Boleh-boleh saja opung Luhut punya perhatian pada upaya bersih-bersih negeri ini dari kerak korupsi. Akan tetapi, akan lebih bagus kiranya jika perhatian itu tercurah pada masalah yang jelas-jelas menghambat upaya pemberantasan rasuah.
Kenapa harus menyoal OTT yang hasilnya nyata meski belum sempurna? Kenapa tidak menyoal masih sangat rendahnya tuntutan jaksa dalam kasus korupsi? Sekadar gambaran, ICW unjuk data bahwa sepanjang 2021 rata-rata terdakwa korupsi hanya dituntut empat tahun lima bulan penjara.
Kenapa mesti menyoal OTT? Kenapa tidak menyoal vonis hakim dalam kasus korupsi yang masing enteng-enteng saja? Untuk direnungkan, sepanjang 2021, rata-rata hukuman terdakwa korupsi cuma tiga tahun lima bulan.
Kenapa tak gencar menyoal ketika obral diskon hukuman buat koruptor seperti tak berkesudahan di MA? Apakah karena semua itu ranah hukum yang tak boleh diintervensi? Kalau iya, bukankah OTT juga bagian dari penegakan hukum yang haram dicampuri?
Atau yang masih hangat, kenapa tidak mempermasalahkan pasal-pasal tipikor di KUHP baru buatan pemerintah dan DPR yang hukumannya ringan nian? Ambil contoh pada Pasal 603, pelaku korupsi hanya diancam pidana minimal dua tahun, padahal di UU Pemberantasan Tipikor paling rendah empat tahun. Pun bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap cukup diancam pidana paling singkat setahun.
Bagi saya, persoalan-persoalan semacam itulah yang semestinya dibenci dan dipersoalkan. Bukan OTT KPK.