Mengingat Kongres Umat Islam 74 Tahun Lalu

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, hajinews.id-– Persis 74 tahun lalu atau tepatnya tanggal 7-8 November 1945, diselenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia di Gedung Muallimin Muhammadiyah di Yogyakarta. Kongres Umat Islam ini hanya berangsung empat bulan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Kongres waktu itu semakin mengokohkan keberadaan Masyumi yang merupakan singkatan dari partai “Majelis Syuro Muslimiin Indonesia”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebenarnya Masyumi sendiri telah ada sejak tahun 1943, sebagai hasil politik ‘niat baik’ Jepang memberikan porsi politik bagi kaum Muslimin dalam masa penjajahannya di Indonesia.

Hadir dalam Kongres Umat Islam waktu itu, sekitar lima ratus utusan organisasi-organisasi keagamaan Islam, tokoh-tokoh aliran utama, dan tokoh-tokoh politik Islam.

Pada tanggal 7 Nopember 1945, para peserta kongres menyepakati pembentukan partai politik Islam yang resmi dinamakan “Partai Politik Islam Indonesia Masyumi”.

Jika menerawang ke belakang sejarah negeri ini, tercatat adanya resolusi yang dikeluarkan Partai Masyumi saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Resolusi tersebut menyerukan kepada seluruh muslim Indonesia untuk melakukan “jihad fi sabilillaah” dalam menghadapi kedatangan sekutu (Inggris yang diboncengi Belanda) di Indonesia.

Pada awalnya, anggota istimewa Masyumi terdiri dari empat organisasi yakni: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.

Dalam perkembangannya, jumlah anggota istimewa ini terus bertambah dengan masuknya Persatuan Islam tahun 1948, disusul dua organisasi asal Sumatera Utara yaitu Al-Jamiatul Wasliyah, dan Al-Ittihadiyah tahun 1948, Persatuan Ulama Seluruh Aceh 1949, dan Al-Irsyad tahun 1950.

Namun pada tahun 1952, NU keluar dari Masyumi. Apa penyebabnya ? Disebut-sebut karena tidak suka bahwa kursi Menteri Agama bukan untuk NU, dan NU kurang diberi peranan teknis di Masyumi.

Masyumi, yang kemudian adalah pada dasarnya adalah gabungan massa koalisi organisasi Islam Indonesia besar bernama Muhammadiyah, Al Irsyaad, Persis, dll., pun, terbukti benar.

Walaupun akhirnya Masyumi dihancurkan rezim Orde Lama yang di akhir kekuasaannya waktu itu seperti menderita slamophobia. Namun yang jelas alasan pembubaran Masyumi waktu itu karena organisasi ini sangat anti Komunisme-Marxisme, Kapitalisme, dsb.

Pada Pemilu 1955, Masyumi sebenarnya telah memenangkan Pemilu dan hanya kalah tipis dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berada di peringkat pertama. Sementara perolehan suara Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) jauh dibawah Partai Masyumi dan PNI.

Namun apa yang terjadi kemudian di jagat politik Indonesia pasca Pemilu pertama tahun 1955 ? PNI, NU, dan PKI kemudian bergabung melawan Masyumi dalam koalisi Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme). Meski demikian, semua prinsip Masyumi terbukti tak terkalahkan dan benar.

Semua lawannya, pada akhirnya menyesal dan tumbang.

Rencana rezim Orde Lama dibawah penguasa Sukarno dan koalisi Nasakom yang semula hendak menyerbu Malaysia, Brunei, Singapura, dengan memobilisasi rakyat serta bantuan dari Komunis Tiongkok, tidak pernah terjadi.

Justru NU yang kemudian malah dikhianati oleh PKI sebagai anggota koalisi dalam Nasakom melalui pemberontakan PKI 1965.

Waktu itu, para kyai serta Santri NU dibunuhi PKI. Padahal, sebelumnya NU dan PNI membela PKI, dalam koalisi Nasakom untuk melawan Partai Masyumi.

Kendati waktu itu posisi politik Sukarno dianggap sangat kuat bahkan sempat mendapatkan legitimasi sebagai Presiden Seumur Hidup, namun pada akhirnya dia harus mengakui takdir. Dia tidak lagi terpilih sebagai presiden pasca pemberontakan PKI 1965.

Walaupun rezim Sukarno sempat memenjarakan secara sepihak , Buya Hamka, M. Natsir, KH Isa Anshori, dkk., semua prinsip Islam yang dijunjungi Masyumi juga terbukti benar.

Buya DR. HAMKA, sang ulama, sastrawan, pejuang kemerdekaan, murid dan tokoh Muhammadiyah, di kemudian hari malah menjadi Ketum MUI pertama dan yang paling harum namanya. Selain mendirikan sekolah Al Azhar Kebayoran Baru, tersohor sebagai ulama, sastrawan di wilayah Asia Tenggara, dll.

Buya Hamka dikenal sebagai sosok yang lembut, berilmu, ramah, berseni tinggi, namun tegas. Di era Orde Baru, Buya HAMKA lebih memilih mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketum MUI, daripada mencabut fatwa MUI tentang haramnya merayakan Natal Bersama kaum Kafir (termasuk memberikan selamat atas ‘kelahiran anak tuhan’ itu).

Sementara DR. M. Natsir, sang ulama internasional yang juga Perdana Menteri, pejuang kemerdekaan murid Persis, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang para asatidz dan aktivisnya dikenal tegas, berilmu, berani, teguh. Termasuk aksi DDII dalam berdakwah sampai ke pelosok negeri.

M. Natsir bahkan mendapatkan 3 kali gelar Doktor Honoris Causa dari beberapa negara, menjadi pimpinan Liga Muslim Dunia, Dewan Masjid Dunia, dan diakui pemikirannya dalam tataran dunia. Dia menginspirasikan rakyat banyak negara.

M. Natsir, juga adalah pahlawan nasional Indonesia yang berhasil menyatukan Indonesia dalam Mosi Integral M. Natsir!

Mosi Integral M. Natsir, alhamdulillaah, mampu menjadikan RI sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan lagi Republik Indonesia Serikat (RIS)!

Kini ada saja yang berteriak-teriak “NKRI Harga Mati”, “Saya Pancasila”, mengaku muslim RI (Nusantara). Namun anehnya sebagian yang berteriak itu tidak paham Islam, tidak melaksanakan amanah UUD 1945 dan prinsip Pancasila yang asli (termasuk membiarkan Indonesia semakin jatuh dalam perangkap hutang riba, menentang kerjasama antar negara Muslim (Khilafah), tidak memperjuangkan Koperasi, tidak memperkuat BUMN, menjuali aset negara, dsb.), dst.

Maka semoga prinsip para pejuang negeri akan terus ada hingga sekarang.

Mereka para pejuang itu memperjuangkan nilai-nilai Islam, syari’ah, kerjasama internasional muslimiin, dsb.; dengan pemahaman (manhaj) Salafush Sholih (kaum pendahulu yang salih). Sesuai perjuangan para nabi dan muridnya!

Bukan pemahaman ‘Islam’ Liberal, juga ‘Islam’ Sekuler, Plural, Kapitalis, Filsafat, Mistik-sihir, apalagi ‘Islam’ Nusantara, dll.

Kini juga ada ‘kasus-kasus’ janggal terjadi terhadap pihak-pihak yang dianggap mengkritik rezim. Dan hampir 100% terjadi terhadap tokoh-tokoh Muslimiin RI.

Situasinya, disebut-sebut macam serupa saat sebelum PKI berusaha menguasai RI di ujung masa rezim Orde Lama yang akhirnya dekat dengan Republik Rakyat Cina itu.

Serupa, bahkan juga ada isu tuduhan di masa rezim pemerintahan Jokowi ini, terhadap adanya kaum Muslimiin, bahwa:

Muslimiin ingin mengkudeta rezim, Muslimiin mengganti ‘ideologi negara’, Muslimiin anti-kebhinnekaan, Muslimiin anti-Pancasila, buruknya sistem Khilafah jika dibandingkan sistem Sekuler-demokrasi, dsb.

Padahal, Islam dengan segala prinsipnya, sebenarnya tidak mungkin pula bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Karena Pancasila dan UUD 1945 justru dibentuk, diturunkan dari prinsip Islam.

Karena Islam adalah agama sejak awal jaman dengan 124.000 nabi dan rosul dari semua etnis, golongan, kaum, dsb.

Sementara Tauhid ini, adalah dasar negara Republik Indonesia. Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa dasar negara RI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa atau sama dengan Tauhiid.

Dan Allah, diakui memberikan berkat dan rahmat kemerdekaan RI, di Pembukaan UUD 1945.

Maka sebagaimana ribuan tahun sejarah para nabi membuktikan:

Hanya orang bodoh, durhaka, kafir, tak tahu sejarah, yang menentang ini semua.

Dan cepat atau lambat, orang-orang ini akan menyesal, menemui kehancurannya.

Jangan sampai ada yang ikut arus mereka. Jika tak ingin menyesal, nantinya.

Karena Allaah, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang akan membela agama ini.

Dari berbagai sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *