DPR Sahkan UU Kesehatan, Negara Tak Tanggung Lagi Biaya, Ketua PPNI: Pelayanan Terancam Kacau Balau

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023.

Pengesahan itu melalui pengambilan keputusan tingkat II yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 11 Juli 2023.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pengesahan tersebut mendapat penolakan dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia ( PPNI ) menurut Ketua PPNI, Harif Fadhillah PPNI dan organisasi profesi menganggap RUU Kesehatan dibuat secara sembunyi-sembunyi. Sebab hingga hari ini pihaknya tidak mendapatkan draf resmi dari RUU Kesehatan Omnibus Law itu.

“Sampai hari ini kami tidak mendapatkan akses terhadap draf yang dibahas. Kami tenaga kesehatan, khususnya perawat yang (jumlahnya) 60 persen dari seluruh jumlah nakes adalah stakeholder yang akan menjalankan UU itu bila sudah jadi,” kata Harif.

Harif merasa bahwa ia dan jajarannya adalah pihak yang penting dalam RUU ini sehingga harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi di dalam pembuatannya.

“Kami ingin ada partisipasi dan dalam berbagai kesempatan. Kami melakukan lobi, advokasi, audiensi, dan sebagainya terhadap aspirasi kami. Tapi belum ada yang diterima aspirasi kami itu,” ujarnya.

Berikutnya adalah isu menghilangkan mandatory spending atau anggaran belanja yang sebelumnya sudah diatur UU. Mandatory spending semula 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan 10 persen anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

“Apa yang terjadi kalau dihilangkan? Hari ini tenaga perawat itu lebih dari 80 ribu orang bertatus honor dan sukarelawan. Yang di daerah bahkan negara tidak mampu memberikan kompensasi untuk kerja mereka di daerah terpencil,” paparnya.

Menurutnya, jika mandatory spending dihilangkan situasi akan semakin parah. “Tidak mendapat kejelasan bagaimana mereka dibayar, sementara mereka sudah mengabdi puluhan tahun, belasan tahun kepada faskes milik pemerintah,” tambah Harif.

Menghilangkan mandatory spending dapat membuat para tenaga honor diberhentikan. Sementara di daerah-daerah jumlah PNS-nya lebih sedikit.

Hal ini dapat berpengaruh pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat, ujar Harif. Ketiga, menurutnya, mengesahkan RUU Kesehatan sama dengan mencabut UU No 38 Tahun 2014.

UU ini tentang sistem keperawatan yang menyangkut pengembangan kapasitas perawat Indonesia yang sudah dikembangkan sejak lama. Secara umum, UU ini berisi perkembangan kompetensi, menjaga mutu dan praktik perawat.

“Jika dicabut tanpa ada pasal pengganti yang spesifik bagi perawat, maka dampaknya adalah pada pengaturan delegasi blanko nanti. Kita tidak tahu aturan seperti apa yang akan dibuat oleh pemerintah nanti,” tutupnya.

Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan seluruh hak-hak bagi tenaga kesehatan (nakes) tidak akan hilang dalam UU Kesehatan yang telah disahkan DPR.

“Hak-hak bagi Nakes yang sebelumnya telah dicantumkan dalam UU Kesehatan tidak akan hilang dalam UU ini. Justru hak-hak bagi nakes akan ditingkatkan dalam hal pemberian kesejahteraan demi kelangsungan hidup yang lebih baik lagi,” kata Puan.

Mantan Menko PMK ini menyebut, UU Kesehatan juga memperhatikan perlindungan hukum bagi pelaku pelayanan kesehatan.

Menurut Puan, hal itu didasari karena banyaknya tindakan hukum yang diterima oleh Nakes namun tidak ada payung hukum yang melindunginya.

“Saya mengapresiasi Nakes yang merupakan mitra strategis dalam memenuhi hak dasar masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk itu, nakes perlu mendapatkan perlindungan hukum yang layak,” ujarnya.

UU inisiatif DPR yang didukung oleh pemerintah itu juga mengusung sejumlah manfaat. Beleid ini disebut akan membentuk masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia.

“UU Kesehatan ini bertujuan memperkuat sistem kesehatan negara dan meningkatkan kualitas kesehatan serta kesejahteraan masyarakat,” ucap Puan.

DPR dipastikan berkomitmen untuk mengawal diterapkannya Omnibus Law UU Kesehatan secara adil. Puan merinci, mulai dari perlindungan hukum bagi nakes maupun pasien, sampai pada hal peningkatan kualitas pelayanan sistem kesehatan.

“Kami di DPR akan mengawal implementasi setiap peraturan yang ada dalam UU Kesehatan. Ini semua demi meningkatkan kualitas kesehatan nasional, melindungi masyarakat dan mensejahterakan para petugas kesehatan,” ucapnya.

Lebih lanjut DPR menyadari UU Kesehatan menimbulkan pro dan kontra. Meski begitu, Puan menyebut pembahasan UU Kesehatan telah memenuhi unsur keterbukaan, serta dibahas secara intensif dengan prinsip kehati-hatian.

Puan juga memastikan pembahasan UU Kesehatan telah melibatkan partisipasi publik, termasuk dari kalangan dunia kesehatan dan medis. Hal ini demi memastikan agar UU dibuat secara komprehensif.

“Dalam pembahasan UU Kesehatan, DPR telah melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk dari masyarakat secara umum, sebagai bentuk keikutsertaan publik di penyusunan UU ini. Tentunya partisipasi publik telah memperkaya wawasan untuk penyempurnaan konsepsi UU Kesehatan,” katanya.

Dia menyebut, konsultasi publik telah dilakukan DPR dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat, organisasi profesi, akademisi, asosiasi penyedia layanan kesehatan, lembaga keagamaan dan lembaga think tank.

Puan menyebut, UU Kesehatan juga telah melalui tahap sosialisasi dan konsultasi publik yang dilakukan oleh Pemerintah.

“DPR RI bersama Pemerintah sangat mempertimbangkan pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan demi menjaga keterbukaan dan partisipasi bermakna (meaningfull participation) dari masyarakat, yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk diberikan penjelasan,” ucapnya.

“Masukan-masukan dari berbagai elemen masyarakat tersebut tentunya telah diakomodasi dan dipertimbangkan secara seksama di dalam UU tentang Kesehatan ini,” pungkas Puan Maharani.

Kebutuhan Dokter

Terpisah, seusai meresmikan Tol Cisumdawu, Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan nantinya dapat memperbaiki reformasi bidang pelayanan kesehatan di Tanah Air.

“Undang-Undang Kesehatan kita harapkan setelah dievaluasi dan dikoreksi di DPR saya kira akan memperbaiki reformasi di bidang pelayanan kesehatan kita,” ujar Jokowi.

Selain itu, Kepala Negara juga berharap dengan adanya Undang-Undang Kesehatan tersebut akan dapat mendorong pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan yang masih kurang di dalam negeri.

“Kita harapkan kekurangan dokter bisa lebih dipercepat, kekurangan spesialis bisa dipercepat, saya kira arahnya ke sana,” ucapnya.

Sementara itu, terkait RUU tentang Desa yang juga masih dalam proses pembahasan di DPR, Presiden Jokowi menyebut bahwa pemerintah akan memberikan pandangan pada saatnya nanti.

“Karena masih dibahas di DPR untuk Undang-Undang Desa, jadi pertimbangan dan pandangan dari pemerintah nanti ada saatnya akan kita berikan,” kata Presiden.

Senada dengan Presiden, Kepala Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dr Ngabila Salama MKM, menyebut keberadaan RUU Kesehatan bisa melahirkan banyak dokter spesialis karena adanya hospital based.

“Selain yang selama ini berbasis universitas dan AHS yang akan terus ada. Hospital based ini akan gratis, sekolah spesialis, peserta tetap dibayar selama sekolah karena mengabdi di RS pendidikan, dan mencegah bullying,” papar Ngabila.

Ditambah lagi lanjut Ngabila perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan bakal terjamin. Tidak hanya itu selama pendidikan, tenaga kesehatan bisa menghentikan pelayanan ke pasien jika ada ancaman verbal.

“Dan penyelesaian sengketa diutamakan mediasi atau di luar pengadilan, narasi kesembuhan sudah dihapuskan, menambah perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan,” ujar Ngabila.

Berikutnya kesejahteraan tenaga kesehatan bakal ditambahkan. Diantaranya berupa insentif, infrastruktur, beasiswa, pemerataan mutu layanan kesehatan, dan sebagainya.

“Kesehatan masyarakat diutamakan dengan pilar pertama yaitu transformasi layanan primer,” ujarnya.

Tidak hanya itu kelebihan adanya UU Kesehatan yang sudah disahkan terkait surat tanda registrasi (STR) berlaku seumur hidup tanpa perlu perpanjangan lagi. Izin praktik tenaga kesehatan juga gratis lima tahun sekali tanpa membayar apa pun.

“Termasuk iuran keanggotaan organisasi profesi menggunakan aplikasi transparan oleh Kementerian Kesehatan RI,” ujar Ngabila.

Terakhir, organisasi profesi akan independen dan tidak diatur pemerintah (tidak dibunyikan) dalam RUU ini.
Serta akan mandiri menjadi mitra pemerintah dalam hal kesehatan.

“Namun tetap bisa menjaga marwah dan kebaikan-kebaikan untuk tiap anggotanya,” kata Ngabila.

Politikus Partai Demokrat yang juga anggota Badan Legislatif, Santoso menyebutkan bahwa RUU Kesehatan menghapus perjuangan SBY dalam mandatory spending atau pengeluaran belanja negara dalam kesehatan.

“Dalam RUU Kesehatan Omnibus ini, mandatory spending yang sejak awal diperjuangkan Partai Demokrat di era Pak SBY saat ini dihapus. Maka rakyat tidak akan mampu lagi berobat dengan biaya negara. Apakah kita setuju jika anggaran itu tidak dispending-kan 10 persen,” kata Santoso.

Menurutnya hal itu menjadi dasar pihaknya menolak RUU Kesehatan karena tidak memberikan jaminan kepada rakyat. “Itulah salah satu kita menolak ini. Karena tidak memberi jaminan kepada rakyat untuk sehat dengan jaminan dari pemerintah,” tegasnya.

Menurutnya Indonesia sebagai negara berkembang sangat butuh mandatory spending untuk pembiayaan kesehatan.

“Amerika saja sebagai negara maju, pemerintahnya masih memberikan program untuk kesehatan bagi rakyatnya. Apalagi kita sebagai negara yang masih berkembang ini. Undang-Undang ini kita tolak karena kita punya dasar,” jelasnya.

Kemudian Santoso juga menyinggung soal sudah tidak adanya lagi Undang-Undang keperawatan, kebidanan, di RUU Kesehatan.

“Bahwa setiap profesi dilindungi oleh Undang-Undang. Ada Undang-Undang keperawatan, kebidanan, di RUU ini Undang-Undang ini ditiadakan. Berarti semua tenaga kesehatan tidak dilindungi oleh negara. Itu harus kita tolak karena saudara (Tenaga Kesehatan) garda terdepan untuk kesehatan masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya jika Undang-Undang dimana profesi kesehatan ditiadakan, maka profesi tersebut tidak dihargai oleh negara.

“Dan posisi saudara akan sulit juga bekerja untuk rakyat. Berikutnya, Undang-Undang ini, atau RUU ini, tampaknya lebih pro kepada oligarki, pengusaha-pengusaha asing, untuk bangun kesehatan di negeri kita,” ujarnya.

Santoso juga mendukung rencana organisasi profesi tenaga kesehatan (nakes) bakal mengajukan gugatan judicial review RUU Omnibus Law Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Karena Demokrat bersikap menolak, jika ini disahkan, maka cara konstitusinya adalah melalui judicial review. Maka kami akan mendukungnya,” kata Santoso.

Selain itu, Santoso juga merespons soal rencana sejumlah organisasi profesi nakes yang bakal mogok kerja, jika RUU Kesehatan disahkan DPR.

“Jika itu menjadi jalan terbaik agar para nakes terlindungi, terproteksi dengan adanya UU. Tidak seperti UU saat ini, menurut saya menjadi hak mereka juga untuk melakukan itu,” ucap Santoso.

“Karena existing yang ada ini kan ada UU keperawatan, tentang bidan, ini ditiadakan di UU ini tak hanya pasal penyebutan saja,” sambungnya.

Meski demikian, Santoso mengatakan, sebelum mogok kerja nakes dilakukan. Pemerintah harus berpikir bahwa profesi kesehatan harus diakomodir juga.

“Jadi jangan atas nama kekuasaan, atas nama rakyat keseluruhan, tapi mengorbankan orang yang bekerja untuk kesehatan, untuk rakyat,” kata Santoso.

“Mereka sebagai warga negara memiliki hak juga untuk dilindungi, untuk diakomodir profesinya,” sambungnya.

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *