Demokrasi tanpa Demokrat

Demokrasi tanpa Demokrat
Demokrasi tanpa Demokrat
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Abdul Aziz SR, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya

Hajinews.id – TULISAN Denny Indrayana Duitokrasi Membunuh Demokrasi (Media Indonesia, 5/1/2023) sungguh menarik. Salah satu tesis penting Denny, wajah hukum Indonesia bisa dikatakan dikuasai satu kata, bukan demokrasi, melainkan duitokrasi. Demokrasi ialah saat kedaulatan ada di tangan rakyat dan negara hukum dijunjung tinggi. Duitokrasi ialah antitesisnya, saat kedaulatan dibajak kekuatan duit, dan negara hukum direndahkan, hanya menjadi komoditas transaksi jual beli yang diperdagangkan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam perspektif politik, kenyataan yang memprihatinkan itu menandakan bahwa sistem demokrasi yang dianut dan dipraktikkan Indonesia tidak diikuti dengan kehadiran kaum demokrat dalam proses penyelenggaraan negara.

Kenyataan tersebut bukanlah khas Indonesia sesungguhnya, melainkan terjadi pula di banyak negara lainnya di dunia. Fenomena itulah yang oleh kalangan ilmuwan politik disebut demokrasi tanpa demokrat (democracy without democrats).

Kondisi demokrasi tanpa demokrat, yakni demokrasi yang muncul dan bersemi –sejak transisi dari otoritarianisme– tidak kunjung mencapai konsolidasi karena kaum demokrat absen untuk mengambil peran penting dalam dinamika politik yang sedang berlangsung.

Itulah yang terjadi di Namibia, misalnya, sebagaimana ditunjukkan dalam studi Keulder dan Wiese (2005). Hal serupa juga terlihat pasca-Arabic Spring seperti digambarkan studi George Awad (2021). Setelah musim semi Arab terjadi, demokrasi di sejumlah negara muslim (Arab) tersebut justru dijalankan orang-orang nondemokrat.

Praktik kekuasaan

Fenomena politik yang kurang lebih serupa dengan itu tengah terjadi di Republik ini saat ini. Sejumlah kenyataan politik atau katakanlah praktik kekuasaan dapat disodorkan sebagai basis empiris untuk mengonstruksi argumen situasi demokrasi tanpa demokrat di negeri ini.

Pertama, dan ini terbaru. Terbitnya perppu omnibus law yang sebelumnya berwujud UU Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional (bersyarat) oleh Mahkamah Konstitusi. Selain menabrak prinsip-prinsip hukum tata negara yang dianut Indonesia, kehadiran perppu tersebut sekaligus wujud nyata pembegalan nilai-nilai demokrasi. Ibarat tiada mendung tiada angin, tiba-tiba hujan deras di tengah terik matahari.

Kedua, upaya perpanjangan masa jabatan presiden. Satu paket dengan ini ialah isu tiga periode untuk Presiden Joko Widodo dan isu penundaan pemilihan umum. Beragam argumen diajukan, agar presiden yang menjabat saat ini tidak perlu berganti kendati setelah masa jabatannya yang kedua berakhir pada Oktober 2024. Berbagai upaya hendak dilakukan termasuk mengamendemen konstitusi. Sejumlah tokoh politik seperti pimpinan partai politik dan pejabat negara menjadi pelopor serta pendukung gagasan ini. Ada pula intelektual dan pemimpin lembaga survei di balik upaya ini.

Ketiga, tidak tampilnya kekuatan oposisi yang memadai. Mayoritas partai politik yang memiliki wakil di parlemen, misalnya, berada dalam barisan pemerintah. Arus oposisi sangat kecil dan nyaris tidak memiliki pengaruh apa pun dalam proses pengambilan keputusan politik di parlemen. Tidak mengherankan jika rancangan undang-undang yang dibahas di parlemen sangat lancar dan lebih mengikuti apa yang diinginkan eksekutif.

Oposisi di luar parlemen juga agak sulit berkembang dengan wajar karena otoritarianisme kekuasaan kembali bersemi. Orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dicurigai dan dimusuhi. Bahkan, beberapa di antaranya ditangkap lalu dijeblos ke penjara dengan berbagai alasan.

Keempat, terbitnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni sejumlah pasal di dalamnya potensial menyumbat kebebasan warga negara, serta menghalangi laju perkembangan demokrasi. Ada juga pasal-pasal yang terlalu jauh memasuki wilayah privat warga. KUHP seolah menjadi monster yang menakutkan dan menghantui setiap ekspresi politik warga negara.

Kelima, pengangkatan 272 penjabat kepala daerah untuk rentang waktu yang panjang. Kepala daerah itu jabatan politik yang diraih melalui pemilu. Legitimasi kekuasaannya diperoleh langsung dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Penjabat memungkinkan ditunjuk, tetapi untuk sementara waktu saja, misalnya dua atau tiga bulan. Yang terjadi saat ini, penjabat kepala daerah ada yang masa jabatan lebih dari dua tahun.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *