Ekonomi Indonesia Masuk Zona Bahaya, BI Menjadi Mesin Baru Pencetak Utang Luar Negeri

BI Menjadi Mesin Baru Pencetak Utang Luar Negeri
kurs rupiah terhadap dolar


banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Hajinews.co.id – Kondisi ekonomi Indonesia semakin lemah dan memprihatinkan. Pembangunan ekonomi mengalami disorientasi, tanpa arah, sporadis, mengutamakan kepentingan elit politik dan pengusaha beserta kroni.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pembangunan ekonomi dibuat musiman, memberi insentif untuk sektor yang dianggap lagi ‘in’. Seperti hilirisasi nikel atau insentif kendaraan listrik meskipun tidak diproduksi di dalam negeri. Pembangunan ekonomi mengandalkan sektor komoditas sumber daya mineral dan perkebunan.

Indonesia menikmati kenaikan harga komoditas selama pandemi covid-19 sampai 2022. Hal ini merupakan berkah atas kekayaan alam Indonesia. Tetapi, malangnya, berkah kenaikan harga komoditas di tengah musibah covid-19 ini hanya dinikmati oleh segelintir elit politik dan pengusaha saja. Mayoritas rakyat Indonesia malah menderita. Harga bbm naik pada awal September 2022. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22 persen pada 2019 menjadi 9,57 persen pada 2022.

Di lain sisi, pendapatan negara naik pesat. Pendapatan negara pada 2022 naik 34 persen dibandingkan sebelum pandemi 2019, yaitu dari Rp1.961 triliun (2019) menjadi Rp2.626 triliun (2022). Bahkan pendapatan negara 2022 naik 60,8 persen dibandingkan pendapatan negara tahun 2020 yang hanya Rp1.634 triliun. Ironinya, tingkat kemiskinan naik.

Seiring dengan anjloknya harga komoditas, ekonomi Indonesia mengalami tekanan, khususnya terkait transaksi keuangan internasioal, dan investasi asing. Investor asing ‘dumping’ Surat Berharga Negara (SBN). Hanya dalam 3 bulan terhitung Juli-Oktober 2023, investor asing menjual SBN, mencapai 8,05 miliar dolar AS, atau sekitar 4,2 persen dari total utang luar negeri pemerintah. Sangat signifikan.

Dampaknya sangat serius, kurs rupiah anjlok dari sekitar Rp15.000 pada akhir Juli 2023 menjadi Rp15.935 per dolar AS pada akhir Oktober 2023.

Pemerintah panik. Bank Indonesia juga panik. Melahirkan kebijakan blunder. Bank Indonesia menjadi, atau dijadikan, mesin baru pencetak utang luar negeri. Artinya, Bank Indonesia telah menyimpang dari tugas pokok dan fungsi bank sentral. Sangat bahaya.

Sejak 15 September 2023, Bank Indonesia menerbitkan instrumen utang baru berjangka pendek, antara satu bulan sampai satu tahun. Namanya Sertifikat Rupiah Bank Indonesia, atau SRBI, dengan underlying asset, artinya dijamin, SBN yang dimiliki Bank Indonesia. Tidak masuk akal.

Selain SRBI, Bank Indonesia juga menerbitkan instrumen utang baru dalam denominasi valuta asing, yaitu Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Pada intinya, semunya sama. Bank Indonesia berupaya menarik utang luar negeri melalui instrumen surat utang SRBI, SVBI dan SUVBI.

Bank Indonesia selanjutnya mengaku, penerbitan SRBI untuk pendalaman pasar uang, sebagai instrumen operasi moneter kontraksi. Karena, penerbitan SRBI, SUVI, SUVBI di pasar perdana akan mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat: kontraksi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *