Tiga Tawaran Buya Hamka untuk Keadilan Sosial

Tiga Tawaran Buya Hamka untuk Keadilan Sosial
Buya Hamka
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Bank Sedekah

Buya Hamka (1993) menarasikan gagasan yang lebih luas dalam memaknai definisi sabilillah yang terdapat dalam delapan asnaf, mutahiq dari zakat.

Beliau mengatakan “… post sabilillah kita dapat membangun mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, membelanjai muballigh Islam untuk menyebarkan Islam kepada Warga Negara Indonesia yang belum beragama”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Atau memberi pengertian ummat Islam yang “buta agama” tentang ajaran agamanya, atau memberi beasiswa (studiesfonds), dan membelanjai pemuda-pemuda Islam yang berbakat untuk menambah ilmu pengetahuan, supaya layak menjadi bangsa yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lain”.

Hal menarik berikutnya dari narasi keadilan sosial yang disampaikan oleh Buya Hamka adalah konsep Bank Sedekah yang disarikan dari gagasan H.O.S Tjokroaminoto. Penjelasan tersebut beliau sampaikan dalam Tafsir Al-Azhar al-Baqarah ayat 281.

Menurut Buya Hamka, H.O.S Tjokroaminoto menggunakan istilah bank untuk memudahkan menjelaskan konsep kepada khalayak ramai di masa itu. Jika bank pada umumnya menjalankan fungsi intermediasi dari orang yang kelebihan modal kepada orang yang kekurangan, maka Bank Sedekah menjalankan fungsi penghimpunan amal mulia umat, khususnya untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah (sabilillah).

Uang yang terkumpul dari Bank Sedekah kemudian dipinjamkan tanpa bunga, atau bisa juga diberikan bunga dengan ‘rate’ yang pantas. Hasil dari pembungaan tadi bukan lantas dikembalikan kepada orang yang menaruh uang, akan tetapi digunakan untuk kepentingan umat.

Buya Hamka memuji gagasan yang disampaikan H.O.S Tjokroaminoto itu. Namun demikian, beliau juga berkata agar para ahli ekonomi Islam meninjau dan mengembangkan konsep ini.

Keadilan Bukan Menegasikan Hak Individu

Jika ditilik berdasarkan isu-isu pemikiran ekonomi kontemporer, keadilan sosial sebenarnya identik dengan konsep society of cooperation (terwujudnya sebuah masyarakat kerjasama) oleh Karl Marx dan Frederich Engel. Konsep tersebut kemudian melahirkan gagasan ekonomi mutlak diatur oleh negara (command economy) yang mana keadilan sosial dipahami sebagai wujud pemerataan kekayaan.

Maka dari itu, hak-hak individu harus dikesampingkan dan tunduk pada hak-hak kolektif yang diatur oleh negara. Konskuensinya, kondisi ini cenderung pada penegasian hak/kepemilikan individu.

Memandang kondisi tersebut, Buya Hamka (2015) berpendapat bahwa ekonomi merupakan bagian dari Islam. Beliau mengatakan bahwa Islam memandang sesuatu secara komprehensif (kulli) dan menyeluruh (syamil).

Oleh karena itu, setiap tindakan harus dipandang secara cermat supaya tidak merugikan orang lain, bahkan diri sendiri. Hal ini sebagaimana perkataan beliau, “Ekonomi merupakan bagian dari kehidupan, bukan untuk kehidupan.”

Hak Individu

Beliau juga berpendapat bahwa Islam mengakui hak milik individu, dan penghilangan terhadap hak individu sebagaimana ajaran komunis merupakan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Buya Hamka memaparkan, “Rasa ingin memiliki harta dan memenuhi kebutuhan keluarga adalah hukum alam yang lain, yang menjadikan hak miliki individu lestari dalam kehidupan dan kemanusiaan”. Secara tegas dapat disimpulkan bahwa penghilangan hak individu sama halnya dengan penghilangan terhadap kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri (Hakim 2018).

Uraian di atas hanyalah secarik narasi di antara khazanah pemikiran Buya Hamka. Jika digali lebih dalam lagi, tentunya akan muncul banyak mutiara hikmah. Karya dan pemikiran Buya Hamka melintas masa dan bentang narasinya menjangkau antargenerasi. Pemikiran beliau berjalan tegar menembus aral zaman, seperti kata pepatah Melayu, “Tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas”.

Sungguh, benarlah Buya Hamka mengatakan dalam karya Dari Lembah Cita-Cita (1946), saat beliau memberikan motivasi kepada kaum muda.

“Ada orang yang hidup/sampai tubuhnya di dalam kubur/ sampai tulang hancur di dalam tanah, namanya dan hidupnya pun turut habis dengan tubuhnya/tidak menjadi peringatan orang lagi. Sebab hidupnya tidak berhaluan/Ada pula orang yang tambah hilang jasmaninya/tambah timbul kehidupannya/tambah digali orang, tambah diperiksa orang/ diselidiki dan ditilik. Sehingga kian habis badannya itu, kian hidup namanya/”