Demokrasi Itu Politik Wani Piro ?!

Demokrasi Itu Politik Wani Piro ?!
Demokrasi Itu Politik Wani Piro ?!
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Zakariya al-Bantany

Hajinews.idDemokrasi dalam setiap pemilunya, baik pemilu daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (pilpres). Itu ongkos politiknya atau anggaran alias biayanya besar dan sangat mahal sekali. Makanya, elit-elit politisi dan partai politik (parpol), akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sumber pendanaan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam membiayai kampanye dan kepentingan politiknya. Serta dalam memenangkan diri mereka dan parpol mereka, pada setiap musim pemilu. Bayangkan, dalam pemilu daerah atau pilkada saja, hanya untuk menjadi kepala daerah. Para paslon kepala daerah harus mengeluarkan cuan atau uang alias dana yang sangat besar sekali.

Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar, mengungkapkan:

Pasangan calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya ratusan miliar. Hingga triliunan rupiah untuk biaya pemilihan kepala daerah (pilkada).

Menurut Bahtiar, biaya minimal yang harus dikeluarkan paslon di kisaran Rp 25 miliar hingga Rp 30 miliar.

“Kalau Rp 25 miliar tadi paling sedikit ya. Bahkan, minimal Rp 30 miliar sampai ratusan miliar untuk pemilihan bupati. Kalau pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” ujar Bahtiar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2019). [1]

Ini pun, terkonfirmasi dan dibenarkan pula oleh Menkopolhukam Mahfud MD sendiri. Kata Mahfud MD: Biaya pilkada itu mahal, ada percukongan. [2]

Makanya, yang terjadi antara elit-elit politisi, parpol dan oligarki adalah politik transaksional di balik layar. Bila, pemilu sudah selesai maka yang terjadi adalah politik balik modal dan politik balas budi.

Jadinya, demokrasi itu sejatinya adalah politik wani piro ?!

Makanya, dalam demokrasi itu “no free lunch” (tidak ada istilah makan siang gratis). Juga, tidak ada istilah musuh sejati, dan tidak ada pula istilah teman sejati. Yang ada dalam demokrasi itu, hanyalah kepentingan sejati dan uang yang sejati.

Artinya, dalam demokrasi itu yang ada hanyalah politik transaksional belaka dan politik “dagang sapi”. Demi melanggengkan syahwat kepentingan politik ekonominya para pengasong demokrasi belaka. Baik elit-elit politisi, parpol maupun oligarkinya atau kaum kapitalis (pemilik modal) alias para cukong.

Dalam demokrasi, suara rakyat hanya jargon politik belaka. Suara rakyat pun bisa dibeli dengan prasmanan, digiring, dikendalikan dan ditunggangi. Suara rakyat pun bisa pula dimanipulasi sedemikian rupa, sesuai pesanan yang kuasa bayar alias para cukong alias oligarki.

Oligarki, cukong ataupun pemodal khususnya asing. Untuk menguasai dan mengendalikan suatu parpol, cukup mereka dengan membayar satu triliyun.

Maka, parpol sudah bisa dibeli atau dikuasai dan bisa dikendalikan oleh para cukong atau oligarki tersebut. Untuk menjalankan pesanan agenda atau kepentingan politik ekonomi oligarki, cukong atau pemodal/kapitalis khususnya asing tersebut. Baik tingkat daerah hingga tingkat pusat.

Persis seperti yang pernah disampaikan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet). Bamsoet berujar:

Kepentingan pemodal dan asing mengintai partai politik setiap menjelang forum tertinggi. Untuk pergantian ketua umum, seperti munas, kongres, atau muktamar.

Menurutnya, tak perlu kapal perang atau nuklir untuk menguasai Indonesia, melainkan cukup menguasai partai politik. “Ikut tiap mereka akan munas, tempel atau dekati calon-calonnya. Kuasai dia,” ujar dia.

Bamsoet mengatakan, langkah pendekatan itu memang memerlukan logistik. Mantan calon ketua umum Partai Golkar ini menuturkan bahwa apa yang dia ucapkan itu merupakan hasil pengalaman.

“Modalnya saya yakin, enggak sampai atau mahal-mahalnya satu triliun. Ini pengalaman,” kata Bamsoet seraya tertawa. “Boleh dibantah tapi.”

Menurut Bamsoet, jika sudah menguasai partai, para pemodal dan kepentingan asing tersebut selanjutnya akan menguasai parlemen. Kemudian, orang-orang itu yang juga akan menentukan siapa yang menjadi pemimpin, mulai dari bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden. [3]

Bahkan, kata Menkopolhukam Mahfud MD: 92% kepala daerah didanai oleh cukong [4]. Yang kemudian hari dikoreksi oleh Mahfud MD sendiri, 82% kepala daerah didanai oleh cukong. [5]

Dan dikonfirmasi pula sebelumnya oleh KPK, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, yang memaparkan hasil kajian KPK terhadap penyelenggaraan pilkada. Menurut Ghufron, berdasarkan kajian KPK, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor.

“Karena faktanya, dalam kajian KPK sebelumnya. Ada sekitar 82 persen pilkada itu, calon-calon kepala daerah itu 82 persennya didanai oleh sponsor, tidak didanai oleh pribadinya. Sehingga itu menunjukkan nanti ada aliran-aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah.” [6]

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *