Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi?

Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi?
Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi?
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Tak hanya itu, ia mengatakan analisis IMF terbaru menyebutkan bahwa utang pemerintah masih moderat dan tetap sustain, kepercayaan para investor tetap besar, peringkat kredit kita juga masih di Investment Grade.

Sementara, terkait indikator kerentanan fiskal yang mengacu pada batasan yang direkomendasikan IMF dan IDR, ia menjelaskan bahwa batasan indikator tersebut didasarkan pada pertimbangan batasan indikator kerentanan dalam kondisi normal atau sebelum adanya pandemi covid-19.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Namun, pemerintah disebut tetap memberikan perhatian dengan menyiapkan berbagai upaya yaitu optimalisasi sumber pembiayaan non utang (SAL dan SILPA), pinjaman lembaga multilateral dan berbasis penanganan covid-19 dengan bunga ringan, serta kerja sama dengan Bank Indonesia melalui SKB I hingga SKB III.

Lantas, aman kah rasio utang dan jumlah ribuan triliun di era Presiden Jokowi untuk hadapi ancaman resesi global 2023?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan patokan kesehatan utang bukan hanya indikator rasio utang terhadap PDB, tapi beban bunga utang terhadap total belanja pemerintah yang terus naik.

Pada 2023, rasio bunga utang dengan total belanja pemerintah pusat mencapai 19,6 persen. Jadi, kata Bhima, hampir seperempat belanja itu habis untuk bayar kewajiban bunga utang.

“Problemnya kenaikan suku bunga semakin membuat beban bunga utang meningkat tajam. Alhasil, ruang fiskal menyempit untuk dibelanjakan ke sektor produktif,” imbuhnya.

Bhima menilai kalau pemerintah terus agresif berutang, ke depan bisa-bisa antara bunga utang dan anggaran perlindungan sosial plus subsidi, akan lebih besar bunga utang. Hal ini akan menciptakan overhang utang, situasi di mana pertumbuhan ekonomi suatu negara melambat karena utangnya cukup mahal.

Lebih lanjut, ia curiga tidak semua utang pemerintah untuk penanganan covid-19 seperti yang dikatakan Yustinus. Menurutnya, ada utang untuk pembiayaan proyek, belanja rutin, dan penerbitan utang baru untuk menutup kewajiban utang itu sendiri.

“Iya ada risiko tersembunyi utang yang harus dijelaskan ke publik, termasuk risiko pendanaan proyek yang sebelumnya skema B2B kemudian melibatkan APBN, itu juga risiko utang,” kata Bhima.

Ia pun mengatakan ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menekan beban utang. Pertama, menaikkan rasio pajak terutama pengenalan windfall tax atau pajak tambahan di sektor berbasis komoditi.

Kedua, kelola belanja secara prudent, terutama untuk melakukan perencanaan infrastruktur secara matang dan berani memberhentikan mega proyek yang dianggap memboroskan anggaran. Ketiga, dorong industri manufaktur. Sebab, kontribusi manufaktur yang besar bagi ekonomi dan penerimaan pajak bisa tekan rasio utang.

Keempat, cari alternatif pembiayaan kreatif, misalnya debt for climate atau pengurangan beban pokok utang melalui program lingkungan. Kelima, tekan porsi SBN dari total utang karena bunga SBN cenderung mahal dibanding loan atau pinjaman.

Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan memang ada banyak indikator yang bisa dipakai untuk menilai utang sebuah negara apakah masih sustainable atau justru sudah ‘lampu kuning’.

Dari semua indikator tersebut, sebagian bisa saja memberikan justrifikasi positif, sebagian justru sebaliknya.

Namun, menurutnya ada dua sudut pandang yang jauh lebih penting. Pertama, perbandingan besaran utang dengan kemampuan membayarnya. Kedua, perbandingan besaran utang dengan daya ungkit utang tersebut terhadap ekonomi nasional.

Dalam perspektif pertama, Ronny sepakat dengan pemerintah bahwa rasio utang terhadap PDB masih jauh di bawah negara lain, apalagi negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris, Jerman, atau negara berkembang dengan ekonomi yang dinamis seperti China atau Brazil.

Dengan kata lain, besaran utang RI dibanding dengan besaran perekonomian nasional masih bisa dibilang wajar. Terlebih, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan ULN boleh dilakukan hingga batas maksimum rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen.

Namun dari perspektif kedua, besaran utang Indonesia tidak proporsional dibanding daya ungkitnya terhadap perekonomian nasional.

“Pertumbuhan utang yang sangat cepat berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang standar, yakni 5 persen. Alhasil, rasio utang terhadap PDB bergerak sangat cepat dari akhir 2014 yang di bawah 30 persen, dalam waktu 8 tahun sudah hampir 40 persen terhadap PDB,” kata Ronny.

Ia menilai jika pola ini dipertahankan, maka dalam waktu sepuluh atau maksimal dua puluh tahun ke depan, batas konstitusional 60 persen akan tersentuh. Lalu, mau tak mau aturannya harus direvisi agar tetap bisa berutang dengan pola yang sama.

Risiko lainnya, kata Ronny, pertumbuhan utang yang bergerak lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi, pada ujungnya juga akan bergerak lebih cepat dibanding pertumbuhan revenue atau pendapatan negara.

Dengan begitu, anggaran negara akan lebih banyak tergerus oleh porsi cicilan utang. Hal ini, akan mengurangi anggaran pelayanan dasar dan anggaran pembangunan. Selanjutnya, satu persatu subsidi akan dicabut untuk menyikapinya.

Karena itulah mengapa membandingkan besaran utang dan pertumbuhan utang dengan raihan ekonominya harus dilakukan.

Kalau pertumbuhan utang cepat, tapi pertumbuhan ekonomi juga tinggi, maka revenue atau pendapatan nasional juga akan membesar secara cepat.

“Maka kemampuan bayar utang tetap terjaga di satu sisi dan rasio utang terhadap PDB juga tetap terjaga di level yang sama setiap tahun, karena PDB juga tumbuh tinggi,” imbuh Ronny.

Ia pun menekankan point intinya adalah ke mana utang tersebut dibelanjakan. Apakah ke sektor produktif atau justru terpakai untuk biaya rutin dan operasional?

Kalau ke belanja produktif, maka semestinya pertumbuhan ekonomi juga tinggi. Tapi kalau terpakai untuk anggaran rutin dan belanja non produktif, maka wajar pertumbuhan utang justru tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *