Mabrurkah Ibadah Kita?

mabrurkah ibadah kita
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh HM. Sukiman Azmy

Bupati Lombok Timur, Ketua IPHI NTB

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

SATU persatu jamaah haji  menuruni tangga pesawat bertingkat dan berbadan lebar yang memuat empat ratus lima puluh orang dan  barang bawaan mereka. Tidak puas dengan hanya tas tentengan yang resmi dari maskapai penerbangan, rata-rata tas itu sudah beranak pinak. Didepan dada dengan pegangan terkalung dileher ada tas paspor yang sudah menggelembung, di pundak kiri tersandang tas gantung yang padat berisi dan  tangan kanan menjinjing tas tentengan yang sudah tidak berbentuk lagi karena isinya sudah kepadatan.

Tertatih-tatih jalan mereka dengan barang bawaannya sehingga terkadang para pejabat yang menyambut ikut menolong mengangkat barang-barang jamaah. Bahkan ada jamaah perempuan yang membawa barang-barangnya itu dengan selendang dan mengendongnya dibelakang punggung bagaikan baru kembali dari pasar tradisional. Meskipun berat, semuanya berwajah sumringah tersenyum cerah, kembali ke tanah air dalam keadaan sehat walafiat, dan sudah tentu berharap mabrur karena “Alhajjul mabrur laisa lahu jaza’ illal jannah, Sabda Rasulullah Saw.

Perubahan sifat dan sikap.

Jika dihitung rata-rata setiap orang berbobot lima puluh kilogram dan barang bawaan masing-masing tiga puluh kilo setiap orang, maka pesawat itu telah mengangkut tiga puluh enam ton, diluar avtur,  air, makanan dan lain-lain untuk keperluan penumpangnya selama perjalanan yang cukup panjang itu. Hal yang tidak pernah terbayangkan puluhan tahun  lalu ketika jamaah haji Indonesia masih menggunakan kapal laut.

Perjalanan yang dulu ditempuh hampir   satu bulan melalui jalur laut itu, kini hanya delapan jam setelah lepas landas, jamaah sudah tiba di tanah air. Subhanallah, subhanalladzi sakhkharalana hadza wama kunna lahu muqrinin, wa inna ila rabbina lamun qalibun”.  Dengan tidak menghiraukan sekelilingnya, penuh haru mereka sujud syukur,  walaupun barang bawaan masih tergantung dipundak  atau dalam gendongan, sementara teriakan para penjemput terdengar hiruk pikuk menyebut nama jamaah yang dijemputnya.

Mereka telah kembali ditengah keluarga, ditengah masyarakat yang selama empat puluh hari ditinggalkannya. Adakah perubahan dalam sikap dan perilaku antara sebelum mereka berangkat dengan setelah mereka kembali ?.

Dalam rumusan kata yang sederhana Ketua Umum PBNU Dr. KH. Agil Siradj menyatakan bahwa   tolok ukur dalam menilai mabrur atau tidaknya haji seseorang adalah “adakah dia melakukan apa yang telah dilakukannya selama menunaikan ibadah haji ?”.

Ketika masih berada di Tanah Suci, satu jam sebelum azan berkumandang,  jamaah haji sudah berada di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi sambil membaca Al Qur’an menunggu waktu shalat jamaah tiba, bahkan pada jam satu dinihari sudah berada di masjid untuk shalat malam, wirid dan berdo’a. Hatinya gampang terenyuh dan seketika tangannya merogoh saku atau membuka dompet untuk bersedekah. Dia dermawan dan sangat suka memberi pertolongan kepada sesama. Senyumnya selalu tersungging dan senantiasa ramah menyapa, silaturrahmi terjaga baik dan tidak pernah saling iri apalagi dendam. Tidak pernah dijumpai rafas, fusuq dan jidal dalam kehidupan sehari-harinya.

Aktifitas mata, telinga, hidung, mulut, tangan dan kakinya terjaga dengan baik. Kemesraan  antara suami isteri sangat nampak, pergi kemana-mana bersama, makan minum berdua, saling bantu dalam mengerjakan aktifitas kesehariannya. Nah, adakah sikap dan perilakudalam keseharian  itu dilakukan kembali setelah tiba di lingkungan semula ketika belum berangkat ke tanah suci ?

Peduli, santun dan gairah beribadah.        

Miftah Farid, ulama terkenal dari Bandung itu menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang mabrur hajinya antara lain adalah; Dia menjadi gemar melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dan amal saleh lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan2 yang makruh dan tidak bermanfaat. Dia aktif berkiprah dalam memperjuangkan, mendakwahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh  dalam melaksanakan amal makruf nahi mungkar. Dia akan cepat melakukan taubat apabila terlanjur melakukan kesalahan atau dosa, dia tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktifitas berdosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa.

Dia akan sungguh-sungguh dalam memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk  menolong orang lain dalam menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimin.  Dia akan malu kepada Allah Swt untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarangNya. Dia ber semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuannya terutama ilmu-ilmu Islam, dan sifat serta sikapnya menjadi lebih terpuji.

Dengan demikian, sesuai dengan asal kata mabrur yaitu “al-birru” (kebaikan), atau sebagaimana kata Abu Bakar Jabir al Jazaari dalam Minhajul Muslimin yaitu; haji mabrur ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal saleh dan kebajikan-kebajikan. Atau menurut jawaban Rasulullah Saw ketika ditanya apakah mabrur itu; “memberi makan orang yang lapar dan tutur kata yang santun”. Dengan demikian tentu gampang sekali menilai kemabruran haji seseorang; “jika sekembalinya  itu tidak punya kepedulian sosial yang tinggi, tidak santun dalam bertutur kata, dan tidak ada peningkatan gairah beribadah”, maka jangan pernah berharap dia akan mendapatkan kemabruran.

Wallohu a’lamu bishshawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *