikan, banyak orang akan pesimis dan mempertanyakan rasionalisasi di balik pendirian partai baru tersebut. Biasanya nada pesimis akan lebih dominan dari pada nada optimis, selain dianggap tiada perbedaan dengan partai yang sudah ada, biasanya partai baru dianggap “terlalu berani” mengingat faktor dana yang cukup besar untuk hadir menjadi pemain serius dalam kontestasi pemilu.

Pesimisme ini sebenarnya wajar saja berdasarkan preseden yang sudah terjadi di Indonesia khususnya di era reformasi dimana harapan terhadap perubahan kehidupan bangsa yang lebih baik, digantungkan cukup besar pada aktor politisi yang dinaungi oleh Partai Politik mereka masing – masing.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tapi, bak pepatah yang mengatakan “seperti bertepuk sebelah tangan”, ekspektasi publik tidak kunjung dipuaskan oleh Partai Politik yang sudah ada di Indonesia. Karena menurut catatan Indonesian Corruption Watch (2019), banyak Partai Politik dan Politisinya justru menunjukkan kinerja yang memprihatinkan dengan banyaknya mereka menjadi pesakitan sebagai terdakwa Koruptor. Mereka bukan saja menjadi etalase buruk bagi Partai Politik yang mereka wakili tetapi juga menjadi catatan kelam bagi perjalanan bangsa dan negara ini yang susah payah dibangun oleh darah dan air mata para Founding Fathers pada masa lalu.

Pesimisme terhadap Partai Politik juga makin menguat akhir – akhir ini, dengan kinerja legislasi yang tidak optimal baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya, publik dapat melihat lolosnya pengesahan RUU Omnibus Law yang banyak disoroti para pengamat sebagai produk Undang – Undang yang bermasalah baik secara prosedur maupun isinya. Partai Politik seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap hal tersebut.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2019 menunjukkan, kepercayaan kepada Partai Politik berada di titik yang tidak menggembirakan (hanya 53 %). Wajarlah publik tidak banyak menaruh harapan kepada partai partai politik yang baru didirikan, karena boleh jadi hanya menduplikasi kinerja yang sama. Akhirnya publik menjadi apatis terhadap kemunculan partai baru dengan jargon apapun, baik yang mengidentifikasikan dengan simbol agama maupun non agama.

Fenomena ini sebenarnya cukup berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia jika kita masih menganggap bahwa Pemilu adalah wadah yang paling aman dan damai untuk mengatasi konflik dalam rangka perebutan kekuasaan. Sistem demokrasi memang diharapkan memberikan ruang bagi kelompok – kelompok yang ingin berkuasa melalui mekanisme Pemilihan Umum yang diharapakan jujur dan adil. Tetapi jika Partai Politik yang merupakan instrumen utama dalam sistem demokrasi tersebut telah hancur kepercayaannya di mata publik maka hal ini akan menjadi semacam “bom waktu” bagi negara ini. Dimana membesarnya kelompok – kelompok apatis dapat menimbulkan social unrest yang akan merugikan bangsa dan negara ini.

Oleh sebab itu, agar bangsa dan negara ini terhindar dari dampak – dampak buruk akibat turunnya kepercayaan publik kepada Partai Politik, maka Partai Politik yang ada saat ini harus rela melakukan perubahan radikal untuk mengembalikan lagi kepercayaan publik tersebut.

Selain itu, munculnya Partai-partai Politik baru harus kita pahami sebagai “jalan keluar” dari tersumbatnya aspirasi dan ekspresi ideologis dari kelompok – kelompok yang ingin berbuat yang terbaik bagi negara dan bangsa ini, yang tidak mungkin lagi terakomodir dalam Partai Politik yang sudah ada. Andaikan aspirasi dan ekspresi ideologis kelompok – kelompok tersebut tidak tersalurkan dengan baik (melalui jalur Partai Politik), maka dikhawatirkan dapat dikonversikan menjadi benih – benih anarkis oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab.

Perubahan radikal macam apa yang seharusnya dilakukan oleh Partai Politik saat ini baik yang sudah ada maupun yang baru didirikan ditengah turun drastisnya kepercayaan Publik kepada mereka?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami dulu definisi Partai Politik yang mengandung berbagai macam dimensi dalam menggambarkan mengapa Partai Politik itu ada. Banyak definisi Partai Politik yang telah dikemukakan para ilmuwan politik baik definisi klasik hingga yang paling kini, sebutlah misalnya Edmund W. Burke (1779), Harold Laski (1922), Harold D. Laswell (1936) Joseph A. Schumpeter (1942), David Easton (1953), Sigmund Neumann (1956), Robert A. Dahl (1965), Seymour Martin Lipset (1967), Huntington (1968), Gabriel A. Almond (1978), Carl J. Freidrich (1985), Benedict Anderson (1983), Robert D. Putnam (1994), Muirhead Russel (2020). Sebagian besar para ilmuwan politik yang disebutkan tadi menyepakati beberapa hal yang menjadi aspek terpenting dari Partai Politik dan sekaligus menjadi evaluasi bagi kinerja Partai Politik di Indonesia.

Pertama,

Partai Politik merupakan organisasi sah dan formal dalam sistem demokrasi untuk mengorganisir massa dalam rangka untuk meraih kekuasaan secara konstitusional. Aspek ini menjadikan Partai Politik sebagai katup pengaman agar para kelompok yang ingin berkuasa tidak dibiarkan liar menggunakan cara-cara sendiri sehingga menganggu kepentingan publik secara luas. Adanya kelompok-kelompok lain yang berkuasa tanpa melalui jalur Partai Politik dianggap menyalahi konsensus dalam berdemokrasi. Kanalisasi hasrat kekuasaan dalam wadah Partai Politik memberikan kepastian kepada semua pihak untuk dapat berkuasa sekaligus memberikan keteraturan dalam masyarakat karena ada jadwal yang harus diikuti dengan prosedural.

Idealnya, kelompok – kelompok yang merasa kecewa dengan sikap dan kebijakan pemerintah yang sedang berjalan dapat di artikulasikan dan di agregasikan melalui Partai Politik yang dianggap paling mewakili konstituen mereka. Adanya seri demonstrasi secara besar besar-an dan terus berulang (Parlemen Jalanan) menandakan fungsi Partai Politik tidak berjalan semestinya. Massifnya Parlemen jalanan adalah indikasi bahwa sistem demokrasi di negara tersebut tidak sehat. Partai Politik tidak boleh terkooptasi dengan sikap dan kebijakan pemerintah tanpa ada ruang untuk memberikan masukan yang berbeda. Partai Politik seharusnya berdiri antara rakyat dan eksekutif untuk menjembatani “kebuntuan – kebuntuan” yang terjadi, bukannya menjadi satu tim dengan eksekutif.

Kedua,

Partai Politik mengumpulkan orang-orang yang satu cita-cita atau se-ideologi yang meyakini bahwa cita-cita atau ideologi mereka dapat memperbaiki kondisi bangsa ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu, pada awal kemerdekaan Indonesia, semua ideologi dibolehkan bertarung untuk dapat berkuasa termasuk ideologi Komunis. Tetapi ternyata Partai Komunis melakukan kegiatan yang melanggar hukum melalui apa yang kita kenal dengan peristiwa G 30 S/PKI sehingga bangsa Indonesia melakukan konsensus untuk melarang ideologi tersebut melalui TAP MPRS No. XXV/1966. Islam sebagai ideologi politik juga menjadi sah untuk diperjuangkan apalagi telah dibuka jalannya oleh Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 tentang Piagam Jakarta menjiwai konstitusi Indonesia.

Partai Politik secara teoritis memang didirikan untuk mewakili kepentingan ideologi yang berbeda, kita dapat melihat secara jelas pada Pemilu di Indonesia tahun 1955, dimana warna ideologi Partai Politik terlihat jelas, yaitu gradasi antara Kubu Nasionalis, Islamis dan Komunis. Hari ini, ketiga warna ideologi ini nampaknya semakin kabur, karena sistem pemilu yang sangat liberal dimana calon legislatif boleh dipilih secara langsung. Hal ini hanya menjadikan Partai Politik seperti “kendaraan sementara” yang akan ditinggalkan setelah mereka menduduki kursi parlemen. Anehnya, cara seperti ini digunakan pula oleh Partai Politik yang dikenal sebagai Partai Kader Militan.

Idealnya para pemilih dalam pemilihan umum harusnya hanya memilih Partai Politik yang dianggap dapat mewakili cita-cita / ideologi politik pemilih, tetapi seiring dengan waktu, banyak para pemilih berubah ke arah pemilih pragmatis yang kita kenal sekarang sebagai NPWP (Nomor Piro Wani Piro – Nomor Berapa Uang nya Berapa). Hal ini menjadikan sulit untuk mencari Partai Politik yang punya ideologi unik sehingga menjadi daya tarik untuk segmen tertentu (Segmented). Kini Partai Politik di Indonesia berubah ke arah Partai yang berusaha menarik sebanyak mungkin segmen massa yang berbeda ideologinya sehingga para pemilih tidak mampu lagi membedakan antara satu Partai Politik dengan Partai Politik lainnya kecuali karena faktor individual dari caleg – caleg yang bertarung. Kondisi Partai Politik yang ingin menyasar seluruh segmen (Catch All / Big Tent) hanya efektif di masyarakat yang homogen secara ras / agama / etnis, publik hanya dibedakan dari sisi isu – isu teknis metodologis yang dianggap rasional dan logis untuk dicapai.

Ketiga,

Partai politik wajib menempatkan delegasinya untuk menduduki jabatan publik sebagai representasi ideologi partai atau cita-cita partai tersebut (jika partai tersebut mendapat dukungan dari konstituennya). Para pejabat publik yang ditunjuk oleh Partai Politik sudah seharusnya telah di didik terlebih dahulu guna memastikan bahwa ketika mereka menduduki jabatan publik akan menerapkan agenda-agenda untuk meraih cita-cita / ideologi mereka demi kebaikan bangsa secara keseluruhan. Ini adalah konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh para pemilih mereka.

Tapi kebanyakan jabatan publik dalam partai politik hari ini lebih banyak diberikan kepada para pencari jabatan atau rente jabatan (jual beli jabatan). Maka wajarlah kita kurang melihat adanya warna ideologi yang berbeda antara satu pejabat dengan pejabat lain karena mereka terpilih bukan karena mewakili cita-cita / ideologi Partai Politik tapi hanya untuk kekuasaan an sich. Lembaga Madrasah Anti Korupsi pada tahun 2017 memprediksi potensi hasil keuntungan yang didapatkan dari jual beli jabatan adalah sebesar Rp44 Triliun. Sebuah ironi demokrasi dari Partai Politik.

Ke-empat,

Partai Politik merupakan penjaga tradisi dan pewaris ideologi bangsa bagi rakyat yang akan hidup pada masa yang akan datang. Menjadikan Partai Politik sebagai penjaga ideologi bangsa berdasarkan kesepakatan para pendiri negara Indonesia pada masa lalu (Founding Fathers) merupakan hal langka yang kita temui saat ini. Para pendiri negara Indonesia kita telah menyepakati arah dan platform bangsa ini pada sidang-sidang di BPUPK (Badang Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan dilanjutkan dalam sidang-sidang di konstituante yang menghasilkan juga banyak kesepakatan spektakuler dimana salah satunya adalah Mosi Integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang digagas Allahyarham Mohammad Natsir dari Partai Masyumi, untuk menjadikan Indonesia tidak berpecah belah menjadi negara – negara bagian seperti yang dikehendaki Belanda. Semua kesepakatan itu dulu dipahami sangat baik oleh para tokoh – tokoh nasional yang berada di Partai Nasionalis Indonesia, Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama, PSII, PSI, Parkindo dan lainnya.

Tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan musim berganti, kesepakatan – kesepakatan yang dibicarakan dalam ruang – ruang sidang BPUPK dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan tertulis dalam berbagai dokumen resmi maupun notulen sidang, nampaknya kurang menjadi perhatian serius dari Partai Politik yang ada sekarang ini. Sehingga terjadi konflik ideologis yang kontra produktif sehingga menghabiskan energi bangsa dan rakyat Indonesia. Hasil – hasil keputusan dulu yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia kerapkali “dikotak – katik” kembali sehingga menimbulkan setback terhadap diskursus ideologi dan filosofi bangsa dan Negara Indonesia yang sebenarnya sudah selesai diputuskan pada dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Partai Politik seharusnya menjaga tradisi dan kesepakatan dari para pendiri bangsa Indonesia masa lalu. Karena melalui Partai Politik lah produk – produk peraturan dan perundang – undangan dibentuk di Parlemen. Jika Partai Politik tidak menjaga tradisi leluhur dari bangsa ini yang susah payah mereka tetapkan dengan segala macam pengorbanan, maka bangsa dan negara Indonesia ini tidak akan mampu maju kedepan untuk mencapai tujuan nasionalnya yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam hal ini, kita boleh berkaca kepada bangsa Amerika sebagai bangsa yang didirikan dari awal berdasarkan konsensus bersama oleh para pendatang ke dataran Amerika. Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika dikenal sebagai Partai Politik tertua di dunia. Partai Demokrat dan Republik berdiri sejak 1830-an yang berarti umurnya hampir mencapai 200 tahun, hingga kini Partai Demokrat dan Partai Republik menjadi sebuah kekuatan politik yang menjadi wajah asli dan legacy bangsa Amerika sejak dulu Amerika didirikan. Partai Demokrat dikenal sebagai Partai yang liberal yang sangat terbuka mengadopsi ideologi Pluralisme dan Liberalisme dalam kebijakan – kebijakan yang mereka terapkan, sebaliknya Partai Republik dikenal sebagai Partai yang konservatif yang sangat protektif dan menomorsatukan kaum White Anglo-Saxon Protestant (WASP). Karakter kedua partai ini terus mengakar dan ideologis hingga kini dan keduanya tetap bisa bekerjasama didalam Kongres Amerika untuk kebaikkan bangsa mereka.

Kedua Partai Politik ini menjadi semacam penyeimbang dalam berbagai macam isu kebijakan Publik yang arah dan platform perjuangannya sudah dikenal baik oleh para pemilihnya. Kebijakan ekonomi umpamanya, antara kedua Partai ini akan mempromosikan kebijakan yang berbeda berdasarkan ideologi Partai yang mereka miliki. Partai Demokrat misalnya lebih suka meninggikan pajak penghasilan untuk kaum kaya sebaliknya Partai Republik cenderung menginginkan pajak yang rendah bagi siapapun. Begitu juga isu – isu keberagaman, Republik dikenal anti imigran dan cenderung rasis sedangkan Partai Demokrat dikenal dengan keterbukaannya kepada imigran dan menjadikan Amerika sebagai rumah bersama untuk mencapai Pursuit of Happiness a.k.a American Dream dari berbagai bangsa di dunia.

Jadi, Partai Republik dan Partai Demokrat menjadi semacam penjaga ideologi bangsa mereka walaupun setiap lima tahun mungkin mereka bergantian berkuasa. Mereka berpartai bukan hanya untuk menikmati kekuasaan an sich tetapi mereka ingin agar apa yang leluhur mereka perjuangkan 200 tahun-an yang lalu tetap menjadi fondasi yang permanen untuk mereka pertahankan bagi anak cucu mereka di masa depan.

Dalam konteks Indonesia, Para Tokoh dari Partai Masyumi dan Tokoh – tokoh Nasional lainnya di awal kemerdekaan telah memulai fondasi tersebut. Kesepakatan – kesepakatan awal yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 maupun batang tubuhnya adalah wajah asli bangsa Indonesia sebenarnya. Tokoh – tokoh Partai Masyumi sangat menjaga fatsoen dan kesepakatan keputusan yang sudah ditetapkan walaupun dalam hal penghapusan tujuh kata terkait penerapan syariat Islam bagi pemeluknya masih menjadi ganjalan beberapa tokoh Masyumi saat itu. Tetapi karena tokoh – tokoh Partai Masyumi ingin agar NKRI terus menatap kedepan, maka pencoretan tujuh kata tersebut diterima secara sukarela sebagai sebuah harga dari persatuan bangsa dan negara Indonesia. Banyak kontribusi peraturan dan perundang – undangan yang telah diberikan oleh para politisi Partai Masyumi kepada NKRI pada masa lalu untuk kebaikkan bangsa dan negara Indonesia. Sebutlah, aturan Tunjangan Hari Raya (THR), Penerbitan Paspor untuk ke luar negeri, mengembalikan Irian Barat (Papua) ke NKRI, Penyempurnaan Angkatan Perang (TNI), Ide Politik Bebas Aktif untuk kebijakan politik luar negeri dan masuknya Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), dan lain sebagainya.

Karakter dan sikap Partai Masyumi dan tokohnya pada masa lalu mungkin bagi sebagian orang terlalu nostalgic untuk dihidupkan kembali. Padahal hari ini kita kesulitan menemukan karakter tersebut pada Partai – Partai politik yang ada saat ini. Banyak keteladanan para tokoh masyumi yang seringkali hanya diucapkan dalam forum – forum seminar mengenang tokoh Masyumi masa lalu, tetapi banyak orang seperti kurang yakin akan adanya ikhtiar untuk meneruskan dan menyempurnakan apa yang sudah pernah dimulai oleh Partai Masyumi yang hidup hanya 15 Tahun lamanya. Meneruskan kembali perjuangan Partai Masyumi mungkin dianggap seperti melawan tanda zaman yang sulit diruntuhkan yaitu zaman yang sudah pragmatis, hedonis dan materialistis. Tetapi seperti yang penulis sebutkan diatas, ketika kita berkaca dengan Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika yang dapat bertahan hingga ratusan tahun, kenapa tidak dengan Partai Masyumi?

Tentu perjalanan Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika juga mengalami masa jatuh dan bangun seperti adanya perang saudara, depresi ekonomi dan lain sebagainya. Tetapi karena kuatnya bangsa mereka menjaga legacy para leluhur mereka, membuat mereka mampu menghadapi segala macam tantangan bagi bangsa mereka. Termasuk pula Bangsa Inggris yang memiliki sistem demokrasi tertua dengan Partai Konservatif yang berdiri pada tahun 1834, Partai Liberal yang didirikan tahun 1850 dan Partai Buruh yang didirikan tahun 1900. Hingga kini konstelasi politik di Inggris masih dikuasai oleh ketiga Partai ini. Begitu pula dengan Bangsa Jerman yang memiliki Partai Sosial Demokrat sejak tahun 1875 dan Partai Kristen Demokrat (CDU) yang didirikan sejak 1950 -an yang terus mewarisi karakter bangsa Jerman dan konfigurasi kekuatan politik Jerman.

Banyak negara – negara maju lainnya mempunyai Partai Politik yang sudah berumur tua dan tetap dapat dukungan yang kuat dari rakyatnya. Pembangunan tradisi berpartai yang kuat dan terus diwariskan kepada generasi berikutnya telah menjadi faktor utama kenapa partai – partai tersebut tetap bertahan. Sedangkan kondisi di Indonesia dimana Partai Masyumi yang pernah didirikan tahun 1945 dan pernah dibubarkan oleh Soekarno – Kemudian dikoreksi oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Wirjono Prodjodikoro pada saat itu dengan menyatakan pembubaran tersebut melanggar konstitusi negara setelah lengsernya Soekarno – tidak dapat menjadi alasan akan terlarangnya Partai Masyumi ini untuk dapat meneruskan cita – cita ideologinya yang belum tercapai. Walaupun pada masa rezim orde baru tetap tidak boleh didirikan, tetapi setelah era reformasi, nama Masyumi tetap boleh dicatatkan dalam lembaran negara.

Oleh sebab itu, keinginan anak cucu ideologis dan biologis Partai Masyumi untuk meneruskan perjuangan ayah dan ibu mereka haruslah kita dukung untuk perbaikkan sistem politik di Indonesia yang lebih bermartabat. Bisa jadi keinginan ini bukan hanya semata – mata terkait dengan target keinginan berkuasa pada jangka pendek, tetapi lebih jauh dari itu. Partai Masyumi ingin menjaga LEGACY yang sudah pernah dirintis oleh para tokohnya dengan meneruskan nilai-nilai perjuangan tersebut hingga ditakdirkan oleh Allah SWT dapat meraih kemenangan atas pertolongannya berkat ke-ikhlas-an dan ke-istiqomah-an dalam berjuang. Sampai kapan perjuangan itu meraih kemenangan?

Saatnya nanti akan tiba. Musim Berganti, Syariat Dinanti, Masyumi Kembali.

Wallahu a’alam Bishawwab
Jakarta, 29 Rabiul Awal 1442 H / 15 November 2020

Taufik Hidayat

Ketua Bidang Politik Hukum dan HAM Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *