Teladan SBY: Tenang Karena Benar, Bukan Diam Dalam Kebohongan

Teladan SBY: Tenang Karena Benar, Bukan Diam Dalam KebohonganTeladan SBY: Tenang Karena Benar, Bukan Diam Dalam Kebohongan
SBY
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Willem Wandik S.Sos

Hajinews – Dalam menghadapi kudeta KSP Moeldoko, SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, menghadapinya dengan ketenangan.. Tidak terlihat ekspresi “amarah” yang berlebihan, dan tetap menjaga tutur kata yang baik, sekalipun menghadapi seorang mantan anak buah yang telah melakukan perbuatan yang justru dipandang melewati batas kepatutan dan etika..

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Presiden SBY, pada masa jabatanya, telah memberikan “banyak kebaikan” kepada orang ini, namun, seperti “air susu dibalas dengan air tuba”, sikap seorang “sengkuni berhati dingin” yang tanpa malu, tanpa mengindahkan “sumpah keperwiraan sebagai seorang mantan prajurit”, terlebih lagi sebagai mantan Panglima TNI, dalam sumpah sapta marga, yang memberikan kewajiban moral untuk setia terhadap nilai nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan (point ke 3 Sumpah Sapta Marga)..

Ketenangan dan kebaikan SBY telah salah dipahami oleh mereka yang justru berhati culas.. SBY tetaplah seorang Bapak Bangsa, yang pernah memimpin negara, dan berusaha menegakkan kehidupan demokrasi, dengan keyakinan bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki rasa tanggung jawab dan empati moral kepada rakyat..

Sikap diam, terhadap masalah krusial dalam mempertahankan dan memperjuangkan nilai nilai demokrasi dan hukum, terlebih lagi apabila dilakukan oleh seorang Kepala Negara, merupakan pembiaran yang tidak benar.. Dan justru dapat membahayakan masa depan Bangsa dan Negara..

Sikap diam terhadap masalah yang “common sense” diketahui oleh publik secara luas, berkaitan dengan keterlibatan anak buah istana, yang sah menjabati jabatan sebagai pembantu presiden, merupakan salah satu bentuk “dukungan terselubung”, keberpihakan kekuasaan terhadap perilaku bernegara yang menyimpang, dan pada akhirnya, melecehkan akal sehat rakyat yang mengetahui secara persis keterlibatan anak buah istana..

Tenang karena benar, itu berbeda, dengan definisi “diam dalam kesunyian, dan keberpura-puraan”..

Pura pura tidak melihat fakta, pura pura disibukkan dengan rutinitas dan protokol istana, berpura pura tidak mengetahui persoalan, dan sikap seperti ini, bukanlah ketenangan dalam kebenaran, melainkan, “kesunyian dalam kegelapan hati, pikiran, rusaknya moral, serta matinya nurani seorang pemimpin bangsa”..

SBY tidaklah mungkin marah, karena dirinya sadar betul, amarah tidak akan menyelesaikan masalah, yang justru akan memicu instabilitas politik nasional, dan pada akhirnya akan merugikan rakyat itu sendiri..

Tetapi, yang harus disadari, adalah, setiap pemimpin akan dimintakan pertanggung-jawabannya oleh Rakyat dan Terutama oleh Tuhan Yang Maha Esa..

Jangan salah memahami ketenangan yang kemudian berujung terhadap sikap aniaya, dan melampaui batas.. Sesungguhnya, SBY tenang seperti itu, bukan berarti membiarkan orang orang culas, yang aji mumpung dengan genggaman kekuasaan di tangannya, berbuat semaunya, tanpa risiko apapun..

Peristiwa diamnya simpul simpul kekuasaan, terhadap upaya kudeta dan aneksasi Partai Demokrat, akan dicatat dalam sejarah, sebagai peristiwa “gelapnya demokrasi di indonesia” pada rezim yang justru berasal dari kalangan sipil..

Fakta sejarah telah berlangsung, bahwa sikap otoritarianisme itu dapat terjadi pada pemimpin manapun, baik sipil maupun pemimpin militer, tergantung, sikap permisif rakyat, apakah akan terus membiarkan, membela, menyanjung “tahta kekuasaan”, ataukah kembali ke jati diri rakyat yang menempatkan sistem nilai (demokrasi, hukum, kemerdekaan berekspresi) seba2gai panglima tertinggi gagasan bernegara..

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *