Indra Keberagamaan (penutup)

Ilustrasi ist
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hamdan Juhannis

Hajinews.id — Malam ini, malam lebaran, bertepatan dengan situasi saya yang sudah krisis ide. Ibarat senjata, kehabisan peluru. Ibarat petapa, butuh naik gunung lagi, ibarat musafir kehabisan bekal. Tapi itu sangat manusiawi kan? Manusia bukan hanya tempatnya khilaf, tapi juga kehabisan materi celoteh.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Gejala kehabisan itu sudah jelas terbaca. Selama 29 celoteh, begitu sering dikritik teman sendiri bahwa ulasannya ada yang berulang. Gagasannya sering tidak bernas.  Yang lain mengeritik, pembahasannya sering monoton pada issu tertentu. Yang lain lebih pedas lagi, yang diulas bukan hal yang mempesona di masyarakat. Lebih keras lagi, celotehnya lebih layak disebut tulisan tanggapan.

Meskipun di lain sisi, ada yang terus membangkitkan asa, yang saya tahu motif pujian itu untuk membuat saya bertahan ketika mereka ikut merasakan, saya dilanda paceklik ide. Ada yang menguatkan dengan bahasa, “serasa membaca catatan Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie”. Yang lain lebih memuji, “mengalir seperti Dahlan Iskan.” Ada yang mencoba hiperbolis, “Bukan sekadar Catatan Pinggir tapi sudah layak menjadi Catatan Tengah.” Dari sahabat yang lain, “original dan mencerahkan”.  Ada yang menggunakan slogan, “lugas, cerdas, dan pas.” Ada yang lebih ilmiah, “pemantik nalar banyak cendekiawan”. Ada yang Lebih puitis, “mengalir deras bak air bah.” Ada yang filosofis, “mampu mendatangkan intensi dan impresi.” Ada yang melankolis, “menunggu Ramadan berikutnya, semoga kiamat belum dekat.” Tidak ketinggalan ibu-ibu, “fresh from the oven.”

Sejujurnya, dengan iringan penyemangat itu, saya sering dilanda ketakutan, takut coretan saya tidak bisa sampai pada malam terakhir.  Saya tidak khawatir pada sebagian pembaca yang mungkin tidak membaca. Saya tidak khawatir pada sebagian kawan yang saya tumpuki kiriman coretan tanpa mereka berdaya menjawab karena kesesakan. Saya tidak khawatir kepada mereka yang membaca tapi memilih diam (silent readers). Yang saya pikirkan adalah satu-dua pembaca setia saya yang selalu bertanya kalau terlambat saya mengirim celoteh. Ada sahabat yang tidak pernah alpa memberikan komentar, sebagai wujud nyata dari kesetiannya.

Dari mereka-lah saya semakin sadar tentang arti kesetiaan. Penulis pun membutuhkan pembaca setia. Kesetiaan mereka yang membuat saya belajar untuk gigih. Kesetiaan itu nilai yang sangat mahal karena di dalamnya ada rasa yang tidak ingin melepas.  Pembaca setia inilah yang berwujud  sangat organik. Mereka-lah yang mendinamisasi kestatisan berpikir saya. Merekalah yang menghidupkan kevakuman pembahasan saya.

Pembaca setia inilah yang selalu mengulangi pertanyaannya karena kesetiaannya. Akankah terus berlanjut celoteh saya setelah Ramadan? Mereka pun tahu jawaban saya bahwa saya butuh berfikir, supaya muncul lagi inspirasi. Saya butuh jeda, supaya ada keberlanjutan. Saya butuh kosong, supaya bisa terisi lagi. Saya butuh lelah, supaya bisa kembali kuat. Demikian halnya, saya perlu menghirup gelitik, supaya bisa menghembuskan kebaruan.

Dalam situasi kekosongan ide pada malam lebaran ini, terasa titik nolnya kehidupan. Semakin tahu keterbatasan manusia, sisi lemahnya nalar, adanya ruang ketidakberdayaan, dan datangnya waktu kepanikan pikiran.  Dalam situasi ketumpulan pena seperti ini, saya semakin tahu, betapa pentingnya masukan, dan betapa mujarabnya sodoran gagasan.

Hanya satu modal yang tersisa dari saya yang saya persembahkan kepada pembaca setia: pengakuan. Menurutku benar karena salah satu persoalan kemanusiaan, meluasanya doktrin, “Jangan pernah mengaku.” Olehnya para pembaca, akuilah kalau aku sudah mengaku! Saya mengakui banyak kesalahan. Dari kekosongan sampai pada pengakuan, itulah posisi terbaik untuk membuat diri berada dalam situasi “fitri”, pengisian kembali atau kelahiran kembali dengan gagasan yang menebar kebermanfaatan. Itulah makna fitri bagi kaum penulis.

Terakhir, kemampuan terbaik saya sebagai penulis adalah mengirimkan ucapan  permohonan maaf yang saya kemas dalam bentuk tulisan, di sini dan sekarang juga. Saya meminta maaf atas segala salah kepada semuanya, seperti pada awal memulai celoteh, saya kembali mengulanginya. Namun, anda tidak perlu meminta maaf karena maaf saya sudah terhampar untuk semua tanpa kecuali. Semoga anda semua terlahir kembali, menjadi kertas putih dan membuka segala lembaran hidup dengan pikiran bersih. Kalau ada pembaca yang ingin memberi saya ganjaran honor dari 30 celoteh saya, kirimkanlah honor itu kepada saya, saya pun rela dalam bentuk tulisan. kullu ‘aam wa antum bi khaeir.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *