Pelajaran Tersulit Gus Dur: Cintai Musuh

Cintai Musuh
Gus Dur
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.idMuhammad AS Hikam menceritakan hikmah hidup tersulit tentang Gus Dur dalam bukunya Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita Durku, Gus Dur Kita

Hikmahnya adalah berteman dengan orang yang berselisih bahkan bermusuhan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Buku itu mengatakan bahwa Gus Dur bisa melakukannya.

Gus Dur tidak hanya mempraktikkan, tetapi juga mencapai taraf “cinta terhadap musuh”. Padahal Gus Dur secara pribadi tidak pernah mempunyai musuh, kecuali mereka yang memusuhi dirinya.

“Saya di dunia ini, pemimpin di Indonesia ya, yang pantes jadi musuh saya itu cuma satu, yaitu Pak Harto. Tapi itu pun juga saya masih ke sana, masih jadi teman baik saya. Artinya saya tidak punya musuh dong di Indonesia,” tutur Gus Dur dalam sebuah kesempatan talkshow, dikutip dari laman X NU Online, Rabu (27/12/2023).

Level “mencintai musuh” tidak hanya kerja keras pribadi, tetapi punya dampak  atau mengundang reaksi hebat dari yang lain.

Bahkan bisa jadi gara-gara melaksanakan kata-kata tersebut secara konsisten, seseorang bisa minimal dicurigai dan maksimal dimusuhi oleh seantero negeri.

“Namun, “cintailah musuhmu” bagi Gus Dur merupakan diplomasi kultural paling ampuh untuk memunculkan jalan keluar dari persoalan yang dinilai sangat sulit oleh sebagian orang. Ini memang tidak mudah, tetapi tidak ada sesuatu yang sulit bagi Gus Dur,” urainya.

Prinsip mencintai inilah yang kemudian menjadikan Gus Dur dicintai oleh siapapun. Cinta kepada Gus Dur terlihat ketika Guru Bangsa ini meninggal dunia pada 30 Desember 2009.

Petakziah yang tidak terhitung jumlahnya turut mengantar jenazah Gus Dur ke tempat peristirahatan terakhir di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Khonghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut mendoakan Gus Dur. Bahkan mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.

Kini, pemikiran, tulisan, dan pergerakan Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here rest a Humanist” itu tidak pernah kering mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, dan bernegara di Republik ini.

Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.

KH Husein Muhammad Cirebon dalam buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus mengungkapkan persamaan kondisi wafatnya Gus Dur dengan kepergian salah seorang sufi masyhur, Maulana Jalaluddin Rumi.

Kepulangan Rumi ke Rahmatullah dihadiri ribuan orang yang mengagumi dan mencintainya.

Gambaran dari kepergian 2 zahid yang disambut iringan ribuan orang serta didoakan pula dari segala penjuru menunjukkan cinta dan kasih sayang.

Rasa tersebut mengkristal dari seluruh komponen masyarakat sebagai wujud cinta dari dua zahid kepada semua manusia ketika hidupnya.

Kiai Husein menuturkan, Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah merupakan orang yang selama hidupnya diabdikan untuk mencintai seluruh manusia.

Mereka memberikan kebaikan demi kebaikan itu sendiri, bukan bermaksud kebaikan tersebut kembali kepada dirinya. Lahu Alfatihah! (*)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *