Indonesia Berpacu dengan Covid-19, Bisakah Kita Menjadi Pemenangnya? (SERI EDUKASI 10)

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



#Pastikan Tracing Terukur dan Test Total Masif

#Menkes Budi : “Jangan Daerah Pengen Hijau, Test Disedikitin”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

 

Oleh : Dr.Abidinsyah Siregar,DHSM,MBA,MKes : Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Deputi BKKBN 2014-2017/ Komisioner KPHI 2013-2019/ Sekretaris KKI 2006-2008/ Kepala Pusat Promkes Depkes RI 2008-2010/ Ses.Itjen Depkes 2010-2011/ Direktur Bina Yankes Tradkom Kemenkes 2011-2013/ Alumnus Public Health Management Disaster, WHO Searo, Thailand/ Mantan Ketua MN Kahmi/ Mantan Ketua PB IDI/ Ketua PP IPHI

Jakarta, Hajinews — Eskalasi kasus terkonfirmasi Covid-19 kali ini berbeda, selain ada faktor internal yang tidak semakin membaik, terjadi pula faktor eksternal dengan masuknya Virus Delta dari India yang sewaktu-waktu bisa melesat.

Memperhatikan Grafik Kasus Harian Covid-19 di Indonesia dari worldometers.info yang di publis WHO, sejak Februari 2020 hingga Juni 2021, telah terjadi fluktuasi naik ekstrim pada September 2020 hingga hampir menyentuh 5.000 kasus perhari. Kemudian menurun hingga 2.000an pada November 2020. Sejak itu hingga selepas libur Tahun Baru 2021 kasus terkonfirmasi covid-19 meroket hingga mendekati 15.000 kasus yang bertahan cukup lama hingga awal Februari 2021.

Bertepatan dengan dimulainya Vaksinasi Covid-19 secara Nasional, persisnya pada 13 Januari 2021 saat Bapak Presiden Jokowi menjadi orang pertama dari 181.5 juta yang akan di vaksinasi hingga tahun 2022, maka serentak dilakukan Vaksinasi tahap pertama untuk 3 komunitas prioritas. Sekalipun hasilnya pada kelompok Petugas public kurang optimal dan pada Kelompok Lansia sangat sedikit, dibawah 15%.

Namun demikian, efek Vaksinasi sepertinya berkorelasi dengan penurunan kasus Covid-19 secara Nasional hingga mencapai angka terendah kasus perhari menjadi dibawah 3.000 kasus pada pertengahan Mei 2021.

Melihat eskalasi yang begitu tinggi, dalam sebulan terakhir, jumlah kasus dengan cepat naik setiap minggunya menjadi 4.000, 5.000, 6.000 dan terus naik, hingga 2 hari terakhir ini sudah menembus 12.000 kasus dan hari ini sudah melewati 13.000 kasus. Tentu ini sangat mengkhawatirkan, Perlu tindakan cepat dan tepat.

Pertambahan kasus terkonfirmasi Covid-19 yang begitu cepat sehingga banyak laporan Daerah dengan status Zona Merah dan banyak pula dilaporkan kondisi Rumah Sakit yang penuh termasuk Wisma Atlet kemayoran yang memiliki 6.000 TT sudah ditingkatkan menjadi lebih 7.300 TT. Per 19 Juni 2021 sudah terisi lebih 6.000 pasien atau diatas 80%. Ini adalah Rekor tertinggi jumlah pasien yang sedang dirawat di RSDC Wisma Atlet.

 

KENAIKAN KASUS COVID-19 BANYAK SUMBERNYA

Kompas.com 19 Juni 2021 mengangkat sorotan media asing terhadap lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, Sejak awal banyak ahli menyatakan tentang rendahnya kedisiplinan masyarakat menjalankan protokol kesehatan.

Media Aljazeera mewawancarai sejumlah ahli dan menyimpulkan secara rinci dan spesifik sejumlah faktor sebagai pemicu lonjakan kasus sebagai ikutan dari mudik lebaran, yaitu : Tidak adanya kebijakan kesehatan yang kohesif (keserasian diantara stakeholders), Pengujian (Test) dan pelacakan (Tracing) yang tidak efektif, dan Pesan Pemerintah yang membingungkan.

Catatan media lain memperkirakan ada 5-6 juta orang melintas antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sekalipun ada pembatasan di bandara atau pelabuhan ferry pada 22 April sampai 24 Mei 2021.

Dr.Sitti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan Penyakit Menular Ditjen P2P Kemenkes yang juga Juru Bicara Covid-19 mengakui bahwa Perjalanan berperan dalam percepatan wabah.

Ahmad Utomo, seorang konsultan Biologi Molekuler antara lain mengatakan “terlalu banyak orang yang tidak mematuhi Protokol Kesehatan dan larangan bepergian, sementara Pemerintah memperburuknya dengan kegagalan berinvestasi dalam pengujian dan pelacakan”.

DR.Dicky Budiman, epidemiolog Indonesia yang tinggal di Australia, yang selalu mengingatkan dengan berbagai pernyataan, mengatakan apa yang terjadi saat ini adalah sebaran Varian Alpha dan mendominasi. Tetapi jika tidak ada kebijakan kohesif dan terpimpin hanya masalah waktu Varian Delta mengambil alih.

 

BAGAIMANA SEHARUSNYA MENGELOLA MANAJEMEN 3T

Lebih 10 dari 85 tulisan sejak Januari 2020 penulis dedikasikan mengingatkan akan tugas Pemerintah untuk memaksimalkan 3T. Tidak bisa berharap 3M oleh masyarakat serta merta berjalan lancar jika tugas Pemerintah dilihat tidak maksimal.

Masyarakat Indonesia yang paternalistik, selalu menantikan adanya “Bapak” sebagai teladan, yang mereka tunggu dan bisa melindungi. Sekalipun ini bisa menjadi perdebatan namun kita tahu masyarakat terbanyak sebahagian besar masih belum mengecap pendidikan dan berbudaya kesetaraan. Tetapi pengabaian aspek sosiologis ini, rasanya kita akan salah berharap banyak dari masyarakat.

Kepemimpinan dalam manajemen Wabah yang sifatnya Nasional harus mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Banyak peristiwa dadakan dalam setiap Bencana termasuk Wabah Penyakit. Semua menuntut pengambilan Keputusan yang cepat dan kuat tak tergoyahkan.

Jangan sampai terjadi setiap ada pelarangan selalu disusul dengan pelonggaran oleh lembaga yang lain. Cepat atau lambat, akan menggerus kepercayaan publik dan akhirnya mengentalkan kebandelan.

Kondisi ini sudah berulang diteliti oleh BPS maupun Balitbang Kemenkes dan secara sahih ditemukan adanya lebih 20% masyarakat yang sama sekali tidak peduli dan tidak takut dengan Virus Covid-19.

Mari kita mengamati 3T (Test, Tracing dan Treatment). Dari 3 Tugas Pemerintah ini boleh dikata T ketiga yaitu Treatment atau Pengobatan kasus, menunjukkan angka diatas kesembuhan diatas 90% sungguh membanggakan, sekalipun ada 647 Tenaga Kesehatan yang meninggal akibat Covid-19 (liputan-6, 28 Januari 2021) termasuk didalamnya 289 Dokter dan 27 Doktergigi (Data PB IDI, Januari 2021).

Asumsi sudah dibuat sejak awal bahwa akan ada akibat libur Natal/Tahun Baru dan kemudian liburan Lebaran yang diikuti dengan kenaikan kasus. Menurut pendapat sebahagian ahli, jika ada 1 (satu) kasus terkonfirmasi, maka selama masa inkubasinya 14 hari, kemungkinan sudah menularkan kepada puluhan orang lain.

Tracing atau Pelacakan kontak adalah proses identifikasi, menilai dan mengelola orang-orang yang terpapar untuk mencegah penularan lebih lanjut setiap hari selama 14 hari.

Harus ditemukan orang yang berjarak 1 meter selama setidaknya 15 menit dari kasus yang terinfeksi virus yang bergejala atau yang tidak bergejala. Orang-orang yang ditemukan harus pula di-isolasi selama 14 hari untuk memastikan orang-orang tersebut tidak terinfeksi. Hanya dengan cara sedemikian, rantai penularan bisa dihentikan.

Larangan mudik lebaran diberlakukan tanggal 6-17 Mei 2021 (dengan catatan sudah banyak yang mudik sebelum tanggal 6 Mei). Kemudian diberlakukan pula Adendum dalam SE No.13 Tahun 2021 yang mengatur pengetatan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) adalah H-14 yaitu tanggal 22 April-5 Mei dan H+7 (18-24 Mei 2021).

Dari Tracing ini, kita bisa melakukan pemetaan kasus dan sebarannya diseluruh Indonesia secara tepat, sehingga bisa melakukan tindakan awal dan tepat sasaran. Tidak terkesan kagetan, tiba-tiga terjadi lonjakan dahsyat (mematikan) dari kota satu ke kota lain, dan tragisnya tidak tahu batas awal dan batas akhirnya.

Menteri Kesehatan Ir.Budi Gunadi Sadikin, menegaskan bahwa penelusuran kontak (Tracing) yang masif justru membuat sebaran Covid-19 di daerah terpantau dan terkendali dengan baik.

Untuk Test sekalipun sudah mencapai lebih 18 juta Test, tetapi dalam ratio persejuta penduduk, maka capaian Indonesia masih relatif kecil, dibandingkan dengan banyak Negara lain yang sudah mulai mengendalikan sebaran virus Covid-19.

TABEL : BEBERAPA NEGARA DENGAN JUMLAH TEST PERSEJUTA PENDUDUK PERTANGGAL 18 JUNI 2021 (Dr.Abidin: Update WHO dari Worldometers.info)

Ada 2 (dua) masalah besar dan tersembunyi yang berasal dari Tracing/Pelacakan Kontak Erat yang lemah dan Pengujian/Test yang lambat, bisa berakibat lonjakan besar kasus, ke-tidakterkendali-an kasus yang diikuti kekacauan manajemen penanganan hingga ke pelayanan kesehatan yang kelebihan beban, dan tentu besarnya Anggaran yang habis tak terduga serta efek sosial ekonomi yang sangat buruk.

Beberapa Negara dalam table yang dipilih penulis, misalnya Amerika Serikat dan beberapa Negara di Erofah yang semula anggap enteng, setelah mengalami ledakan kasus yang sangat mengkhawatirkan, mereka kejar dengan Test/Pengujian, bahkan jumlah Test nya melampaui jumlah penduduk Negara (Amerika Serikat, Prancis, Rusia, Inggris, Spanyol, Chesnia dan juga Singapura) sehingga ada masyarakatnya yang ditest lebih dari sekali, sehingga mereka menemukan peta dan pola sebaran. Dalam tempo cepat mereka berhasil mengendalikan situasi, terlihat penurunan drastis jumlah kasus harian dan juga penurunan jumlah kematian harian.

Beberapa Negara lainnya, yang sejak mendengar adanya Wabah Virus Corona (belum diberi nama Covid-19) di Kota Wuhan, China pada akhir tahun 2019, sudah meng-antisipasi dengan sosialisasi kepada masyarakatnya bahwa Negara menutup seluruh pintu masuk manusia (Lockdown) dan melakukan fungsi karantina dengan ketat, sembari melakukan Test/Pengujian.

 

Lihatlah Negara China asal sang Virus hingga tanggal 18 Juni 2021, setelah lebih 500 hari, yang terkonfirmasi positif sebanyak 91.534 orang dengan pertambahan kemarin sebanyak 23 orang. Sedangkan kematian sebanyak 4.636 orang tanpa pertambahan.

Beberapa Negara yang bertindak cepat dan tepat, dan kini sukses bahkan sudah tidak memberlakukan kewajiban masyarakat untuk 3M atau 5M, seperti Australia, Vietnam, Selandia Baru, juga Laos yang kasusnya sangat kecil dan kematian Zero.

BISAKAH INDONESIA ?

Tinggal memadu pola Negara TELAT tapi begitu Sadar Salah bertindak CEPAT. Dan mengambil Pola Negara CEPAT dengan tindakan TEGAS di Lapangan bagi Pelanggar Protokol Kesehatan.

Pilihan ini tidak terhindari, karena Sumberdaya kita serba terbatas, bukan hanya terbatas jumlah fasilitas kesehatan, terbatas jumlah tenaga kesehatan kompeten, terbatas jangkauan wilayah karena luasnya negeri, terbatasnya anggaran dan tentu terbatasnya Kesempatan, sebelum tidak terkendali.

Jangan ada lagi “main-main” dalam mengelola Manajemen Wabah, seperti apa yang dikhawatirkan Menteri Kesehatan Budi.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyebut ada beberapa daerah yang sengaja memperkecil jumlah tes Corona harian agar temuan kasus di wilayahnya sedikit sehingga masuk ke zona hijau atau daerah risiko rendah COVID-19.

“Karena mengejar (zona) hijau, kuning, merah. Pengennya hijau, testingnya disedikitin,” kata Menkes Budi dalam siaran pers Selasa (18/5/2021).

Menkes mewanti-wanti aksi itu bisa membuat meledak terlebih dengan ditemukannya varian terdeteksi di sejumlah daerah.

kasus virus Corona malah jadi baru COVID-19 yang sudah

 

SAATNYA TEGAS DAN TUNTAS MELAKSANAKAN 3T, 3M DAN VAKSINASI, KITA MASIH PUNYA PELUANG MENANG.

 

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *