Mengubah Peta Jalan Kesejahteraan Nelayan Berdasar Konstitusi Ekonomi

Mengubah Peta Jalan Kesejahteraan Nelayan Berdasar Konstitusi Ekonomi
foto : nelayan indonesia
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Dampak Ekspor Atas Kemiskinan

Selain daripada itu, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), persebaran tingkat kemiskinan di Indonesia per-Maret 2020 hampir merata terjadi di pulau-pulau terbesar dan kaya Sumber Daya Alam Indonesia. Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2020 sejumlah 26,42 juta jiwa atau sebesar 9,78%. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 9,41% atau 25,14 juta penduduk. Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Maluku dan Papua yang terkenal dengan hasil industri perikanan dan kelautannya, yaitu 20,34%. Sementara itu, persentase terendah terdapat di Kalimantan sebanyak 5,81% yang rata-rata menguasai komoditas hasil pertambangan (seperti batu bara, minyak dan gas bumi) dan kehutanan.

Pemerintah harus segera membenahi kebijakan anggaran negara yang selama ini terlalu besar dialokasikan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Kebijakan anggaran yang pro penanggulangan kemisikinan (pro poor) harus lebih diprioritaskan dalam agenda tujuan strategi pembangunan berkelanjutan (sustainability development goals and strategy). Sektor-sektor industri yang menguasai hajat hidup orang banyak selama Indonesia dijajah dahulu dikuasai oleh korporasi swasta VOC Belanda, maka pasca proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seharusnya dikembalikan penguasaannya kepada kelembagaan ekonomi masyarakat. Diantaranya yaitu, sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan yang selama masa kolonialisme Belanda, monopoli perdagangan atas komoditas industri-industri ini dikuasai oleh VOC, termasuk jaringan distribusinya ke luar Indonesia. Penduduk Indonesia praktis tidak memperoleh nilai tambah (added value) produksi dan perdagangan berbagai komoditas yang merupakan hasil sumber daya alam dari tanah air mereka sendiri.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pandemi ketidakadilan ekonomi harus segera diputus agar kelompok masyarakat Indonesia yang mengalami kemiskinan di perdesaan lebih mampu menjangkau (akses) pembangunan industri sektoral secara efektif dan efisien dalam persaingan ekonomi dunia. Sebagaimana halnya kasus OTT KPK terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo di sektor usaha kelautan (benih lobster), maka bukan tidak mungkin pola penguasaan jaringan distribusi (supply chain management) untuk ekspor komoditas lainnya juga dikuasai atau dimonopoli oleh perusahaan tertentu, dan kesejahteraan petani dan nelayan yang dikorbankan. Pembenahan manajemen kelompok masyarakat petani dan nelayan serta yang lainnya harus dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai upaya peningkatan kapasitas kelembagaan ekonomi masyarakat dalam suatu industri dan perdagangan melalui program-program pendampingan.

Hal ini sangat penting, karena kinerja realisasi dari pencairan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor kelautan dan perikanan nasional menurut Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Dan Perikanan (PDSPKP), Artati Widiarti, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencapai Rp 5,2 Triliun dalam masa Tahun Anggaran 2020. Jumlah pencairan KUR Tahun 2020 tersebut melesat Rp 2 Triliun lebih dari sasaran (target) yang ditentukan Pemerintah. Jumlah realisasi pencairan KUR sektor kelautan dan perikanan tersebut meningkat sebesar 55,8 persen dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak Rp3,4 Triliun.

Bahkan, yang patut diapresiasi lagi terutama soal Non Performing Loan (NPL) atau rasio kredit bermasalah yang dicapai juga cukup rendah, yaitu di bawah 1 persen yaitu sebesar 0,99 persen (akumulasi 2015-2019), dan NPL tahun berjalan sebesar 0,07 persen (per 31 Oktober 2020). Selain itu, peningkatan juga terjadi pada jumlah debitur, yaitu terealisasi sejumlah 173.355 debitur, atau meningkat 41,69 persen dari jumlah debitur Tahun 2019 yang sejumlah122.349 debitur. Hal ini tentu menjadi penanda (signal) bahwa usaha sektor kelautan dan perikanan di tengah masyarakat mengalami pertumbuhan, dan kinerja ini patut ditindaklanjuti oleh Pemerintah melalui lembaga keuangan dan perbankan, terutama jaringan Himpunan Bank-bank Milik Negara atau Himbara yang terdiri dari empat bank, diantaranya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Tabungan Negara (BTN) dengan memberikan fasilitas kredit lebih lunak (soft loan) dan memberi waktu atau tenggang (grace period) untuk memulai angsuran pokok dan cicilannya.

Agar kesejahteraan rakyat petani dan nelayan secara langsung dapat berubah, maka pendekatan kelembagaan ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini harus dirubah melalui kebijakan negara. Pandemi atau virus korporasi swasta tidak bisa dibiarkan merajalela sehingga mengakibatkan hanya orang per orang yang memperoleh kesejahteraan ekonomi dari hasil komoditas yang diperdagangkan, baik melalui ekspor maupun impor. Kebijakan pemihakan (affirmative policy) harus diberikan kepada Koperasi sebagai kelembagaan ekonomi yang dijamin konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) dan dimiliki oleh para anggotanya. Sebab, soal hasil penguasaan perdagangan (termasuk ekspor-impor) sektor inilah yang membedakan manfaat dan dampak ekonomi langsung yang diperoleh oleh masyarakat secara luas.

Apabila koperasi berperan sebagai badan hukum usaha yang diberikan hak langsung melakukan ekspor dan impor, maka rantai distribusi (supply chain) komoditas yang diperdagangkan hasilnya akan dinikmati oleh para anggota yang terdiri dari para petani, nelayan, peternak, dan pekebun. Artinya, permasalahan kemiskinan yang terjadi terkait dengan jangkauan (akses) ekonomi yang timpang pada sektor-sektor tertentu akan dapat diatasi secara langsung efek menetes ke bawahnya (trickle down effect) melalui pro pendekatan kebijakan kelembagaan ekonomi. Oleh karena itu, ke arah inilah penanganan pandemi ketidakadilan ekonomi melalui anggaran yang pro kemiskinan (pro poor budget) digelontorkan secara massif.

Memang benar ekspor benih lobster ini terjadi pada era kepemimpinan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dengan mengubah aturan yang sebelumnya tidak memperbolehkan mengekspor benih lobster. Menteri KP mencabut larangan ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 12 tahun 2020 yang diterbitkan pada Mei 2020 lalu. Padahal selama masa kepemimpinan Menteri KP Susi Pudjiastuti periode 2014-2019, justru ekspor benih lobster dilarang. Namun pertanyaan yang lebih penting adalah, apakan selama 4 (empat) bulan ekspor benur ini bersemi, nilai tambahnya diperoleh juga oleh para nelayan, rasanya memang tidak.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *