Pengamat Sebut PDIP Main 2 Kaki di Pilpres 2024, Ada Ganjar dan Gibran

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id — PDIP belum menunjukkan sikap tegas terhadap manuver politik Gibran Rakabuming.

Putra sulung Presiden Jokowi tersebut belum dipecat oleh Megawati meski terang-terangan menerima pinangan cawapres dari Prabowo Subianto.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Beda nasib dengan Budiman Sudjatmiko yang langsung dipecat kala menyatakan dukungan ke Prabowo Subianto di Pilpres 2024.

Pengamat politik Jannus TH Siahaan mengungkapkan alasan mengapa PDIP belum berani bersikap tegas ke Gibran Rakabuming.

Jannus mengatakan, PDIP dinilai baru bisa menunjukkan sikap politiknya secara tegas terhadap Gibran Rakabuming Raka, jika mereka kembali memenangkan Pemilu dan Pilpres 2024.

Menurut pengamat politik Jannus TH Siahaan, PDIP kemungkinan tidak bakal memperlihatkan sikap perlawanan terbuka terhadap Gibran dengan memecatnya dari keanggotaan partai.

Sebab, menurut dia, PDIP menyadari betul Gibran masih mengantongi dukungan dari kader, simpatisan, serta relawan di luar partai.

Jika PDIP bertindak keras terhadap Gibran, diperkirakan mereka justru dirugikan karena kehilangan dukungan politik dari kader serta simpatisan.

“Pemecatan yang disertai perlawanan yang keras akan memperjelas pembelahan pemilih antara pemilih Jokowi dan pemilih PDIP dan pemilih Ganjar Pranowo, yang boleh jadi justru akan sangat merugikan PDIP tentunya.

Karena pemilih Jokowi jauh lebih luas dan inklusif,” kata Jannus saat dihubungi pada Selasa (24/10/2023).

“Karena faktor-faktor tersebut, saya menduga, pemecatan akan terjadi secara halus atau bahkan berpeluang terjadi kalau Ganjar Pranowo kelak keluar sebagai pemenang pemilihan presiden 2024,” sambung Jannus.

Jannus memprediksi, PDIP kemungkinan akan bermain 2 kaki sehingga tidak memecat Gibran.

Sebab jika mereka keburu memecat Gibran, kemudian dia dan Prabowo memenangkan Pemilu 2024, maka PDIP bisa kehilangan kesempatan kembali masuk ke lingkaran eksekustif atau penguasa.

“Jadi dengan tetap mempertahankan status Gibran sebagai kader, jika Gibran berhasil masuk Istana, statusnya adalah sebagai kader PDIP,” ujar Jannus.

Jannus memperkirakan, jika PDIP langsung memecat Gibran seperti yang dilakukan terhadap Budiman Sudjatmiko justru akan memberikan pembenaran terhadap isu keretakan hubungan antara Megawati dan Presiden Jokowi.

Di sisi lain, jika PDIP memecat Gibran justru bisa menyulut reaksi masyarakat buat mempertanyakan keberadaan PDIP di dalam pemerintahan dan keberadaan menteri-menteri asal PDIP di kabinet pemerintahan Jokowi.

“Lalu akhirnya akan membuat hubungan Megawati dan Jokowi seperti halnya realitas hubungan Surya Paloh dengan Megawati,” ucap Jannus.

Persoalan lainnya, kata Jannus, jika PDIP memecat Gibran saat ini maka hal itu sama saja memicu konflik terbuka antara Megawati dan Presiden Jokowi.

Jika hal itu terjadi, posisi PDIP secara politik dianggap semakin rentan terpojok.

“Pasalnya, Presiden Jokowi bisa saja menggunakan kekuasaan dan wewenangnya sebagai presiden untuk melakukan berbagai tekanan kepada PDIP dan kader-kader PDIP sendiri, seperti fakta yang dialami oleh Partai Nasdem,” papar Jannus.

PDIP dianggap memahami posisi Gibran yang merupakan salah satu kader mereka kuat secara politik.

Sebab Gibran yang masih menjabat sebagai Wali Kota Solo didukung ayahnya, Presiden Joko Widodo, para pendukungnya dan pendukung sang ayah, serta partai politik pengusung Prabowo yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Sampai saat ini terdapat 8 partai politik yang bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Mereka adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora Indonesia, Partai Garuda, PRIMA, dan Partai Demokrat.

Sedangkan PDIP bersama partai politik mitra koalisinya juga mengusung capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Megawati jauh-jauh hari sudah memperingatkan supaya kadernya tidak bersikap mendua menjelang pemilihan umum dan presiden.

Bahkan dia mengancam akan kader yang bermanuver di luar ketetapan partai dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres.

Pasangan Prabowo-Gibran dijadwalkan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (25/10/2023).

Sedangkan bakal capres-cawapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin), serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sudah mendaftarkan diri ke KPU pada Kamis (19/10/2023) lalu.

 

Hasil Survei Litbang Kompas

Isu soal politik dinasti mencuat di Pilpres 2024.

Semua bermula dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat pendaftaran capres cawapres.

Yakni, bisa maju capres meski berusia belum 40 tahun namun memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.

Isu politik dinasti makin mencuat saat Prabowo Subianto memutuskan menggandeng Gibran Rakabuming sebagai cawapres.

Diketahui, Gibran merupakan putra sulung Presiden Jokowi yang kini menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Survei Litbang Kompas menunjukkan, sebanyak 60,7 persen responden menyebut majunya Wali Kota Solo yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ke Pilpres tahun 2024 merupakan bentuk politik dinasti.

Dikutip dari survei tersebut, Senin (23/10/2023), sebanyak 60,7 persen menyatakan “ya” ketika ditanya terpilihnya Gibran untuk melaju ke Pilpres sebagai bentuk politik dinasti.

Sementara itu, 24,7 persen lainnya menyatakan bukan bentuk politik dinasti dan 14,6 persen responden menyatakan tidak tahu.

“Bagaimanapun, wacana soal politik dinasti masih dipandang negatif oleh publik.

Sebagian besar responden memandang politik dinasti ini cenderung lebih mengedepankan kepentingan (politik) keluarga dibandingkan kepentingan masyarakat,” kata peniliti Litbang Kompas Yohan Wahyu, Senin.

Kendati begitu, sebagian besar responden juga menilai larangan terkait politik dinasti sebagai bentuk membatasi hak politik orang lain.

Sebanyak 47,2 persen menyatakan demikian, sedangkan 41,9 persen menyatakan sebaliknya.

Sementara 10,9 persen lainnya menyatakan tidak tahu.

Menurut Yohan, praktik politik dinasti sudah terlihat ketika Gibran dan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution berlaga di pemilihan kepala daerah Kota Solo dan Kota Medan pada tahun 2020.

Namun, isu itu belum begitu muncul karena keduanya dipilih melalui kompetisi langsung.

Meski, pesaing Gibran kala itu berasal dari calon perseorangan yang disebut-sebut sebagai pasangan calon “boneka”, disiapkan khusus melawan Gibran.

Fenomena politik dinasti cenderung menguat usai keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Senin (16/10/2023).

Dengan begitu, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

“Hal ini juga diperkuat dengan reaksi negatif dari sejumlah kalangan, termasuk dari mereka yang sebelumnya menjadi pendukung Jokowi,” jelas Yohan.

Sebagai informasi, survei ini dilakukan dengan pengumpulan pendapat melalui telepon ada 16-18 Oktober 2023.

Sebanyak 512 responden dari 34 provinsi berhasil diwawancara.

Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian lebih kurang 4,35 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Meskipun demikian, kesalahan di luar pengambilan sampel dimungkinkan terjadi.

Pengumpulan pendapat sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).

sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *