Norma—panggilan akrabnya—mengisahkan, Kiai Ahmad Dahlan ternyata banyak membaca dan menghayati pemikiran Muhammad Abduh tentang agama sebagai peradaban. “Sepertinya relate dengan pengalaman beliau sebagai orang yang besar di dunia kosmopolitan,” ujarnya.
Norma mengungkap, teman-teman Kiai Dahlan berlatar belakang PKI, beragama nonmuslim, berbangsa Belanda, maupun alim ulama. Sebab, domisilinya di ibukota: Yogyakarta.
Ungkapan populer Muhammad Abduh yang mungkin terasa menyinggung umat Islam, “Di Eropa saya melihat orang Islam meskipun tidak ada Muslim. Sebaliknya, di Timur Tengah saya cuma melihat Muslim, tidak ada orang Islamnya.”
Tapi dia membenarkan, sebab Islam—sebagaimana etos Kiai Dahlan—yang rahmatan lil alamin turun untuk memperbaiki. “Jadi akidah dan falsafah Muhammadiyah itu Sunni. Tidak percaya pada yang ghaib-ghaib. Kita percaya ghaibnya hukum alam, karena semua makhluk terkena hukum alam,” ujarnya.
Puncak Ilmunya Orang Muhammadiyah
Dalam pandangan Muhammad Abduh, Islam adalah kemajuan dan peradaban. Dari sinilah, kata Norma, Kiai Dahlan membangun Muhammadiyah dengan al-Maun
“Al-Maun adalah puncak ilmu orang Muhammadiyah karena tentang ‘tangan di atas’. Jadi kalau baru masuk Muhammadiyah, jangan mendalami al-Maun. Mendalami yang lain-lain dulu,” imbaunya.
Dia menekankan, tangan di atas tidak main-main. “Kalau tangan kita masih di bawah kemudian kita mengaku tangan kita di atas, nanti jadi radikal,” lanjutnya.
Bahkan, sambungnya, shalat kita tidak diterima kalau di sekitar kita masih miskin. Dia menekankan, “Al-Maun bukan diturunkan untuk orang miskin.” Berdasar Teologi al-Maun inilah, Muhammadiyah menjadi organisasi yang besar.
Muhammadiyah juga sangat menyadari, penganggaran itu hal yang lebih susah dari penyusunan sebuah program. Dia berpesan, “Kalau ingin tahu seberapa jauh keseriusan sebuah program, jangan dilihat panjangnya program, tapi lihatlah dukungan anggarannya!”
“Meskipun programnya sederhana, tapi kalau di balik itu ada anggaran yang sangat besar, inilah sebenarnya yang ingin diraih oleh pembuat anggaran tersebut,” ungkapnya.
Dia menambahkan, “Pengelolaan sumber daya manusia itu suatu hal, pengelolaan sumber daya finansial itu sudah disadari Muhammadiyah sejak awal. Karena berbuat baik itu penting, tapi menjaga perbuatan baik ini berkelanjutan itu yang lebih penting.”
Karena, lanjutnya, ibadah yang paling baik adalah yang berkelanjutan. “Dengan kerutinan itu ada kedalaman pemahaman, yang disebut Pak Haedar nalar irfani,” terangnya.
Teologi Al-Ashr
Dalam perkembangannya, Norma melanjutkan, Kiai Dahlan juga mengajarkan Teologi al-Ashr yang mewujud di dalam amal usaha Muhammadiyah (AUM). “Amal usaha ini fungsinya menyistematiskan,” ujarnya.
Mengapa Muhammadiyah besar? Norma menekankan berjalannya fungsi organisasi pada Muhammadiyah. “Dan mengapa Muhammadiyah semakin membesar? Karena Muhammadiyah punya barakah. Punya kemampuan menarik orang masuk Muhammadiyah,” imbuhnya.
Untuk saat ini, lanjutnya, barakah itu terwujud dalam AUM. “Amal usaha menjadi ujung tombak Persyarikatan untuk mengefektikan program, juga sekaligus menjadikan program-program Muhammadiyah sustainable (berkelanjutan),” ungkapnya.
Kecerdasan Muhammadiyah menurutnya tampak dari bagaimana menjadikan AUM sebagai upaya mendorong dakwah. “Jadi niat mendirikan amal usaha itu bukan untuk mencari uang, tapi untuk menghidupkan dakwah,” tegasnya. (*)