Akademisi Bicara Soal Masyarakat Minang yang Inklusif

Akademisi Bicara Soal Masyarakat Minang yang Inklusif
Masyarakat Minang
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Padang Wakidul Kohar membeberkan bagaimana kehidupan masyarakat Sumatera Barat khususnya masyarakat Minang. Paparan Wakidul Kohar didasarkan hasilnya penelitiannya terhadap kehidupan beragama masyarakat Minang.

Wakidul Kohar menyebut ada tiga temuan soal kehidupan masyarakat Minang. Pertama inklusif, dimana masyarakat Minang menyertakan etnis lain dalam staf Nagari bahkan jadi wali Nagari.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Dan Wali Nagari tersebut terkait pemangku adat. Adat Nagari yang terbuka. Orang Minang itu inklusif, karena orang luar bisa memimpin,” kata Wakidul Kohar dalam program Bincang Hikmah, Kamis (6/5/2021).

Program Bincang Hikmah itu diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Padang dan Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam (P2MI) bersama Akurat.co dengan tema: Merawat Moderasi Kearifan Lokal di Masyarakat Minang.

Lalu yang Kedua, orang Minang menghargai orang lain. Ada pepatah: Batinggaan mamak di kampung bacari mamak di nagari urang. Induk ditingga, induk didapati.

“Penggalan pepatah tesebut menggambarkan keharusan bagi bukan putra Minang untuk masuk suku yang ada di Minang sebagai akibat dari kembali ke Nagari dengan implementasi ba mamak ba kamanakan,” kata dia.

Ketiga, negosiasi identitas, Masyarakat Minang bersedia membaur dengan siapa saja dan sering berkunjung ke pemukiman yang berbeda etnis.

Nah, bagaimana kehidupan masyarakat Minang. Kata Wakidul Kohar, ada filosofi kehidupan masyarakat Minang.

Pertama, Adat nan saban adat yaitu syarak (agama) yang terdapat dalam Alquran yang bisa ditunjukkan bab, pasal dll.

Kedua, Adat nan teradat dapat juga dikatakan sebagai wujud nyata dari pengamanan ajaran agama Islam di atas. Jadi ada transfer agama ke perilaku kehidupan.

Ketiga, Adat nan diadatkan, artinya perbaikan sikap dan laku yang harus memperlihatkan ahlak mulia.

“Jadi kehidupan yang ada sejak dulu tidak dihapuskan sama masyarakat Minang dengan datangnya Islam. Yang baik-baik tetap dipertahankan,” kata Wakidul Kohar.

Keempat, adat istiadat yaitu sistem sosial kemasyrakatan yang dikembangan sesuia dengan masa, tempat dan aturan di zamannya.

Pentingnya Moderasi Beragama

Dalam Bincang Hikmah itu, Wakidul Kohar di awal menyampaikan munculnya moderasi beragama di Indonesia. Menurut dia, Moderasi beragama populer ketika Menteri Agama dijabat Lukman Syaifuddin Zuhry karena adanya kekerasan baik verbal dan non verbal atas nama agama.

Kata Wakidul, inti dari moderasi sebenarnya dilakukan pendahulu lewat dakwah secara moderat, menghargai kearifal lokal di antaranya Wali Songo dan Syeikh Burhanuddin di Ulakan Pariaman, Sumatera Barat.

“Mendekati kearifal lokal masyarakat di sana. Intinya mengambil pemahaman beragama yang pertengahan. Akhirnya berhasil di Sumbar dengan metode dakwah yang wasathon,” kata Wakidul Kohar.

Karena itu, tujuan moderasi beragama untuk menumbuhkan ingatan kolektif bangsa. Moderasi beragama juga bertujuan merawat modal sosial bangsa Indonesia yaitu kemajemukan dan religiusitas yakni kehidupan sehari-hari yang tidak lepas dari agamanya.

“Di Minang itu ada Turun Mandi dan sampe meninggal ada upacaranya. Sebelum mengafani atau Cabik Kafan ada rapat Ninik Mamak. Dan di Indonesia dari lahir sampai mati tidak lepas dari agama,”

Karena gagasan moderasi beragama penting digaungkan. Sebab, mulai berkembangnya sikap keagamaan yang bertolak belakang dengan inti pokok agama yang semakin ekslusif. Tidak terbuka untuk orang berbeda, mengkotak-kotakkan orang yang berbeda paham yang akhirnya menghasilkan perilaku konfrontatif dan dekstruktif.

Sumber: akurat

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *