Kisah Dua Potong Roti yang Menyelamatkan Ahmad bin Miskin

Ilustrasi Ahmad bin Miskin
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id,- Ahmad bin Miskin adalah seorang ulama abad ke-3 Hijriah dari kota Basrah, Irak pernah bercerita:

Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah. Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apapun. Sementara aku harus menafkahi seorang istri dan seorang anak. Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami. Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku. Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan kondisiku. Lantas, dia malah memberiku 2 lembar roti dan berkata:

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Berikan makanan ini kepada keluargamu.”

Di tengah perjalanan pulang, aku berpapasan dengan seorang perempuan fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku. Dengan memelas dia memohon:

“Tuanku, anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit. Tolong beri dia sesuatu yang bisa dia makan. Semoga Allah merahmati Tuan.”

Sementara itu, si anak menatapku polos dengan tatapan yang tak kan ku lupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam khayalan ukhrowi. Seolah-olah surga turun ke bumi menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya dengan mahar mengenyangkan anak yatim dan ibunya. Tanpa ragu sedetikpun, kuserahkan semua yang ada di tanganku.

“Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu.

Demi Allah, padahal waktu itu tak sepeserpun dinar atau dirham ku miliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan itu. Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si kecil pun tersenyum indah bak purnama. Ku tinggalkan mereka berdua dan ku lanjutkan langkah gontaiku. Sementara beban hidup terus bergelayutan dipikiranku. Sejenak, ku sandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah. Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.

“Hei, Abu Muhammad kenapa kau duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?” tanyanya.

“Subhanallah! dari mana datangnya?” jawabku kaget.

“Tadi ada pria datang dari Khurasan. Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya.
Dia membawa berduyun-duyun angkutan barang penuh berisi harta,” ujarnya.

“Terus?”, tanyaku keheranan.

“Dia itu dahulu saudagar kaya di Bashrah ini. Kawan ayahmu. Dulu ayahmu pernah menitipkan kepadanya harta yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu. Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan.
Di sana, kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan lahan pergi, berganti dengan limpahan kekayaan. Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.

Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”

Dengan perubahan drastis nasib hidupnya ini, Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya. Kalimat puji dan syukur kepada Allah berdesakan meluncur dari lisanku. Sebagai bentuk syukur. Segera kucari perempuan faqir dan anaknya tadi.

Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur hidup. Aku pun terjun di dunia bisnis seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal shalih. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah. Tanpa sadar aku merasa takjub degan amal shalihku.
Aku merasa, telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri, bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam daftar orang-orang shalih.

Suatu malam, aku tidur dan bermimpi. Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat. Aku juga lihat, manusia bagaikan ombak, bertumpuk dan berbenturan satu sama lain. Aku juga lihat, tubuh mereka membesar. Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memanggul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya. Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memanggul di punggungnya beban besar seukuran kota Basrah. Isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan. Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal.

Seluruh amal burukku ditaruh di salah satu sisi timbangan sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain. Ternyata amal buruku jauh lebih berat daripada amal baiku. Tapi ternyata perhitungan belum selesai mereka mulai menaruh satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah ku lakukan. Namun alangkah ruginya aku. Ternyata di balik semua amal itu terdapat nafsu tersembunyi. Nafsu tersembunyi itu adalah riya, ingin dipuji. Merasa bangga dengan amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tak ada satupun amalku yang lepas dari nafsu-nafsu itu.

Aku putus asa.
Aku yakin aku akan binasa.
Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari siksa neraka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara, “Masihkah orang ini punya amal baik?”

“Masih…”, jawab suara lain. “Masih tersisa ini.”

Aku pun penasaran, amal baik apa gerangan yang masih tersisa? Aku berusaha melihatnya.
Ternyata, itu hanyalah dua lembar roti isi manisan yang pernah ku sedekahkan kepada perempuan fakir dan anaknya. Habis sudah harapanku. Sekarang aku benar-benar yakin akan binasa sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku? Sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar = +/- 425 gram emas = Rp 250 juta), dan itu tidak berguna sedikit pun. Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.

Segera dua lembar roti itu ditaruh di timbanganku. Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun. Sampai-sampai lebih berat sedikit dibandingkan timbangan kejelekanku. Tak sampai disitu, ternyata masih ada lagi amal baikku. Yaitu berupa air mata perempuan faqir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah.

Air mata tak terbendung yang mengalir kala terenyuh akan kebaikanku. Aku yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding keluargaku.

Sungguh tak terbayang, saat air mata itu ditaruh, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus memberat. Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata,

“Orang ini selamat dari siksa neraka..!”

Masih adakah terselip dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita? Jangan pernah bersandar pada amal yang telah kau lakukan. Sebab dari ketertipuan ini adalah sikap bersandar kepada amal secara berlebih. Ini akan melahirkan kepuasan, kebanggaan, riya dan akhlak buruk kepada Allah. Orang yang melakukan amal ibadah tak akan pernah tahu apakah amalnya diterima atau tidak. Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga mereka tak tahu apakah amalnya bernilai keikhlasan atau tidak.

Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan amal ibadah hamba-hambaNya. Dia Maha Kaya tidak butuh kepada makhluk-Nya. Teruslah mengerjakan amal shaleh sebanyak-banyaknya. Tapi jangan merasa diri paling sholeh, sebab amal belum cukup mengantarkan kita ke surga tanpa Rahmat dan Kasih sayang dari Allah. Barakallah fiikum
Astaghfirullahal ‘adzhiim. Ampunilah kami yaa Raab jika di hati kami masih ada rasa bangga, ujub diri terhadap amal-amal kami.

Amiin Ya Rabbal Alamiin

(Ar-Rafi’i dalam Wahyul Qalam, 2/153-160)

—Sayid Machmoed BSA—

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *