Kemenag Keluarkan Surat Tidak Halal untuk Vaksin AstraZeneca

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, hajinews.id– Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag)  menerbitkan surat keterangan tidak halal untuk  vaksin Covid-19 AstraZeneca.Kepastian tersebut disampaikan Plt Kepala BPJPH Kemenag Mastuki saat dihubungi kemarin (21/3).

”Karena sesuai namanya, sertifikat halal diterbitkan BPJPH bagi produk yang telah ditetapkan kehalalannya oleh MUI,” terangnya. Dia menegaskan, tidak ada mekanisme atau kesempatan sanggah dari pengaju atau produsen. Sebab, penetapan halal atau tidak halal itu bersifat final.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dia menjelaskan, sebelum ditetapkan status kehalalan oleh MUI, sudah ada kesempatan komunikasi antara auditor halal dan pelaku usaha. Dalam proses tersebut, sudah ada komunikasi terkait keterangan dokumen, bahan, serta proses produksi dan segala kaitan audit produk. Setelah auditor halal bekerja, hasilnya disampaikan kepada MUI untuk dibuatkan fatwanya.

Ketua MUI Cholil Nafis mengatakan, setelah mereka mengumumkan fatwa vaksin AstraZeneca, banyak warga yang menanyakan soal hukumnya. ”Kok haram, tapi boleh. Itulah istilah fikih Islam bahwa halal itu beda dengan istilah boleh,” katanya.

Dia menuturkan, halal itu berarti secara ketentuan syara’ tidak ada unsur yang diharamkan sama sekali. Sedangkan boleh itu belum tentu halal, tetapi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan kadar tertentu serta tempo yang dibutuhkan.

Nafis lantas mengatakan, ada pihak lain yang mengatakan bahwa vaksin AstraZeneca halal dan tidak mengandung babi. Misalnya, yang jadi keputusan NU Jawa Timur.

”Mungkin metode dan pemeriksaannya berbeda dengan yang dipedomani MUI,” jelasnya.

Menurut dia, bagi MUI, untuk setiap produk yang ada babi dan turunannya serta yang menggunakan unsur tubuh manusia, hukumnya haram. Pertimbangan itu lebih karena metode yang digunakan MUI adalah kehati-hatian atau ihtiathan Imam Syafi’i.

Nafis mengatakan, dari kajian LPPOM MUI, memang dalam pembuatan inang virusnya, vaksin Astrazeneca menggunakan tripsin dari pankreas babi. Keterangan itu didapat dari dokumen yang disampaikan produsen.

”Dokumen itu sudah cukup untuk tidak meneruskan audit lapangan. Sehingga memutuskan vaksin AstraZeneca hukumnya haram,” katanya.

Namun, Nafis menegaskan, dalam kondisi terbatasnya vaksin Sinovac, vaksin Covid-19 keluaran AstraZeneca boleh digunakan. Untuk diketahui, vaksin Sinovac yang sudah mengantongi label halal hanya dapat memenuhi 28,6 persen dari kebutuhan dosis vaksin Covid-19 di Indonesia. Karena itu, dalam fatwanya, MUI juga meminta kepada pemerintah untuk mengupayakan vaksin yang halal bagi masyarakat muslim.

Sementara itu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim mengeluarkan edaran yang menyatakan bahwa hukum mengikuti vaksinasi adalah wajib bagi setiap muslim di Indonesia. Keputusan ini telah melalui musyawarah hukum (bahtsul masail) pengurus Syuriah PWNU. Bahwa mendukung kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah juga hukumnya wajib.

”Sehingga tidak menaati keputusan pemerintah yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan syara’ adalah dilarang (haram),” jelas Marzuki.

Vaksinasi sebagai upaya menghentikan persebaran Covid-19 merupakan upaya paling efektif. Karena itu, harus diprioritaskan. Dalam pernyataan itu juga disebutkan, jenis vaksin yang telah direkomendasikan oleh menteri kesehatan adalah suci. Sebab, pada produk akhir tidak terdapat kandungan unsur najis sama sekali, sebagaimana AstraZeneca, Sinovac, dan lain-lain.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *