Khazanah Spiritualitas

Khazanah Spiritualitas
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah

Hajinews.id – Indonesia heboh seketika. Perhelatan olahraga sejagat diramaikan oleh kehadiran pawang hujan untuk menampilkan keahlian ‘spiritualnya’. Perhatian publik terpecah bukan pada kepiawaian para pembalap tersohor berkelas dunia, melainkan pada atraksi para “penolak hujan”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Namun, cerita berubah lain. Hujan turun deras hingga pembukaan tertunda. Lalu, para pawang menjadi sasaran cemooh penonton dan netizen. Hujan sesuai sunatullah di alam semesta tak mau diajak kompromi. Pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menguatkan argumen ilmiah mengapa hujan turun deras meski sempat reda, sama sekali tidak terkait dengan pawang.

Indonesia memang sedang musim “kenduren nasional” yang melibatkan ritual ala magis. Suasananya terkesan pesta raya, ketika ritual mistis yang biasanya hening, justru didemonstrasikan terbuka di ruang publik. Menjadi panggung pertunjukan. Tujuannya boleh jadi luhur, mengetuk pintu langit. Namun, langit menjawab lain.

Di mana titik krusialnya? Kegiatan ritual mistis memang sering terjadi di masyarakat yang dipengaruhi kepercayaan magi dan religi, yakni alam pikiran dan cara yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib tertentu. Namun, ketika ritual magis itu dicandra dangkal, demonstratif, dan dikomodifikasi secara terbuka dalam kegiatan yang sejatinya profan, jadilah masalah yang salah kaprah. Jagat Nusantara pun ditertawakan dunia!

Dimensi Ritual-Spiritual

Ritual mistis yang mengungkap kehidupan berdasarkan cara pandang serba-gaib senantiasa hadir dalam kehidupan masyarakat, baik dalam kepercayaan magi maupun keyakinan agama-agama. Relasi metafisik yang tak selalu terjangkau nalar juga menjadi bagian dari mozaik semesta ciptaaan Tuhan.

Lebih-lebih pada masyarakat tradisional yang memiliki nalar dan budaya mitologis yang kuat. Manusia sering mengekspresikan ritual spiritual untuk mengetuk pintu langit dengan beragam cara sesuai tingkat pengetahuan, peradaban, serta sistem kepercayaan dan keyakinannya.

Tahap kehidupan manusia secara sosiologis, menurut Max Weber, melalui tiga tahap, yaitu magic, religion, scientific. Meski Weber dengan paradigma sosiologi interpretif lebih eklektik, hukum tiga tahapnya tidak jauh beda dengan filsafat Auguste Comte tentang perkembangan kehidupan manusia, yaitu teologis, metafisik, dan positif.

Pada tahap teologis manusia atau masyarakat memiliki kepercayaan kuat pada magis, roh, jimat, serta religi dengan segala bentuk ritual pemujaan. Pada era metafisik pemikiran masyarakat dipengaruhi oleh pandangan dunia tentang kehidupan “di luar dimensi fisik”.

Sedangkan, era positif atau saintifik berpangkal pada nalar ilmiah yang bersifat empiris. Van Peursen menunjuk era mistis, ontologis, dan fungsional. Comte, Weber, dan Peursen meski berbeda konsep dan tafsir, ketiganya menempatkan hukum tiga tahap secara gradual, tidak linier seperti orang naik tangga.

Karenanya, ritual ala magi maupun religi sejatinya secara sosiologis tidak bersifat dangkal, linier, dan instrumental. Di balik tindakan manusia dalam kehidupan, menurut Weber, terdapat “meaning” (the subjective meaning) yang sarat makna dan tidak hanya bersifat struktur luar semata.

Pemahaman dunia manusia, menurut Weber, perlu pendekatan verstehen (mengerti, memahami) berbasis ilmu pengetahuan budaya (geisteswissenschaften) dan tidak cukup dengan erklaren (menjelaskan) sebagaimana cara pandang ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften) yang positivistik.

Dunia antropologi mengenalkan pendekatan deskripsi yang mendalam (thick description) dan ideografis atau emik (penggambaran dari dunia dalam) dan bukan nomotetik yang memandang persoalan hidup masyarakat dari dunia luar.

Pendekatan verstehen Weber memiliki akar pada pemikiran Wilhelm Dilthey tentang filsafat kehidupan (philosophie des lebens) dan ilmu pengetahuan kemanusiaan atau budaya (geisteswissenschaften), yang mencandra kehidupan manusia bukan sekadar aspek fisik-biologis, melainkan menyangkut seluruh dimensi kehidupannya yang alamiah, kaya makna, dan multiaspek.

Kehidupan dan perilaku manusia tidak dapat dipahami dengan cara pandang ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften) yang cenderung deteriministik dan positivistik. Kehidupan manusia atau masyarakat dengan segala geraknya yang kompleks dipahami hanya dalam nalar sebab-akibat, berfaktor tunggal, dan struktur fisik belaka.

Masalah sering terjadi karena baik pelaku maupun orang luar mempraktikkan dan mengonstruksikan tindakan-tindakan berdimensi magis, metafisik, dan teologis atau agama dengan cara serampangan. Seolah efeknya simsalabim, pawang datang hujan pun enggan. Begitu orang berdoa, Tuhan pun mengabulkannya persis sama.

Apalagi bila ritual-spiritual dikomodifikasikan (diperjualbelikan) dan dipolitisasi oleh para aktor yang melibatkan pertunjukan banyak kepentingan. Sementara, pelaku ritual magis sendiri bersikap jemawa, seolah dirinya digdaya dan kehilangan kesadaran spiritual akan keterbatasannya sebagai manusia biasa bahwa di balik daya manusia terdapat Kuasa Tuhan Yang Maha Pencipta.

Masalah menjadi rumit dan kontroversial ketika ritual magis masuk dan dibawa terlalu jauh ke ranah kehidupan profan yang meniscayakan optimalisasi kerja akal sehat, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Doa dan dukungan ritual-spiritual tak masalah manakala diperlukan, tetapi mesti proporsional tanpa dicandra sebagai faktor determinan, yang dilakukan khusyuk dan tidak hiruk-pikuk.

Apalagi bila ritual-magis itu mereduksi peristiwa profan dengan sakralisasi yang melawan akal sehat dan ilmu pengetahuan sekaligus sikap mesiah atau pelarian dari kegagalan hidup di wilayah duniawi. Agar perhelatan tidak berubah menjadi pertunjukan kebodohan dan budaya mesiah yang naif kehilangan arti.

Spiritualitas Transformatif

Dunia saat ini berubah drastis, dari serbamitologis ke saintifik, tanpa kehilangan spiritualitas sebagai bagian utuh dari kemanusiaan. Pada masa lalu manusia menaklukkan dunia berkat kemampuan uniknya untuk percaya pada mitos-mitos kolektif tentang dewa, uang, kesetaraan, dan kebebasan. Masalah yang dihadapi ialah kelaparan, wabah, dan perang atau kekerasan.

Pascarevolusi saintek, kekuatan utama manusia modern menggeser evolusi-seleksi alam menjadi dan digantikan oleh teknologi baru tingkat “dewa”, seperti kecerdasan buatan (AI) dan rekayasa genetik. Itulah era “Homo Deus”, tulis Harari (2016). Banyak ranah kehidupan yang semula berdimensi “metafisik” dibuat menjadi urusan “teknis”, sambung Harari.

Kehidupan pascamodern meniscayakan kekuatan ilmu dan teknologi. Agama dan dunia metafisika tetap hadir, meski masyarakat modern makin sekuler. Karenanya, iptek pun memerlukan etika dan kebijaksanaan agar menjadi suluh keadaban dan peradaban di era antroposen, yang sering melahirkan banyak petaka, seperti perang dan anarki kehidupan.

Para cerdik pandai diharapkan mozaik spiritualitas dan intelektualitasnya untuk mencerahkan kehidupan bangsa tanpa merasa jemawa bagai pendekar segala digdaya. Ilmu jangan jadi stempel kesalahan individual, kolektif, dan sistem.

Lebih-lebih bagi para ulama pewaris Nabi, dari rahim dirinya mesti lahir kejernihan ruhani dan ilmu hikmah agar tidak membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Ilmu para cendekiawan dan ulama mesti dijadikan energi ruhaniah pencerah akal budi bangsa yang kelak akan membawa diri dan umat ke surga.

Ketika masuk pada dimensi ritual-spiritual, selain penting meletakkannya secara wajar dan proporsional, baik dalam konteks agama maupun kehidupan kebangsaan. Aktualisasi ritual-spiritual niscaya dihadirkan pada orientasi tindakan yang membawa pada keselamatan, kebaikan, kedamaian, harmoni, kebahagiaan, dan keutamaan hidup yang lebih autentik.

Dari ajaran dan beragam ritual spiritual, lahirlah kesalehan dan perilaku yang luhur, yang memancarkan pencerahan semesta. Setiap aktor pelaku ritual-spiritual pun semakin dekat dengan Tuhan.

Bersikap tawadhu dan tidak merasa menjadi satu-satunya pembuka pintu langit, dengan kesadaran ruhaniah bahwa manusia terbatas. Di situlah esensi ritual-spiritual yang autentik-transformatif, yang bermozaik keluhuran ruhani jernih dan membawa perubahan hidup yang tercerahkan untuk semua.

Spiritualitas dalam kehidupan bangsa lebih mendesak pada ikhtiar kolektif di tubuh elite dan warga agar makin menghayati dan mempraktikkan nilai-nilai luhur kehidupan yang bersumber dari agama, Pancasila, dan kebudayaan yang menghadirkan kejernihan hati, pikiran, sikap, etika, dan tindakan untuk cinta kebenaran, kebaikan, dan keutamaan hidup yang memberi makna bagi kemaslahatan bangsa dan negara.

Seraya menjauhkan diri dari segala tindakan buruk, tamak, dusta, menyalahgunakan kuasa, siasat yang memperdaya, dan menyalahi kebenaran yang membuat Tuhan Pemilik alam semesta tak berkenan mendengar doa para hamba yang sejatinya dhaif, namun sering merasa digdaya karena pesona dunia.

Manusia berspiritualitas autentik-transformatif makin lurus dan luhur kehidupannya karena di hadapannya ada pemilik kekuatan absolut, yakni Tuhan Yang Maha Perkasa. Sedigdaya apa pun manusia ada batasnya bahwa di atas langit masih ada langit.

Oligarki hegemonik Fir’aun, Qarun, dan Hammam dalam sejarah Mesir Kuno berakhir runtuh. Pembawa suara kebenaran pun tidak semuci dalam baju kebesaran diri, seolah dialah pemegang kunci kebenaran satu-satunya di muka bumi.

Bukankah Tuhan mengingatkan para hamba nan dhaif, “Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS al-Isra: 37).

Alangkah dangkal membesar-besarkan ritual-mistis dalam aktivitas publik manakala pada saat yang sama tidak menjadikan warga dan elite bangsa memiliki khazanah spiritual, moral, dan etika luhur bagi kemuliaan hidup bersama. Agar tidak jatuh pada keangkuhan dan kehampaan spiritualitas, baik dalam relasi sesama apalagi di hadapan Allah Maha Perkasa.

Di negeri tercinta penting dihadirkan khazanah spiritualitas autentik-transformatif yang mencerahkan akal budi elite dan warga bangsa menuju peradaban luhur Indonesia yang diberkahi Tuhan!

Sumber : https://www.republika.id/posts/26339/khazanah-spiritualitas

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *