Pemerintah Egois, Ekonom hingga DPR Ramai-ramai Tolak Pindah Ibu Kota

Pradesain IKN (foto: ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews — Sejumlah ekonom hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ramai-ramai menolak pemindahan ibu kota negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Utamanya, mereka menilai pindah ibu kota belum terlalu penting dibandingkan penanganan pandemi virus corona atau covid-19 hingga besarnya beban utang ke depan.

Ekonom Narasi Institute Fadhli Hasan menilai pemindahan ibu kota negara tidak perlu dilakukan mulai tahun ini karena penanganan pandemi belum selesai. Saat ini, masalah pandemi seharusnya menjadi prioritas karena dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat, seperti pengurangan pendapatan, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga jurang ketimpangan yang semakin dalam.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Pemerintah sebaiknya menunda rencana pemindahan ibu kota negara sampai penanganan covid-19 selesai. Sosialisasinya juga masih rendah saat ini,” ungkap Fadhil dalam diskusi yang diselenggarakan lembaganya, dilansir CNNIndonesia, Jumat (16/4).

Selain pertimbangan penanganan dampak pandemi, Fadhil juga menilai pemerintah sejatinya belum punya dasar hukum yang jelas dan sah berlaku untuk memindahkan ibu kota negara. Buktinya, rancangan undang-undang (RUU) masih dibahas dengan DPR.

Sayangnya, menurut Fadhil, pemerintah justru tetap mengikuti ego sendiri untuk meneruskan rencana pemindahan ibu kota negara. Hal ini tercermin dari aksi peletakan batu pertama (groundbreaking) di kawasan calon ibu kota baru.

Keberatan beban

“Artinya, peletakan batu pertama pembangunan ibu kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya. Bagaimana jika DPR tidak menyetujui pemindahan ibu kota tersebut?” ucapnya.

Hal lain yang disoroti Fadhil adalah alasan pemindahan karena Jakarta sudah terlalu ‘keberatan beban’ dalam memegang peran sebagai ibu kota negara, pusat bisnis, hingga pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Belum lagi berbagai masalah sosial, budaya, dan lingkungan di dalamnya.

“Alasan over capacity Jakarta terkesan pemerintah ingin menghindari upaya mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta, dan jika pindah pun belum tentu persoalan Jakarta akan terselesaikan,” ujarnya.

Di sisi lain, menurutnya, kalau pun pemerintah ingin melakukan pemerataan ekonomi dan pembangunan di daerah luar Jakarta dan luar Jawa, sebenarnya tujuan ini tetap bisa dilakukan tanpa memindahkan ibu kota. Misalnya, dengan memberikan dana transfer ke daerah yang lebih besar dan lainnya.

Utang

Tak ketinggalan, ada pula kekhawatirannya terhadap peningkatan beban utang ke depan lantaran pemindahan ibu kota negara tetap membutuhkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, beban utang Indonesia saat ini sudah cukup besar dan terus meningkat.

“Diperkirakan (utang) akan berjumlah Rp10 ribu pada 2024, ini sudah cukup membebani perekonomian. Di kala sumber daya terbatas dan negara dihadapkan pada penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi, membangun ibu kota baru sungguh bukan prioritas yang tepat dan langkah yang benar. Legacy yang ingin ditorehkan Jokowi akan berakhir sebagai misery bagi masyarakat,” tuturnya.

Sementara itu, Emil Salim, ekonom sekaligus mantan menteri negara pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup era Soeharto menilai pemindahan ibu kota negara sejatinya tidak serta merta akan memberi hasil pemerataan dan penurunan ketimpangan ekonomi di tanah air. Pasalnya, pembangunan ibu kota baru ibarat mulai lagi dari nol.

“Membangun ibu kota negara di tengah pulau, belum ada jaminan meratakan pembangunan. Jadi perlu realistis,” tutur Emil pada kesempatan yang sama.

Di sisi lain, ia menyayangkan ketika pemindahan ibu kota negara terjadi, gedung sejumlah kementerian/lembaga yang selama ini menjadi ikon pembangunan di Indonesia justru akan berubah makna dan fungsi. Padahal, gedung-gedung itu punya nilai sejarah yang besar.

“Cost terbesar adalah historical dari ibu kota proklamasi saat ini yang merupakan pusat perkembangan sejarah akan lenyap dan mau ditukar gulingkan jadi komersial. Bayangkan Kementerian Keuangan jadi mal, bayangkan, ini ngeri, apa faktor ini sudah diperhitungkan? Di sisi lain, bagaimana dampak politik dalam pembangunan ibu kota negara tersebut?” ungkapnya.

Pendapat Ekonom
Ekonom senior Emil Salim menilai tidak ada jaminan pembangunan ibu kota baru mampu meningkatkan pemerataan pembangunan. (CNN Indonesia/ Safir Makki).

Sementara Ekonom INDEF M. Rizal Taufikurahman menilai pemindahan ibu kota negara punya kelebihan dan kekurangan. Dari sisi kelebihan, memang akan menggerakkan pertumbuhan beberapa sektor industri, misalnya pada awal-awal akan menguntungkan konstruksi pada jangka pendek.

Begitu juga dengan penyerapan tenaga kerja di bidang ini dan industri penyedia bahan-bahan konstruksi. Lalu ,pada jangka menengah dan panjang, bisa mendorong geliat industri lain, misalnya konsumer, perumahan, dan lainnya.

Tapi menurut kalkulasi secara menyeluruh, Rizal menilai pemindahan ibu kota negara tidak menguntungkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dampaknya, kata Rizal, kemungkinan hanya bisa dinikmati pada kenaikan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur dan kota-kota di sekitarnya saja.

“Dampak ke pertumbuhan ekonomi nasionalnya kecil sekali, 0,02 persen, baik jangka pendek maupun jangka panjang, meski kalau terhadap ekonomi Kalimantan 2,85 persen sampai 3,61 persen. Ini tidak ada artinya bagi ekonomi nasional,” jelasnya.

Begitu juga dengan target menurunkan ketimpangan. Hal ini tak serta merta bisa turun karena yang terbangun cuma Kalimantan Timur sehingga peningkatan status ekonomi masyarakat kemungkinan cuma terjadi di wilayah tersebut.

Menurut Rizal, saat ini pemerintah seharusnya fokus pada penanganan dampak pandemi covid-19 karena hal ini menjadi penentu pembangunan dan pencapaian ekonomi Indonesia ke depan.

Penolakan juga datang dari Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron karena belum ada pembicaraan yang jelas dan final antara pemerintah dan badan legislatif. Menurutnya, DPR sebenarnya juga masih melihat pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur terlalu jauh dan tidak rasional.

“Dari nalar saya, lebih mempertimbangkan logis atau tidak logis dan perlu atau tidak perlunya memindahkan ibu kota negara dengan berbagai pertimbangan. Memang pernah dibicarakan, tapi belum ada kelanjutannya,” pungkasnya.(ingeu/dbs)

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *