Kriminalisasi Warga Rempang yang menolak Relokasi: Kejahatan terhadap HAM ala Kolonial

Kriminalisasi Warga Rempang yang menolak Relokasi
Kriminalisasi Warga Rempang yang menolak Relokasi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)

Hajinews.co.id – Pulau Rempang, yang sejak lama menjadi tempat tinggal bagi ribuan warganya, kini menjadi panggung pertarungan yang tak manusiawi. Isu penolakan terhadap relokasi untuk proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City telah memunculkan sejumlah kontroversi dan tindakan yang meragukan, yang menyiratkan bahwa segala cara dilakukan agar warga Rempang terusir dari tanah leluhur mereka.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pada intinya, penolakan relokasi adalah ungkapan tulus dari warga yang ingin mempertahankan akar budaya mereka, hubungan dengan tanah leluhur, dan hak mereka untuk tetap tinggal di tempat yang sudah menjadi rumah mereka sejak lama. Namun, respon terhadap penolakan ini telah mencapai tingkat yang mencemaskan.

Salah satu contoh nyata adalah pemanggilan oleh polisi terhadap salah satu warga yang menolak relokasi, berinisial BT. BT dituduh melanggar Pasal 28 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya karena mengirim pesan di grup WhatsApp yang memuat ajakan untuk menolak sembako yang dibagikan oleh aparat berseragam. Alasan bahwa pesan ini berkaitan dengan persetujuan warga terhadap relokasi hanyalah sebuah dalih yang meragukan.

Intimidasi warga rempang yang menolak relokasi dengan kriminalisasi

Tuduhan terhadap BT dan warga lainnya sebagai bentuk kriminalisasi menunjukkan tindakan represif yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Pengacara Publik Wilton Amos Panggabean mengatakan bahwa 43 warga yang menolak relokasi masih ditahan, hal menunjukkan bahwa pemerintah telah mengambil langkah yang intimidatif dalam menghadapi warga yang menentang proyek ini.

Proyek Rempang Eco City yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) menjadi latar belakang kontroversial ini. Penggunaan lahan yang sangat luas, yang mencakup sebagian besar Pulau Rempang, telah memicu protes dan penolakan warga. Bentrokan yang terjadi antara aparat keamanan dan warga pada tanggal 7 dan 11 September 2023 hanya menambah ketegangan dalam situasi ini.

Penting untuk mencatat bahwa penolakan ini bukan hanya milik warga Rempang sendiri, tetapi juga mendapat dukungan dari warga Batam dan Tanjung Pinang yang bersolidaritas dalam perjuangan mereka. Ini mencerminkan skala dan dampak dari isu ini terhadap komunitas yang lebih besar.

Paling tidak, tindakan seperti kriminalisasi terhadap warga rempang yang menolak relokasi menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini sebuah upaya tersembunyi dalam proyek Rempang Eco City yang sebenarnya? Apakah ini hanya alasan untuk mengamankan investasi tertentu? Cara-cara pemaksaan ini, yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia, hanya menimbulkan keraguan dan mengesampingkan kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi fokus utama.

Ketegangan dan Bahaya Pecah Belah dalam Perjuangan Warga Rempang

Dalam konteks penolakan relokasi di Pulau Rempang, muncul tantangan yang jelas, yaitu perdebatan di antara warga sendiri. Meskipun perdebatan merupakan wujud dari pluralisme pendapat, kita harus mengenali bahwa ini juga bisa menjadi senjata bagi pihak yang ingin memecah belah dan melemahkan perjuangan warga Rempang.

Isu penolakan relokasi menjadi fokus utama. Sejumlah warga bersikeras untuk tetap tinggal di tempat asal mereka, menunjukkan tekad untuk mempertahankan tanah leluhur mereka. Namun, perbedaan pendapat di antara warga tentang langkah yang seharusnya diambil telah menciptakan perpecahan dalam masyarakat.

Upaya perjuangan seharusnya lebih bersatu dan terkoordinasi dalam melawan pemaksaan relokasi. Ketika ada perpecahan di dalam komunitas, maka risiko bentrokan antar warga semakin besar. Ketegangan antar warga yang menolak relokasi dan mereka yang setuju dapat merusak persatuan yang sangat diperlukan dalam melawan kebijakan yang kontroversial ini.

Sementara itu, hak suara dan upaya sosialisasi yang dilakukan oleh perwakilan warga seperti Riska adalah langkah yang penting. Ini memungkinkan warga untuk mengemukakan pandangan mereka dan mengajukan argumen-argumen yang mendukung penolakan relokasi. Namun, penting juga bagi pemerintah untuk mendengarkan rekomendasi dari Komnas HAM dan mempertimbangkan ulang proyek tersebut daripada membiarkan perdebatan ini merusak komunitas.

Dalam menghadapi situasi yang semakin kompleks ini, penting bagi pemerintah untuk mencari solusi yang adil dan mempertimbangkan ulang relokasi tanpa harus memaksa warga. Pemindahan lokasi proyek mungkin menjadi alternatif yang lebih bijaksana dan menghindari konfrontasi antarwarga yang dapat memperburuk situasi di Pulau Rempang.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *