Kepentingan oligarki penguasa-pemodal nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri. Ketika politik terputus dari aspirasi kewargaan, pemimpin tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya. Pemimpin asyik meluncurkan album nyanyian keberhasilan, sementara rakyat kebanyakan meratapi penderitaan.
Mereka lupa, tak ada kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Dari keterpurukan ekonomi Amerika Serikat, begawan ekonomi Jeffrey Sachs menulis buku The Price of Civilization (2011). Ia mengingatkan bangsa-bangsa lain agar tidak meniru jalan sesat yang membawa kemunduran AS.
Menurutnya, pada akar tunjang krisis ekonomi AS saat ini terdapat krisis moral: pudarnya kebajikan sipil di kalangan elite politik dan ekonomi. Suatu masyarakat pasar, hukum, dan pemilu tidaklah memadai bila orang-orang kaya dan berkuasa gagal bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas-kasih terhadap sisa masyarakat lainnya dan terhadap warga dunia. “Tanpa memulihkan etos tanggung jawab sosial, tidak akan pernah ada pemulihan ekonomi yang berarti dan berkelanjutan.”
Bagi para pemimpin Indonesia, yang menjadi epigon setia fashion Amerika, kesimpulan Sachs itu bisa menjadi dering pengingat, tak ada kemajuan tanpa jangkar moral. Pilihan-pilihan kebijakan politik dan ekonomi harus dijejakkan pada kesanggupan para pemimpin mengorbankan kepentingan egosentrismenya, demi memuliakan nilai-nilai moral kenegaraan, yang menekankan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.