Setiap Orang Bisa Hafal Al-Qur’an, kecuali yang tidak Mau

Setiap Orang Bisa Hafal Al-Qur’an
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Setiap Orang Bisa Hafal Al-Qur’an, kecuali yang tidak Mau

Oleh: DR. MOHAMMAD NASIH, M.SI., Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an MONASH INSTITUTE Semarang dan Planet NUFO Rembang.

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasûlullâh saw.: “Semua umatku bisa masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasûlallâh! Siapakah yang enggan?” Beliau saw. menjawab: “Barangsiapa yang mentaatiku, niscaya ia akan masuk surga, tetapi siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia enggan (untuk masuk surga).” (HR. Bukhari)

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pesan Rasulullah dalam hadits di atas saya jadikan analog dalam menghafal al-Qur’an. Hanya orang yang tidak mau saja yang tidak akan pernah hafal. Sebab, menghafalkan al-Qur’an itu mudah, bukan hanya karena secara natural bahasa Arab terbukti paling mudah dihafalkan, tetapi memang dimudahkan oleh Allah (al-Qamar: 17, 22, 32, 40). Dan sudah terbukti, bukan hanya orang dewasa yang hafal, tetapi bahkan anak-anak. Bukan hanya orang Arab, tetapi juga ‘ajam (non-Arab). Orang dengan kapasitas intelektual biasa-biasa pun ternyata bisa.

Karena kemudahan itu, mestinya setiap muslim hafal al-Qur’an. Ini mungkin terasa agak berlebihan. Sebab, di kalangan sahabat pun hanya beberapa gelintir orang saja yang hafal. Namun, itu juga bisa disangkal karena akses kepada teks al-Qur’an saat itu masih sangat sulit. Tidak semua sahabat bisa sehari-hari bersama Nabi, sehingga bisa terus mendengar beliau atau sahabat di dekatnya membaca al-Qur’an. Berbeda dengan sekarang yang antara kita dengan teks al-Qur’an sejatinya sudah tidak lagi terpisah, karena ia telah menyatu dengan HP kita yang hampir 24 jam berada di tangan atau kantong baju. Membaca al-Qur’an jadi semudah membaca pesan pendek di WA.

Jika tidak semua muslim, minimal para intelektual muslim. Setidaknya yang menjadi para pengajar di institusi-institusi dengan embel-embel Islam. Sebab, di dalam institusi itu tentu saja semua karakter yang harus ditampilkan adalah yang qur’ani. Dimulai dengan membangun paradigma yang tentu saja harus bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sementara untuk membangun karakater yang qur’ani, diperlukan pemahaman yang utuh kepada seluruh ayat al-Qur’an. Padahal memahaminya secara utuh, hampir tidak mungkin kecuali dengan menghafalkannya. Sebab, dengan seluruh ayat ada di dalam dada, kita akan bisa merenungkannya kapan saja, di mana saja, sambil ber-apa saja, berdiri, duduk, bahkan berbaring dan dalam keadaan hampir ngantuk. Menjelang tidur dan saat baru saja tersadar darinya dalam keadaan gelap pun, perenungan bisa kita lakukan. Bahkan perenungan dalam gelap, saat mata masih terpejam, seringkali menghasilkan pemahaman yang sangat kritikal dan tajam.

Namun kenapa juga lebih banyak di kalangan orang-orang yang dikenal sebagai guru atau pengajar di lembaga pendidikan Islam tidak hafal al-Qur’an? Jawabannya nyaris hanya satu: mereka tidak mau. Mengapa bisa demikian?

Bukan hanya belasan kali, tetapi puluhan kali saya didatangi oleh teman, senior, dan berbagai kalangan terutama yang bergelut di bidang pendidikan yang sedang ingin membangun program tahfidh, untuk berbagi tentang cara menghafalkan al-Qur’an secara cepat. Rerata mereka ingin cara-cara yang instan. Tentu saja, kemudian dengan ringan saya bagi saja pengalaman itu. Secara umum sangat sederhana. Jika bacaan sudah bagus, bisa langsung memulai dengan terlebih dahulu benar-benar mengetahui makna literal teks ayat-ayat yang akan dihafal. Sebab, memahami makna literalnya, akan memudahkan untuk menyambungkan antara satu kata dengan kata lain dalam satu ayat, terutama yang panjang. Juga satu ayat dengan ayat lain, terutama yang bertutur tentang kisah. Mengetahui makna literal teks akan memudahkan untuk membangun “jembatan keledai” sehingga semuanya bisa tersambung secara utuh dalam ingatan. Sekedar contoh: “Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai Ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) …. sebelas bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (Yusuf: 4). Orang yang memiliki kecerdasan linguistik normal saja, tidak perlu di atas rata-rata, akan langsung bisa menebak bahwa kata yang paling lumrah untuk mengisi titik-titik di atas adalah “melihat”. Dengan mengetahui bahasa Arab kata melihat, maka akan menjadi mudah menghafalkan satu ayat utuh itu.

Terutama bagi orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia yang aslinya adalah Melayu. Sebab, sangat banyak kata dalam bahasa Melayu yang sesungguhnya merupakan serapa dari bahasa Arab yang juga digunakan oleh al-Qur’an. Jumlah kata dalam al-Qur’an hanya 77.349. Dan itu sesungguhnya berasal dari (saya bisa salah, karena baru sekali menghitung dengan bantuan kitab Fath al-Rahman) hanya 2728 kata dasar. Jika konsisten menghafalkan 10 kata per hari, maka dalam hitungan bulan akan selesai. Apalagi sebagaimana telah disebutkan tadi, ada banyak kata dalam al-Qur’an yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia.

Bagi yang pernah belajar (agak serius) di pesantren atau madrasah, ini adalah hal yang sangat sepele. Dan biasanya mereka menjadi sangat antusias, karena uji coba yang saya berikan saat berdialog itu dengan mudah mereka lakukan. Menghafal al-Qur’an benar-benar sangat mudah. Mereka seolah baru sadar tentang kemudahan itu, karena dulu, berada dalam mental block bahwa menghafal al-Qur’an itu susah, apalagi kalau melihat kitab ini setebal 604 halaman. Namun, setelah dihitung, kalau dihafalkan dengan konsisten, jika setiap hari 1 halaman saja, hanya perlu 600 hari. Sebab, mereka pasti sudah punya hafalan lebih dari 4 halaman; al-Fatihah (1), 6 ayat awal al-Baqarah (1), ayat kursi dan akhir surat al-Baqarah (1, terutama yang berlatar belakang NU), dan 3 surat terakhir dalam al-Qur’an yang biasanya dijadikan langganan untuk shalat, yaitu: alkhlash dan al-Mu’awwidzatayn (1). Itu berarti, untuk bisa hafal keseluruhan ayat al-Qur’an perlu tidak sampai dua tahun, hanya 20 bulan saja. Jika konsisten 2 halaman, bahkan hanya perlu 10 bulan saja. Hitungan itu membuat pikiran mereka seolah baru terbuka, bahwa ternyata tidak perlu waktu lama sampai bertahun-tahun.

Agar hafalan mereka benar-benar bisa diukur dengan konkret, biasanya saya memberikan batas minimal yang harus dihafal, dua halaman per hari. Tidak sedikit yang menyatakan mudah dengan target itu.

Untuk lebih memudahkan, biasanya saya menyarankan surat yang berisi kisah sederhana, bukan yang berisi tentang konsep-konsep teologis yang sulit dibayangkan secara jelas dalam waktu singkat. Pilihan saya jatuh kepada surat Yusuf, al-Qashash, atau Thaha. Yang terakhir ini karena ayatnya pendek-pendek tetapi terangkai dalam satu surat yang panjangnya masuk dalam kategori pertengahan, karena nyaris setengah juz (9,5 halaman). Memulai dengan yang paling mudah, saya harapkan akan memberikan lecutan tersendiri. Ini soal efek psikologis.

Beberapa hari pertama setelah kesepakatan itu, biasanya saya menghubungi mereka menanyakan capaian hafalan yang telah kami targetkan. Tidak ada yang mengalami kesulitan. Bahkan beberapa melampaui target. Hari pertama begitu. Demikian pula hari kedua dan ketiga. Hari berikutnya, masalah mulai muncul. Rerata karena persoalan kebutuhan dan pekerjaan harian yang dijadikan sebagai alasan. Ada yang harus mencari dan menunggui tukang membetulkan genteng, mengurus anak yang sedang rewel, dan berbagai alasan lainnya. Jika sudah demikian adanya, menghafalkan al-Qur’an sudah tidak jadi prioritas.

Jika sudah menjadikan menghafal al-Qur’an sebagai prioritas, maka bahkan kekuatan tubuh akan menyesuaikan. Tidak ada bedanya dengan bekerja atau belajar yang lainnya yang kita memiliki target keberhasilan capaian. Jika sedang memiliki target tinggi, maka seluruh daya, baik fisik, mental, maupun pikiran akan tercurahkan. Haus dan lapar terlupakan. Kelenjar adrenalin bekerja dengan optimal, sehingga tidak ada mengantuk dan kelelahan. Yang ada hanyalah semangat untuk melampaui target. Makin lama akan makin mudah karena hafalan makin kuat dan lisan sudah makin terbiasa melafalkannya. Inilah yang disebut dengan malakah (Indonesia: melekat). Seperti melafalkan al-Fatihah sudah tidak perlu daya pikir lagi, karena seolah otak berada di atas bibir. Mau menghafal dengan kesungguhan? Pasti bisa. In syaa’a Allah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *