Cerita Gus Dur Kritik MUI Soal Fatwa Haram dan Aliran Sesat: Bubarkan MUI, Masih Ada NU-Muhammadiyah

Cerita Gus Dur Kritik MUI Soal Fatwa Haram MUI
Soeharto dan gus dur
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Penembakan di kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta pada Selasa (2/4/2023) mengejutkan Indonesia. Belum terungkap motif di balik penembakan terhadap pelaku yang akhirnya tewas itu.

Berbicara tentang MUI, lembaga yang didirikan pada tahun 1975 di bawah Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, ternyata banyak ulama Islam yang tidak setuju dengan salah satunya, KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Bahkan Gus Dur ingin membubarkan MUI. Bagaimana kisahnya?

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saat awal dibentuk MUI hanya memiliki kewenangan terbatas dan dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa. MUI saat itu dinilai hanya sebagai penyambung lidah pemerintah dan umat Islam, sehingga ada sebutan MUI sebagai “tukang stempel” keagamaan pemerintah Orba. Sebab, ketika Pemerintah Orba meminta fatwal halal, MUI langsung menyiapkannya lalu diumumkan ke umat Islam.

Pascalengsernya Presiden Soeharto dan runtuhnya Pemerintah Orde Baru, MUI yang semula dianggap melayani penguasa berubah menjadi melayani umat. MUI mulai memiliki power dengan mengeluarkan sejumlah fatwa. Namun, sejumlah fatwa dari MUI ternyata tidak sejalan dengan sejumlah ulama. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari itu beberapa kali tercatat tidak setuju dengan fatwa yang dikeluarkan MUI.

Saat menjadi presiden, Gus Dur pernah tidak sejalan dengan MUI tentang fatwa haram penyedap rasa Ajinomoto yang disebut mengandung lemak babi. Dia mengecam fatwa MUI yang dianggapnya hasil dari sempitnya berpikir.

Saat fatwa haram Ajinomoto keluar, Gus Dur tak langsung setuju. Sebagai presiden, Gus Dur memilih jalan tengah lalu menguji produk Ajinomoto dengan memerintahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasilnya LIPI menemukan tidak terkontaminasi lemak babi dalam proses dan produk Ajinomoto.

L. Wilardjo dalam buku Damai Bersama Gus Dur (2010) menjelaskan Gus Dur mempercayai penelitian LIPI. Namun demi menghindari keributan yang tidak perlu dan tidak diinginkan, Gus Dur membiarkan penyedap masakan itu ditarik. “Ajinomoto baru boleh dijual lagi setelah MUI diyakinkan bahwa proses produksinya diubah, sehingga produk itu memperoleh sertifikat halal,” tulis Wilardjo.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *