Disway: Zaytun Gontor

Zaytun Gontor
Usai senam Disway di Al-Zaytun, Dahlan Iskan berbincang dengan President Santri Al Zaytun yang tahun ini santriwati.--
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Suatu saat santri mendapat pelajaran langsung dari pimpinan  pondok Gontor: KH Zarkasyi. Kiai Gontor itu menjelaskan mengapa Gontor hanya menerima santri laki-laki. Waktu itu.

“Mengurus satu santri perempuan lebih sulit daripada 1.000 santri laki-laki,” ujar Panji menirukan kata-kata Kiai Zarkasyi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Panji langsung ingin mengacungkan tangan. Ia ingin bertanya. Tapi temannya mencegahnya. Tidak sopan santri menyela pembicaraan kiai.

Tentu Panji ingin interupsi karena tidak akan ada tanya jawab setelah itu.

Meski usaha menyela itu gagal, Panji bertekad akan tetap mempertanyakan kata-kata kiainya itu. Pasti ada kesempatan lain. Kapan saja.

Ketika kesempatan itu tiba, Panji pun bertanya: bagaimana dengan nasib wanita di masa depan kalau mereka tidak bisa mendapat pendidikan.

Jawaban Kiai Zarkasyi membuatnya sangat lega: “Di masa kalian kelak sudah akan berbeda”.

Kalau pun jawaban kiainya tidak begitu, Panji bertekad, kalau bikin pesantren kelak, akan menerima santri wanita.

Gontor sendiri kemudian membangun pesantren khusus wanita. Besar sekali. Lebih 100 hektare. Di daerah Mantingan. Di pertengahan antara Ngawi dan Sragen. Kalau lewat tol, dari arah Solo ke Surabaya, exit-nya di Mantingan, setelah Sragen.

Sebenarnya Panji agak telat masuk Gontor. Setamat ibtidaiah (SD) di Dukun, ia tidak langsung ke Gontor. Dukun adalah satu desa di kecamatan Gresik. Status Gresik waktu itu memang kecamatan. Kabupatennya Surabaya. Seperti halnya Jombang, masih satu kecamatan juga di bawah kabupaten Surabaya.

Maka kalau Bung Karno ditulis dalam sejarah sebagai lahir di Surabaya itu tidak salah. Tentu orang Jombang kini bisa klaim Bung Karno lahir di Jombang.

Waktu itu orang tua Panji tidak langsung kirim anaknya ke Gontor. “Takut di Gontor tidak diajari membaca Quran dan kitab kuning,” kata Panji mengutip ayahnya.

Sang ayah adalah kepala desa di Dukun. Kakeknya pun kepala desa di situ. Pun buyutnya. Leluhur Panji pindah ke Dukun dari kampung aslinya di Pamekasan. Kini pun kepala desanya masih keponakannya.

Setelah tamat ibtidaiah, Panji dikirim ke pondok Peterongan, Jombang. Tidak kerasan. Lalu ke pondok di Kaliwungu, sebelah barat Semarang. Tidak kerasan. Pendaftaran siswa di Gontor sudah tutup. Maka Panji pun dimasukkan ke pondok Maskumambang, Gresik. Tidak kalah besar dari Peterongan. Juga tidak kalah terkenal.

Maskumambang dekat sekali dengan Dukun. Zaman itu keinginan masuk pondok haruslah pondok yang jauh. Kian jauh kian baik.

Setelah hampir setahun di Maskumambang barulah Panji dimasukkan ke Gontor.

Pun ketika tamat dari Gontor Panji dilarang meneruskan ke IAIN  Jakarta. Terlalu jauh. Mahal. Tidak ada keluarga dekat. Dan yang penting: keadaan lagi tidak aman. Tahun 1966 Jakarta sangat kacau. Tegang. PKI baru saja dibubarkan. Bung Karno harus diturunkan.

Panji nekat ke Jakarta. Pun ketika tidak diberi uang oleh orang tua. Panji tahu cara dapat uang. Ia datang ke jaringan dagang ayahnya di Lamongan. Dagang hasil bumi.

Panji pun pinjam uang ke rekan dagang ayahnya itu. Senilai beras 1,5 kuintal. Ia tahu ayahnya pasti kirim hasil panen ke orang itu. Panji berterus terang: pinjaman itu sebagai siasat agar orang tuanya memberi uang untuk kuliah.

Sejak di Gontor, Panji sudah mendengar: begitu hebat IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. IAIN Ciputat jadi buah bibir melebihi IAIN lainnya. Boleh dikata cita-cita santri Gontor umumnya ingin melanjutkan kuliah ke sana. Setidaknya ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Di UIN (sebelumnya IAIN) Ciputat itulah Panji bertemu banyak pemikir Islam. Terus berdiskusi dengan mereka. Ia ikut jadi aktivis. Ia jadi pengurus cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia ikut mengusung tokoh pembaruan pemikiran Islam Dr Nurcholish Madjid terpilih kembali menjadi  ketua umum HMI. Nurcholish, sebagaimana Bung Karno, Gus Dur, Cak Nun, dan pelawak terkenal Srimulat Asmuni, adalah orang Jombang.

Ciputat sangat memengaruhi Panji. “Di Ciputat begitu banyak diskusi. Begitu banyak gagasan. Termasuk bagaimana harus membangun masa depan bangsa dan umat,” ujar Syekh Panji di dalam mobil itu.

Maka dari gabungan Gontor dan Ciputat lahirlah ide Al-Zaytun. Ditambah dengan perjalanan hidupnya yang lebih 10 tahun di luar negeri.

Pondok besar, sekolah besar, universitas besar melahirkan gagasan besar. Juga tindakan besar. Terutama di tangan orang yang isi kepalanya besar. (Dahlan Iskan)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *