Metode Unik Yang Membuat 40% Santri Planet Nufo Bisa Kitab Gundul

Santri Planet Nufo Bisa Kitab Gundul
Santri Planet Nufo Bisa Kitab Gundul
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Sementara usia nyantri ini kan usia belia. Bahkan rata-rata usia SMP dan paling banyak usia SMU. Pesantren yang baik, memberikan asupan gizi cukup, untuk melanjutkan saja asupan gizi cukup yang telah diberikan oleh keluarga. Bahwa ada anak dari keluarga dengan kecukupan gizi, tetapi “lambat”, itu adalah kenyataan juga. Ada yang begitu. Itu ya pasti ada faktor lain lagi yang mempengaruhi. Atau anggap saja sebagai “anomali”, biar sederhana. Maka santri-santri di Planet NUFO saya ajak memelihara domba, sapi, dan hewan-hewan lain yang bisa menghasilkan protein hewani. Sebab, terutama daging sapi dan domba, mengandung nutrisi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan. Beberapa tahun ini juga saya galakkan menanam kacang Sachi, karena kandungan Omega 3-nya tinggi. Kalau beli ikan salmon kan mahal. Intinya harus ada alternatif untuk mengatasi persoalan gizi ini.”

Planetnufo.com: “Sekarang soal lingkungan itu bagaimana?”

Abana: “Bahasa al-Qur’an dan juga hadits Nabi, terutama al-Qur’anlah sangat tinggi. Jadi, memahami al-Qur’an dan hadits tidak cukup hanya dengan menguasai makna katanya saja. Saya sering menekankan ini. Untuk bisa menguasai ajaran yang ada dalam sumber utama Islam, kita harus menguasai makna kata secara literal, kemudian berlogika kuat, dan mampu menangkap rasa bahasa. Nah, sekarang muncul beberapa pesantren yang mendaku diri sebagai pesantren modern. Atau hanya menghafalkan al-Qur’an saja, tidak mengajarkan bahasa Arab. Namun, rata-rata mereka lebih menekankan kepada bahasa Arab praktis dalam kehidupan sehari-hari. Penekanan kepada bahasa Arab fushhah yang digunakan oleh al-Qur’an, hadits, dan juga khazanah intelektual Islam klasik sangat minim.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kalau sekedar bisa bahasa Arab sehari-hari, saya sering gunakan ungkapan ekstrem, “orang gila di Arab juga menggunakan bahasa Arab”. Banyak tenaga kerja di Arab Saudi yang bisa berbahasa Arab. Tapi kita belum menemukan di antara mereka yang pulang kampung kemudian jadi ulama’, bahkan untuk sekedar mengajar ngaji di kampung mereka. Yang kedua ini sebenarnya lebih berpeluang, tapi saya belum dapat datanya. Ini karena mereka hanya menguasai makna literal kata-katanya saja. Masih ada dua lagi yang harus dikuasai, yaitu logika dan rasa bahasa. Coba perhatikan, banyak orang yang bisa berdialog dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi kalau diminta untuk berbicara menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran, baik lisan maupun apalagi tulisan, mereka tidak mampu. Kalau mendengar kalimat yang keluar dari mulut mereka, atau membaca tulisan mereka, kita jadi pusing sendiri. Kenapa? Subjek predikat objeknya tidak jelas.

Jumlah santri yang begini, juga mahasiswa, agar tidak hanya santri saja, jauh lebih banyak. Saya, kalau menilai UTS atau UAS mahasiswa gampang saja. Kalau paragraf pertama logis, saya lanjutkan ke paragraf kedua dan selanjutnya. Tapi subjek prediak objek di paragraf pertama tidak beres, langsung kasih saja nilai C. Setelah saya amati, di antara penyebabnya, mereka tidak memiliki lingkungan berbahasa yang baik. Misalnya, kita sering menemukan anak-anak mengatakan: “Saya sandalnya yang hijau”. Kenapa tidak “Sandal saya yang hijau”? Ini membutuhkan kebiasaan sejak kecil. Karena itu, saya langsung mengoreksi kalimat anak-anak, apabila saya mendengar kalimat mereka tidak tepat. Agar tidak menjadi kebiasaan yang bisa mengganggu konstruksi logika bahasa mereka. Nah, kalau logika mereka tidak jelas, maka tentu saja akan sulit untuk bisa memahami al-Qur’an yang sebagian ayatnya menuntut logika yang tajam. Kalimat-kalimat dalam ayat-ayat al-Qur’an itu kan runtut sekali. Secara umum, jika ada mubtada’, kita temukan khabarnya, jika ada syarat, ada jawabnya, jika ada kaana, la’alla, inna, dll itu, ada isim dan khabarnya, dan seterusnya. Kita harus belajar manthiq. Logika.”

Planetnufo.com: “Sekarang tentang rasa bahasa ya, Bah.”

Abana: “Terutama al-Qur’an, kalimat atau sebagiannya kalimat dalam ayatnya seringkali menggunakan gaya ungkapan. Al-Qur’an menyebutnya sebagai perumpamaan. Bahkan dalam Ulumul Qur’an ada bab sendiri tentang al-amtsal ini. Dan al-Qur’an menegaskan, tidak akan mampu memahami gaya ungkapan ini, kecuali orang-orang yang memiliki kedalaman pengetahuan. Mereka adalah orang-orang yang sering melakukan perenungan mendalam, sehingga mampu menangkap apa yang diinginkan oleh al-Qur’an. Misalnya, cek saja youtube, bagaimana memahami ungkapan al-Qur’an bahwa dunia ini hanyalah permaian dan senda gurau saja. Hampir semuanya kemudian menarik simpulan bahwa dunia ini harus ditinggalkan. Ini yang kemudian menyebabkan umat Islam tertinggal dalam hampir seluruh aspek kehidupan.

Padahal, mestinya dunia ini dikuasai, lalu jangan sampai lalai karenanya, sebagaimana anak-anak lalai karena mainannya. Kalau sudah tumbuh lebih dewasa, anak-anak kita tidak begitu butuh mainan lagi dan diberikan kepada adik-adiknya. Jangan masih digenggam saja, sehingga menimbulkan hasrat adik untuk merebut atau hanya bisa nangis karena ingin tapi tidak berani bilang. Kalau bisa memberikan banyak mainan, itu bagus, karena menyenangkan mereka yang masih membutuhkan. Itulah sikap kita sebagai muslim. Harus menuju kepada kedewasaan spiritual, lalu memberikan dunia yang kita kuasai ini kepada mereka yang membutuhkan. Memperbanyak amal, shadaqah, infak, dll., yang bisa membantu dan membuat orang lain senang.”

Planetnufo.com: “Jadinya memang tidak mudah juga ya kalau begini. Berarti guru menjadi faktor penting ya, Bah?”

Abana: “Bukan penting, tetapi amat sangat penting. Dan bukan hanya kualitas guru, tetapi juga pengalaman dan kemampuan dalam mengembangkan metode mendidik dan mengajar, melakukan iniovasi sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi. Kalau dulu, saya contohnya, untuk bisa membaca kitab gundul, harus menunggu ustadz atau kiai mengajar. Saya mendengarkannya dengan sepenuh konsentrasi untuk mencatatkan makna setiap kosa kata yang belum saya ketahui artinya. Sekarang, bukan hanya terjemahan yang sudah banyak sekali, dalam berbagai bahasa lagi, tetapi juga alat rekaman bahkan video sudah ada dalam setiap tangan kita. Setiap orang sekarang punya HP. Karena itu, saya merekam materi pelajaran saya, agar semua santri-murid bisa mengaksesnya sesuai dengan kebutuhan mereka, baik dalam sisi waktu maupun kemampuan.

Maksud saya, anak-anak bisa menyimak pelajaran saya, kapan saja mereka memiliki waktu luang. Dan mereka bisa mengulangnya sesuai dengan kemampuan. Makanya, di Planet NUFO ada pemutaran kajian 24 jam. Santri-murid menyesuaikan dirinya sendiri. Coba bayangkan kalau saya harus mengulang-ulang pelajaran saya, karena ada santri-murid yang agak lambat daya tangkapnya, misalnya. Lama-lama bisa emosi juga kan, karena diajari berkali ndak bisa-bisa. Apalagi kalau yang lambat sekali. Tapi dengan adanya rekaman ini, santri-murid bisa mendengarkannya berulang-ulang sampai bisa. Saya hanya memberikan panduan, para ustadz/ah mendampingi setiap hari.

Mentor juga menjadi teman untuk belajar kapan saja waktu mereka cocok. Kalau mereka sudah merasa bisa, mereka mengejar saya untuk memastikan bahwa mereka benar-benar bisa. Jadi, guru bukan hanya mengajar kemudian berasumsi bahwa santri-murid sudah paham dan bisa, padahal sebelumnya tidak. Inilah yang terjadi dalam pengajian massal. Akibatnya, para santri-murid tidak pernah bisa “naik kelas”. Yang santri ya santri terus. Yang jadi ustadz atau kiai ya anak ustadz atau kiai saja. Akhirnya santri dan kiai menjadi kasta yang bersifat tertutup. Anak kiai jadi kiai, anak santri jadi santri lagi ilaa yawmil qiyaamah.”.

Planetnufo.com: “Apakah dengan cara ini prosentase santri-murid yang bisa membaca teks Arab gundul mengalami peningkatan signifikan?”
Abana: “Alhamdulillah. Demikian adanya memang. Untuk sementara, data yang ada pada saya menunjukkan bahwa gizi berpengaruh cukup signifikan. Di Planet NUFO ini kan ada santri dari keluarga dengan berbagai macam tingkat ekonomi. Ada yang sejahtera dan pra sejahtera. Data saya menunjukkan bahwa kira-kira 75% santri-murid dari keluarga sejahtera memiliki kemampuan ini. Dan sebaliknya 25% saja santri-dari keluarga pra sejahtera yang memiliki kemampuan baik dalam membaca kitab.”

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *