Pedas! Rizal Ramli: Pemerintah Sudah Tak Sanggup Bayar Bunga Utang Negara: Gali Lubang, Tutup Jurang

Ekonom senior Rizal Ramli (foto istimewa)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Ekonom senior Rizal Ramli menyebut pemerintah Indonesia kini sudah tidak mampu membayar bunga utang negara yang mencapai Rp 405 triliun.

Ia mengatakan Pemerintah Indonesia saat ini memiliki utang pokok Rp 100 triliun. Jika ditotal bersama bunga, cicilannya mencapai Rp 805 triliun jika dikonversi dengan asumsi kurs Rp 14500.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saat ini dengan kurs dolar AS yang berada di atas Rp 15 ribu, Rizal Ramli memprediksi cicilan sudah lebih dari Rp 830 triliun.

Karena itu Rizal Ramli berkeyakinan Pemerintah tidak mampu membayar bunga utang negara tersebut.

“Ini untuk membayar bunganya, Pemerintah Indonesia ga mampu. Ini bukan gali lubang tutup lubang, tapi gali lubang tutup jurang,” ujarnya dalam webinar Gelora Talks bertema “Waspada Resesi Ekonomi 2023”, Rabu (19/10/2022).

Mantan Menteri Keuangan itu kemudian mengatakan Pemerintah membebankan rakyat dalam pembayar cicilan pokok bunga melalui penaikan harga BBM, tarif listrik, pajak PPN, dan lain-lain.

“Pemerintah menaikkan harga kebutuhan publik seperti BBM. Itu bukan karena subsidi. Supaya bisa cicil utang,” ujarnya.

“Lalu menaikkin tarif listrik, pajak PPN, dan lain-lain. Jadi, ketidakmampuan Pemerintah membayar cicilan pokok bunga dibebankan ke rakyat,” kata Rizal Ramli.

Mengutip Kontan, utang pemerintah indonesia saat ini memang semakin tambun. Data di Kementerian Keuangan RI menyatakan, per 331 Agustus 2022, total utang Pemerintah RI mencapai Rp 736,61 triliun.

Posisi utang tersebut melonjak sekitar Rp 73 triliun atau naik 1 persen dari posisi terakhir utang Pemerintah RI di Juli 2022 yang sebesar Rp 7.163 triliun.

Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,30 persen.

Angka tersebut sedikit meningkat dengan rasio utang pada akhir Juli 2022 yang sebesar 37,91 persen.

“Meskipun terdapat peningkatan nominal dan rasio utang pada akhir Agustus 2022, peningkatan tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal” tulis Kemenkeu dalam APBN KITA Edisi September yang dikutip, Senin (3/10/2022).

Kenaikan utang Pemerintah RI terjadi terutama disebabkan meningkatnya kebutuhan belanja selama tiga tahun masa reklasasi akibat Covid-19.

Namun demikian, disiplin fiskal tetap dijalankan pemerintah dan komposisi utang tetap dijaga di bawah batas maksimal 60 persen terhadap PDB, dengan demikian keadaan akan terus membaik seiring perbaikan ekonomi Indonesia.

Secara rinci, utang pemerintah didominasi instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 88,79 persen.

Hingga akhir Agustus 2022, penerbitan SBN yang tercatat sebesar Rp 6.425,55 triliun. Penerbitan ini juga terbagi menjadi SBN domestik dan SBN valuta asing (valas).

Dalam rilis tersebut, SBN domestik tercatat sebanyak Rp 5.126,54 triliun yang terbagi menjadi Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.195,39 triliun serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 931,15 triliun.

Sementara itu, SBN Valas yang tercatat adalah sebesar Rp 1.299,02 triliun dengan rincian sebagai berikut, yaitu SUN sebesar Rp 972,25 triliun dan SBSN senilai Rp 326,77 triliun.

Kemenkeu juga memaparkan, utang pemerintah tersebut ada kontribusi 11,21 persen dari utang pinjaman pemerintah hingga akhir Agustus 2022 yang sebesar Rp 811,05 triliun.

Pinjaman ini dirincikan dalam dua kategori yakni pinjaman dalam negeri sebanyak Rp 15,92 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 795,13 triliun.

Untuk pinjaman luar negeri juga telah dijabarkan oleh Kemenkeu sebagai berikut yakni pinjaman bilateral sebesar Rp 264,39 triliun, pinjaman multilateral sebesar 487,95 triliun, dan pinjaman commercial bank sebesar Rp 42,80 triliun.

Sementara berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi mata uang domestik (rupiah), yaitu 71,06 persen.

Selain itu, saat ini kepemilikan oleh investor asing terus menurun sejak tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen, hingga akhir tahun 2021 yang mencapai 19,05%, dan per 22 September 2022 mencapai 14,70 persen.

“Hal tersebut menunjukkan upaya pemerintah yang konsisten dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup. Meski demikian, dampak normalisasi kebijakan moneter terhadap pasar SBN tetap masih perlu diwaspadai,” tulis Kemenkeu.

Kemenkeu menyebut, pengelolaan utang yang prudent, didukung dengan peningkatan pendapatan negara yang signifikan dan kualitas belanja yang lebih baik adalah bentuk komitmen dan tanggungjawab pemerintah dalam menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tantangan ke depan akan semakin berat karena krisis pangan dan energi menjadi batu sandungan lain yang perlu diwaspadai setelah pandemi berlalu sehingga disiplin fiskal terutama pengelolaan utang akan terus dijaga agar ekonomi terus berjalan.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dalam mengelola utang, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolan dan Pembiayaan Risiko melakukannya dengan sangat detail dan hati-hati.

Menurutnya, apabila ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh positif , maka kenaikan utang tidak harus dikhawatirkan.

“Selama kita punya pertumbuhan ekonomi maka peningkatan utang tidak harus dikhawatirkan,” ujar Suahasil saat memberi pemaparan kuliah umum di Universitas Sam Ratulangi, Senin (3/10).

Ia meminta masyarakat untuk tidak hanya melihat utang pemerintah hanya dari nominalnya saja, melainkan melalui utang per produk domestik bruto (PDB).

Rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,30% per Agustus 2022. Angka tersebut sedikit meningkat dengan rasio utang pada akhir Juli 2022 yang sebesar 37,91%.

Meskipun terdapat peningkatan nominal dan rasio utang pada akhir Agustus 2022, peningkatan tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal

“Ini yang harus kita perhatikan terus dari waktu ke waktu, saat ini utang PDB Indonesia sekitar 38%,” katanya.

Suahasil menambahkan, dalam mengelola utang dilakukan secara hati-hati, misalnya saja dengan memperhatikan jangka jatuh tempo utang tersebut atau dengan memperhatikan tenornya.

“Kita mesti pastikan betul itu utang untuk jangka waktu satu tahun, apakah untuk tiga tahun, dan itu kita gunakan untuk membuat sedemikian hingga jangan sampai utang itu tiba-tiba jatuh di tahun yang sama semua, bisa berabe,” tutur Suahasil.

Sumber: Tribunnews

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *