Kalimat “bepergian” menunjukkan bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (boleh-boleh saja).
Dari kalimat tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Tiga orang saja sudah wajib untuk memilih pemimpin, apalagi dalam konteks negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa seperti Indonesia ini.
Berdasarkan ayat dan hadis Nabi di atas dapat dipahami bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah kewajiban, bukan sekadar hak, karena Allah menyuruh orang-orang mukmin untuk melakukannya.
Kewajiban ini ditambah lagi dengan memilih pemimpin yang berlaku amanah. Sekiranya nilai amanah di antara calon pemimpin tidak ada yang sempurna, maka yang wajib dipilih adalah calon yang paling mendekati kesempurnaan.
Prosedur mendapatkan otoritas kekuasaan eksekutif dalam negara penganut sistem demokrasi adalah sah dan konstitusional, legitimit, dan kompetitif. Tidak ada jalan lain kecuali pemilu. Pemilu, bagian dari sarana menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan standar tertentu.
Selain berdasarkan Al-Quran, dalam kaedah fiqih dikatakan: “al-amru bi as-syai’i amru bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan sarananya).” Maksud aplikasi dari kaedah ini adalah, bahwa memilih pemimpin itu adalah wajib, maka mengikuti pemilu sebagai sarana atau wasilah memilih pemimpin adalah wajib juga.