Hikmah Pagi: Dusta Kepada Istri, Bolehkah?

Ilustrasi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



HAJINEWS.ID- Dusta pada prinsipnya dilarang. Tapi ada tiga jenis dusta yang dibolehkan, di antaranya adalah kepada dusta suami kepada isterinya. Jika benar demikian, dalam hal apa dibolehkan?

Dalam riwayat Tirmidzi dan Ahmad dengan sanad yang shahih lighairihi dari hadis Asma` bintu Yazid, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

لَا يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ : يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا ، وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ ، وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak halal dusta selain dalam tiga perkara: seorang suami berbicara pada istrinya demi keridhaannya, dusta dalam perang, dan dusta untuk mendamaikan manusia.“ (HR. At-Tirmidzi no. 1939, Ahmad [6/454, 459, 460], di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)

Demikianlah, keindahan syariat Islam agar kehidupan pasutri senantiasa harmonis dan tumbuh rasa cinta di antara keduanya. Keringanan berdusta untuk kebaikan tentunya ada batasan-batasannya, bukan sembarang dusta.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “Adapun maksud dusta di sini adalah dusta untuk menampakkan kecintaan dan janji, serta yang semacam itu dari apa yang tidak biasa dilakukan. Adapun, menipu untuk menghindari kewajiban masing-masing atau untuk mengambil hak milik pihak lain adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin.” (Syarah Muslim, 5/545)

Banyak interaksi sehari-hari di antara pasutri yang selayaknya mereka mampu berlapang dada menerima kondisi pasangannya dengan besar hati. Ketika suami memberikan hadiah dengan niat agar istrinya surprise dan bahagia, maka selayaknya istri mampu mengapresiasi keinginan pasangan dengan wajah berbinar sembari mengatakan, “Jazaakallahu khairan, wahai suamiku, semoga Allah membalas kebaikan antum”.

Meski hati kecil istri merasa kurang suka dengan pemberian itu, tetapi tetap ia menunjukkan ekspresi gembira. Inilah buah indah dari mencoba terus untuk membuat pasangannya ridha. Begitu pula, saat masakan istri terasa ‘aneh’ di lidah. Suami yang berperasaan lembut tidak serta merta marah dan mengkritik dengan pedas sesuatu yang membuat istri terluka hatinya.

Pujilah dengan kata-kata yang membangkitkan antusiasme istri untuk termotivasi menjadi ‘koki keluarga’, misal dengan mengatakan, “masakan ummi hebat”. Dorong motivasi pasangan untuk selalu meningkatkan keterampilan, seperti memberi saran dengan bahasa santun, misal dengan mengatakan, “Mi, abi ingin masakan yang sedikit asin dan tidak terlalu pedas”.

Oleh karena itu, dengan komunikasi dua arah yang dilandasi cinta dan harapan membahagiakan pasangan, niscaya ‘dusta-dusta’ indah di atas akan berbuah manis, kedekatan hati lebih akrab, rasa menghargai pasangan semakin bersemi, dan insya Allah di antara keduanya tumbuh sifat berbaik sangka.

Al-Khathabi berkata : “Dustanya seorang suami (yang dibolehkan) terhadap istrinya adalah menjanjikan sesuatu kepadanya, memberikan harapan dan menampakkan rasa cinta yang lebih dari sebenarnya kepadanya dengan tujuan untuk melanggengkan jalinan cinta dan meluruskan akhlaknya. ” (‘Aunul Ma’bud, 13/263)

Realitanya, padatnya kesibukan dengan berbagai aktivitas masing-masing, terkadang timbul rasa jenuh karena di antara kebiasaan dan fitrah manusia adalah bosan terhadap rutinitas. Saat kegundahan melanda, atau jiwa letih, badan terasa lelah, ada baiknya pasutri saling rileks sementara. Saling menghibur diri dengan memuji pasangannya dengan syair-syair indah yang menggugah jiwa. Tujuannya agar kemesraan di antara pasutri tetap lestari dan sedini mungkin menghilangkan prasangka buruk atau ganjalan-ganjalan yang suatu saat mungkin bisa menjadi bara yang dahsyat.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Hiburlah hati, carilah untuknya mutiara hikmah yang menarik, karena hati suka jenuh sebagaimana​ jenuhnya tubuh. “ (Jami’ Bayan al-‘Ilmi Wa Fadhlihi, dinukil dari Hilyatu Tholibil Ilmi, hlm. 64)

Semoga pasutri yang ikhlas meniti mardhatillah (keridhaan Allah) mampu mengelola perasaannya, bisa menata lisannya, dan beramal shalih dengan tetap mengedapankan petunjuk-Nya. Tidak bermudah-mudahan dalam mengaplikasikan keinginan ‘dusta’ serta melakukannya sekedarnya sesuai kebutuhan.
Wallahu a’lam.
**
Referensi :
1. Romantika pergaulan suami istri (terjemah), Syaikh Musthofa al-‘Adawi, Pustaka al-Haura, Media Hidayah, Yogyakarta, 2002.
2. Manajemen hidup bahagia (terjemah), Adil bin Muhammad Alu Abdul ‘Ali, Daarussunnah, Jakarta, 2011.

 

(Sumber: Muslimah.or.id/fur)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *