Impor Minyak Bikin Tekor, RI Harus Segera Bangun Kilang

Kilang minyak. (Foto: KataData)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Masalah kilang minyak menjadi perhatian sangat serius pemerintah saat ini. Keprihatinan mencuat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena Indonesia tak membangun kilang dalam kurun hampir 30 tahun.

“Masa 34 tahun gak bisa membangun kilang minyak. Kebangetan. Saya kawal betul akan saya ikuti juga progress-nya dan persentasenya sejauh mana,” ujar Jokowi seusai Rapat Koordinasi Nasional Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah dan Silaturahmi Nasional Bank Wakaf Mikro di Jakarta,  kemarin (10/12/2019).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kilang minyak punya peranan sangat strategis dan penting untuk menyuplai kebutuhan energi dan bahan bakar Tanah Air. Tak hanya itu, produk olahan dari kilang minyak juga berfungsi sebagai bahan baku dalam industri petrokimia.

Saat ini kapasitas kilang Indonesia masih terbatas di angka 1 juta barel per hari (bph). Sementara lifting minyak dalam negeri terus menurun akibat penuaan sumur. Lifting minyak pada 2019 mencapai 750.000 bph.

Padahal kebutuhan bahan bakar serta industri petrokimia terus tumbuh. Mengutip data CEIC, konsumsi minyak masyarakat Indonesia sudah melebihi angka 1,5 juta bph. Inilah yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor baik minyak mentah maupun hasil olahannya.

Sepanjang 10 bulan 2019, impor minyak dan gas Indonesia mencapai US$ 17,6 miliar. Jika nominal tersebut dirupiahkan dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$ maka nilainya mencapai Rp 246,4 triliun.

Dengan angka tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk membangun satu buah kilang dengan kapasitas 300.000 bph. Sungguh miris bukan? Memang tak dapat dipungkiri bangun kilang itu mahal sekali. Tapi jika dibanding impor BBM, dampak ekonomi jangka panjangnya akan lebih hemat kalau memiliki kilang.

Pemerintah sampai saat ini menargetkan untuk melakukan revitalisasi serta pembangunan kilang baru atau Grass Root Refinery (GRR). Pengembangan dan pembangunan kilang ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas kilang.

Berdasarkan data Pertamina, jika proyek pengembangan dan pembangunan kilang minyak direalisasikan maka kapasitas tersebut meningkat menjadi 2 juta bph.

Persoalannya kini, membangun kilang tentu butuh modal yang sangat besar dan peran serta investor.

Dengan dana Rp 643 triliun kapasitas kilang dapat di upgrade menjadi 2x sehingga dampak ekonominya tentu akan lebih terasa dan dapat menekan impor.

Pertamina hingga saat ini mempunyai  tujuh unit kilang yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Produk yang dihasilkan dari kilang antara lain BBM seperti Premium, Bahan Bakar Khusus (BBK) seperti Avtur dan Pertamax, Non-BBM seperti LPG, produk petrokimia seperti polypropilene dan nafta.

Untuk meremajakan kilang serta membangun kilang baru tentu membutuhkan keterlibatan investor. Walau penugasan dibebankan ke Pertamina, jika sendirian sungguh teramat sangat berat tentunya.

Salah satu faktor yang membuat investor mau atau tidak investasi ke sektor hilir migas tentu tak lepas dari nilai keekonomisan. Dengan adanya kilang, minyak mentah yang awalnya tak bisa digunakan untuk apa pun dapat dipecah menjadi berbagai produk mulai dari bensin, aspal hingga produk turunan lain seperti plastik.

Nilai keekonomisan tentu diukur dari perbedaan harga produk jadi dan bahan mentahnya. Produk jadi di sini sangat beragam seperti yang sudah dijelaskan di atas. Namun mengingat nafta punya peranan yang sangat banyak dan menghubungkan kilang minyak dengan industri petrokimia, harga nafta dapat dijadikan sebagai pembanding.

Ketika harga minyak mengalami fluktuasi maka keuntungan dari aktivitas di kilang juga akan berfluktuasi. Berdasarkan kalkulasi Tim Riset CNBC Indonesia, harga minyak dalam setahun terakhir lebih berfluktuasi dibanding harga tahun sebelumnya. Hal tersebut tercermin dari angka standard deviasi return harga minyak yang lebih tinggi tahun ini.

Volatilitas harga minyak mentah jenis Brent setahun terakhir mencapai 0,02. Sementara tingkat fluktuasi minyak Brent pada tahun sebelumnya hanya 0,016.

Margin atau tingkat pengembalian dari industri petrokimia ke depan diprediksi akan bergerak moderat di tengah ketidakpastian ekonomi global, penambahan kapasitas kilang dan lunaknya permintaan.

Namun sebenarnya prospek industri petrokimia RI ke depan bisa dibilang sangat menjanjikan. Hal ini yang seharusnya dilirik investor. Ukuran populasi yang besar, peningkatan populasi kelas menengah, laju urbanisasi yang tinggi, aktivitas manufaktur yang terus berkembang membuat prospek bisnis petrokimia tergolong menjanjikan.

Sebagai investor selain nilai keekonomisan, faktor regulasi juga turut menjadi faktor yang menentukan apakah suatu negara layak untuk dititipi dana atau tidak.

Sampai saat ini regulasi yang tumpang tindih, ketidakpastian hukum, serta birokrasi yang berbelit-belit adalah masalah di Indonesia yang membuat iklim investasi tidak ramah. Jadi masalah regulasi, birokrasi, dan kepastian hukum memang harus jadi prioritas dan agenda utama.

Bagaimanapun juga bikin kilang memang mahal. Namun bukan berarti itu jadi alasan untuk mundur. Mau sampai kapan tekor karena impor? Mau sampai kapan kesehatan ekonomi RI digerogoti penyakit kronis bernama CAD? (rah/cnbcindonesia)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *